Jayapura (6/7) --- Sedikitnya,
500 -1.0000 demonstasi dikepung dan ditembaki secara brutal oleh aparat
TNI/Polri. Tragedi memilukan itu terjadi ketika ratusan pendemo itu
melakukan aksi damai dan mengibarkan bendera bintang fajar di sebuah
menara air setinggi 35 meter, dekat pelabuhan laut kota Biak, Papua,
pada 6 Juli 1998 silam.
Demikian disampaikan koordinator
organisasi Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) di Jayapura, Peneas Lokbere
saat menggelar jumpa pers dengan wartawan dalam rangka memperingati
tragedi Biak berdarah, 6 Juli 1998, di kantor Komisi Untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Papua di Abepura, Jumat (6/7).
Dari
siaran pers yang diterima tabloidjubi.com, empat belas tahun silam
tepatnya, 6 Juli 1998, sebuah tragedi kemanusiaan telah mengukir luka
dihati orang Papua yang tinggal di Biak. Tragedi itu terjadi saat
masyarakat sipil setempat yang berjumlah kurang lebih 500 -1.000 orang
melakukan aksi damai dan mengibarkan bendera bintang fajar di sebuah
menara air setinggi 35 meter, dekat pelabuhan laut kota Biak.
Aksi
itu dilakukan sebagai bentuk protes atas kekerasan, ketidakadilan dan
perampasan kekayaan alam di Papua. Namun dinilai sebagai tindakan
separatis, sehingga ratusan demonstran tak bersenjata itu, dikepung dan
ditembaki secara brutal oleh aparat gabungan TNI/Polri. Akibat dari
penembakan dan kekerasan itu, 230 orang jadi korban. Dari 230 korban
itu, 8 orang meninggal dunia, 3 orang hilang, 4 orang luka berat dan
dievakuasi ke makasar, 33 orang ditahan secara sewenang-wenang, 150
orang disiksa. Selanjutnya, 32 mayat misterius ditemukan. Terakhir,
puluhan perempuan diperkosa dan dianiaya.
Saat itu, ada
sebagian korban yang diangkut dengan truk-truk brimob dan sebuah mobil
container ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dan Rumah Sakit (RS)
angkatan laut setempat untuk mendapat perawatan dan pelayanan kesehatan
dari medis. Sebagian korban yang diangkut ke RS angkatan laut, 6 orang
diantaranya tewas ketika masih dalam perjalanan. Namun, sampai saat ini
jenasah mereka tak ditemukan.
Catatan lain dalam rilis itu
tertera, aparat juga melakukan pengejaran dan penyisiran terhadap warga
sipil di kelurahan Pnas, kelurahan Waupnor dan kelurahan Saramom,
kecamatan Biak Kota. Kala itu, mereka (warga sipil) ditangkap secara
sewenang-wenang, digiring ke pelabuhan laut Biak lalu dianiaya dan
disiksa. Berbagai tindakan tidak manusiawi lainnya juga dilakukan aparat
kepada mereka ketika itu.
Beberapa waktu setelah pengejaran,
penyisiran dan penangkapan, ditemukan puluhan mayat dengan kondisi yang
tidak utuh dan terpotong-potong disepanjang bibir pantai Biak.
Ironisnya, tanpa penyidikan dan penyelidikan, aparat menyatakan
mayat-mayat tersebut adalah korban bencana Tsunami di Aitaipe, Papua New
Nuginea yang terjadi pada tanggal 17 Juli 1998. Padahal tubuh
mayat-mayat itu dibungkusi dengan pakaian pramuka dan kostum Golkar.
“Ada
banyak keluarga korban yang mengaku bahwa keluargannya telah hilang dan
sampai saat ini keberadaannya belum diketahui,” kata Peneas Lokbere.
Menurut Peneas, dalam proses pencarian yang dilakukan oleh keluarga,
mereka menemukan banyak pusara tanpa nama. Demikian juga ada banyak
nama-nama yang hilang belum ditemukan pusaranya.
Peneas
menambahkan, tindakan TNI/Polri sejak dulu sampai saat ini terhadap
rakyat sipil di wilayah paling timur ini dalam semua peristiwab tidak
berubah. Pola-pola yang digunakan masih tetap sama. Stigma separatis dan
OPM (Organisasi Papua Merdeka) masih dialamatkan kepada orang Papua. (Jubi/Abubar)
SUMBER: TABLOIDJUBI
0 SILAKAN BERKOMENTAR :
silakan komentar anda!