Oleh: Yunus E. Yeimo. S. T
Arsitektur Tradisional Yamewa adalah sebuah rumah tinggal untuk laki-laki, yang dibangun oleh suku Mee Papua. Siapa
suku Mee itu? Suku Mee adalah salah satu suku dari 312 suku yang ada di
Papua [Athwa, 2004: 7]. Suku Mee mendiami di wilayah Pegunungan Tengah
Papua Bagian Barat. Ciri khas wilayah suku Mee adalah di sekitar Danau Paniai, Danau Tage, Danau Tigi, Lembah Kamu [kini Kabupaten Dogiyai] dan pegunungan Mapiha/ Mapisa [Koentjaraningrat, 1963].
Namun, kini secara administrasi pemerintahan suku Mee berada di empat
Kabupaten yakni Kabupaten Paniai, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Dogiyai
dan Kabupaten Nabire.
Arsitektur Tradisional Yamewa adalah wujud karya nyata leluhur suku Mee.
Namun yang menjadi pertanyaannya adalah apakah karya leluhur itu dapat
di lestarikan atau dimusnahkan, karena mengangap “kuno, kampungan, ketinggalan, dan tradisional?”. Arsitektur tradisional merupakan suatu wujud kebudayaan yang bertumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbahan dan perkembangan suatu suku atau bangsa. Dan merupakan wujud unsur kebudayaan yang bisa diraba/ dilihat [Koentjaraningrat [2002], dalam [Nurani, 2004:11-12].
Arsitektur tradisional “Yamewa” adalah salah satu dari hasil penelitian yang didapat, dan berhasil dihimpun. Dalam penelitian yang berjudul “Studi Tipologi dan Kearifan Arsitektur Tradisional Suku Mee Papua” itu kami menemukan sejumlah tipe arsitektur tradisional yang dimiliki oleh suku Mee Paniai Papua [baca: www. wikimu.com].
Dalam arsitektur tradisional Yamewa suku Mee Papua terkandung nilai-nilai budaya yang diperlihatkan melalui hasil karya arsitektur Yamewa.
Yamewa yang dapat kita lihat saat ini adalah hasil kesimpulan akhir
atas pengujian alami yang dilakukan oleh leluhur orang Mee. Selain itu, Yamewa merupakan kesimpulan dari apa yang dipikirkan oleh orang Mee, dan
“diwujudkan” [dibangun] sebagai tanggapan terhadap sekumpulan kondisi
yang kadang-kadang hanya bersifat fungsional semata atau merupakan
refleksi sosial, ekonomi, politik, perilaku atau tujuan-tujuan simbolis [D. K. Cing, 1996].
1. Arti kata Yamewa/ Yame Owa.
Setiap nama yang diberikan oleh suku Mee, baik untuk nama orang, nama tempat, nama gunung, nama danau, dan atau nama pohon masing-masing mempunyai makna dibalik nama itu. Kata yamewa berasal dari bahasa suku Mee Papua. Yamewa berasal dari dua kata yaitu yame dan owa. Secara harafiah yame artinya laki-laki. Owa artinya rumah. Sehingga Yame Owa artinya [Rumah tinggal khusus laki-laki]. Rumah ini [yame owa] dibangun untuk tempat tinggal khusus laki-laki dalam sebuah kampung. Dalam sebuah kampung terdapat 1 [satu] yame owa atau lebih. Jika jumlah laki-laki yang ada di kampung itu tidak cukup untuk menampung dalam yame owa itu. Namun, bagi seorang kaya [tonawi] jumlah
laki-laki tidak menjadi pertimbangan pokok. Tetapi sebuah “kebutuhan
utama” untuk memperlihatkan eksistensinya sebagai seorang tonawi. Tonawi adalah sebutan bagi seseorang yang dianggap telah matang [mobu] dalam perekonomian dan menguasai hal-hal mistik [Pigai, 2008:7].
Penyebutan lain dari kata yamewa/ yame owa adalah emawa. Bila kita tinjau dari harafiahnya, kata emawa mengandung dua arti. Pertama, ema artinya pangung hiburan yang dibuat di rumah pesta adat [yuwowa pa]. Kedua wa, adalah singkatan dari kata owa, yang
artinya rumah. Jadi, emawa artinya tempat dimana para laki-laki
berkumpul entah di yamewa, sebagai tempat tinggal laki-laki atau di
yuwowa sebagai tempat hiburan/ pesta adat. Dimana para laki-laki
terutama anak muda mencari jodoh. Pembicaraan mengenai yuwowa, mengapa
itu dibangun? Apa arti filosofis bagi suku Mee, terutama kaitannya
dengan ilmu arsitektur, kita akan bahas dilain waktu. Karena dalam
tulisan ini kita harus membatasi diri pada yamewa/ yame owa dan
kaitannya dengan filosofi, nilai-nilai adat dan budaya yang terkandung dalam ilmu arsitektur tradisional [yamewa/ yame owa].
2. Makna Yamewa Dalam Kehidupan Laki-Laki Suku Mee.
Yamewa tidak berdiri begitu saja sebagai sebuah “maha karya” para leluhur suku Mee sebagai [wujud] dan tempat dimana para laki-laki berkumpul pada malam hari untuk berlindung dari gelapnya malam. Akan tetapi keberadaan yamewa sangat menentukan kehidupan [masa depan] suku Mee sebagai tempat inisiasi bagi para anak laki-laki. Yamewa dibangun oleh seseorang [tonawi]
atau yang dianggap tua di sebuah kampung. Sebagai tempat dimana para
laki-laki berkumpul, maka dalam yamewa terbentuk suatu komunitas yang
disebut “komunitas laki-laki”. Komunitas laki-laki yang terbentuk di
dalam yamewa ini dapat dikatakan sebagai suatu masyarakat.
Menurut Abdul Syani [1987] dalam Basrowi [2005] membagi masyarakat community [komunitas] dari dua sudut pandang. Pertama, memandang community sebagai unsur statis, artinya community terbentuk
dari suatu wadah atau tempat dengan batasan-batasan tertentu, maka ia
menunjukkan bagian dari kesatuan-kesatuan masyarakat sehingga ia dapat
pula disebut sebagai masyarakat setempat, misalnya kampung kecil.
Masyarakat setempat adalah suatu wadah dan wilayah dari kehidupan
sekelompok yang ditandai oleh adanya hubungan sosial. Disamping itu,
dilengkapi pula oleh adanya hubungan perasaan sosial, nilai-nilai dan norma-norma yang timbul atas akibat dari adanya pergaulan hidup bersama manusia. Kedua, community
dipandang sebagai unsur yang dinamis, artinya menyangkut suatu
proses-[nya] yang terbentuk melalui faktor psikologis dan hubungan
antarmanusia, maka didalamnya ada yang sifatnya fungsional. Sebagai
contoh, masyarakat pegawai negeri sipil, masyarakat kampung, mahasiswa,
dan lain sebagainya [Basrowi, 2005:37-38].
Dari kedua pandangan diatas, maka didalam yamewa dapat disebut sebagai sebuah bangunan [ruang] yang membatasi komunitas laki-laki dan komunitas perempuan. Maka, dalam kehidupan masyarakat Mee mendirikan dua jenis bangunan yaitu bangunan khusus laki-laki disebut yamewa dan bangunan khusus
perempuan disebut yagamowa/ yagamo owa. Dengan pembagian [rumah] yang
“jelas, tegas” ini yang dibatasi oleh nilai-nilai dan norma adat dan
budaya orang yang patut di anut oleh masyarakat Mee yang ada didalam
budaya dan lingkungan.
Berdasarkan
pembagian komunitas antara laki-laki dan perempuan ini, maka pada
akhirnya masyarakat suku Mee “membagi dan membatasi” [antara laki-laki
dan perempuan] dengan sebuah bentuk wujud nyata karya arsitektur “yamewa
dan yagamo owa”. Pembatasan dan pembagian ini tidak berhenti sampai
disitu, namun dalam nilai-nilai hidup budaya orang Mee sejak dulu telah
ada. Dimana adanya pembagian tugas dan tanggung jawab antara laki-laki
dan perempuan yang jelas dan tegas dalam memenuhi kebutuhan kehidupan
keluarga mereka. Untuk itu, yamewa berdiri dalam arti arsitektur sebagai
identitas diri laki-laki dari fasad estetis [wujud bentuk luar maupun
isi ruang dalam yamewa itu sendiri]. Sedang yamewa dalam arti
antropologi, sosial dan budaya suku Mee dipandang sebagai berikut:
Pertama, Tempat musyawarah [mana duwaida/ mana duwataida]. Kehidupan
suku Mee pada masa lalu tidak terlepas dari, masalah/ perang antar
kampung dan marga. Masalah-masalah itu dipicuh oleh berbagai hal
misalnya, perebutan tanah leluhur, persoalan maskawin perempuan. Kedua
hal ini yang menjaddi dominan dalam kehidupan suku Mee, karena pertama
tanah diyakini sebagai “mama” yang memberikan susu kepada anaknya.
Kedua, maskawin perempuan, karena arti perempuan bagi suku Mee diantanya
adalah dompet laki-laki, sumber keturunan, tali persahabatan, dan
penyelesai perang/ masalah.
Bukan
hanya kedua hal diatas, namun apapun masalah yang sering terjadi di
kehidupan suku Mee, maka tempat penyelesaian masalah adalah di yamewa.
Dalam proses penyelesaian masalah semua laki-laki dan perempuan
berkumpul untuk membicarakan masalah yang terjadi. Namun, kadang-kadang
para perempuan diminta untuk tidak ikut terlibat [tidak dilibatkan]
dalam proses penyelesaian masalah itu.
Beberapa pertimbangan mendasar untuk di jadikan yamewa sebagai tempat bermusyawarah adalah pertama, ruang luar dan dalam yang besar dan luas bila dibandingkan dengan yagamo owa [rumah tinggal khusus perempuan]. Kedua, masalah atau persoalan yang dibahas dapat diselesaikan atas kesepakatan bersama [sama-sama untung]. Ketiga, orang yang baru datang dari luar kampung [mee te me]
datang atau masuk di dalam yamewa dengan berani dari pada yagamo owa.
Bila musyawarah dilakukan di yagamo owa, para tamu engan masuk ke dalam
rumah tinggal perempuan. Karena pertimbangan privasi perempuan, dan
merasa malu. Keempat, bagi
orang yang mempunyai pendapat, bebas mengeluarkan pendapat yang disertai
alasan atau di sampaikan secara gambaran umum atau pokok pokok
pikirannya saja [boko mana to wegai].
Kedua, tempat belajar seorang laki-laki [yame ka topetaida]. Kata yame ka topetaida artinya tempat terjadinya proses belajar dan mengajar khusus laki-laki. Yame ka artinya
punya laki-laki. Lebih menekankan pada kepemilikan laki-laki. Maka itu,
dalam yamewa berisi segala sesuatu yang “wajib” di pelajari/ belajar
oleh anak-anak laki-laki. Karena, didalamnya terdapat, nilai-nilai
budaya orang Mee yang harus diterima oleh laki-laki.
Anak laki-laki yang telah mencapai usia lebih dari 4 tahun, wajib
tinggal di Yamewa. Di yamewa para laki-laki berkumpul mengelilingi tungku api. Dan dirumah inilah anak-anak laki-laki belajar, mengikuti dan melanjutkan budaya orang Mee.
Menurut Keontjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil karya yang harus didapatkan dengan cara belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Anak laki-laki Mee belajar kebudayaan suku Mee di dalam yamewa dengan
cara belajar, hidup dan tinggal bersama dengan para orang dewasa di
dalam yamewa atau diluar yamewa.
Di
dalam ruang yamewa ini terjadi pertukaran informasi, tercipta budaya,
dan hasil karya manusia Mee. Ruang yamewa saat berarti dalam kehidupan
suku Mee dalam rangka pelestarian nilai-nilai budaya hidup yang
terkandung dalam bangunan ini. Dalam yamewa terbentuk sebuah bangsa
secara budaya, yang tidak ciri dan bentuk tidak sama dengan budaya orang
lain. Seperti yang diungkapkan oleh Hatta, bahwa kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa.
Ketiga, Tempat istirahat [yame ka uno umida]. Setelah
sepanjang harinya melakukan aktivitas masing-masing, para laki-laki
berkumpul pada malam hari di kediaman mereka [yamewa]. Aktivitas yang
dilakukan oleh para laki-laki sangat berfariasi. Misalnya, ada yang
pergi ke hutan untuk mencari kayu dengan berbagai kebutuhan. Sebelum
tidur atau sekitar jam 06-09 para laki-laki [terutama anak-anak] datang
ke yagamo owa [rumah tinggal perempuan] untuk mendapat makanan yang
dipersiapkan oleh ibu rumah tangga bagi mereka. Makanan yang dibagikan
oleh ibu rumah tangga diantaranya seperti ubi, [dugi/ nota] keladi
[nomo] ikan atau udang. Dan kadang-kadang makan bersama dirumah yagamo
owa, tapi makanan yang makan bersama ini kadang atas kesepakatan
bersama. Misalnya, degnan cara aki you-you [artinya bagi dalam keadaan
menta untuk msak masing-msing orang sesuai dengan selera].
Para
laki-laki mulai berdatangan ke yamewa sekitar jam 7-10 malam. Mereka
sebelum datang ke yamewa pergi [duduk bersama anak istri di yagamo owa]
untuk mendapatkan makanan baginya yang disediakan oleh ibu-ibu. Setiap
laki-laki yang telah berumur lebih dari 4 tahun harus tinggal di yamewa.
Mengapa? Karena, dengan beranggapan bahwa tinggal [tidur] bersama
perempuan [yagamo], maka laki-laki tidak akan berpikir baik, logis, dan
benar, misalnya para laki-laki dilarang untuk mendekati perempuan pada
saat perempuan mengalami halangan [menstruasi].
Para
laki-laki yang telah berkumpul di yamewa, sebelum tidur [istirahat]
mereka melakukan dialog [diskusi]. Hal-hal yang mereka diskusi [bahas]
diantaranya seperti masalah-masalah actual yang terjadi di sekitar
kampung atau di luar kampung. Selain itu, mereka juga menceritakan
berbagai hal terutama kepada anak-anak alaki-laki. Hal-hal yang lebih
sering disampaikan adalah mengenai hubungan keluarga [system kekerabatan
sosial], batas-batas tanah leluhur, mengingatkan masalah pada masa lalu
[perang antar kampung atau marga]. Pembahasan [diskusi] ini awalnya
diceritakan oleh salah satu orang yang menyaksikan atau mendengar
persoalan aktul yang terjadi sepanjang hari, atau sebelumnya. Jika
persoalannya menarik, maka mereka membahas masalah itu sampai larut
malam, kadang sampai pagi [tidak tidur].
Secara
umum bahan diskusi yang menjadi menarik untuk diskusi di yamewa
terutama kepada anak laki-laki sebagai proses inisiasi adalah yape mana
[perang antar marga atau kampung], mas kawin [mege yamakita mana/ waka mana], menjarkan hal-hal baik, atau nilai-nilai luhur kepada anak laki-laki [umitou mana], dan bagaimana strategi menempu peperangan misalnya dengan kopa [tongkat] atau dengan memwabwa uka mapega [busur dan anak panah].
Keempat, Tempat menyimpan kelengkapan laki-laki. Yamewa bagi suku Mee tidak sekedar
untuk beristirahat atau sebagai simbol kejajahan seorang laki-laki.
Tetapi dalam yamewa menyimpan berbagai macam dan bentuk kelengkapan
laki-laki. Kelengkapan [alat-alat] yang disimpan ini ada yang
barang-barang berharga dan legendaris. Tempat menyimpan [peletakan] dari
masing-masing barang ini dipisahkan sesuai dengan jenisnya. Misalnya,
ada yang di letakan di dinding, di sudut rumah [dagi pakopa] dan dan juga di kidouda [ruang atas].
Alat-alat
[kelengkapan laki-laki] yang menghiasi dinding rumah maupun yang
diletakan dilantai di rumah yamewa diantaranya, adalah uka, mapega,
koteka, waiya, ipou uwawe, ekina ego, woda ego, weta kona, yika, maumi.
Setiap alat perlengkapan ini mempunyai fungsi yang berbeda. Untuk
mendapatkan alat-alat [bahan] ini rata-rata membutuhkan waktu yang
panjang. Hal ini disebabkan oleh tingkat kerumitan pekerjaan maupun
kesulitan bahan.
Selain
alat atau kelengkapan laki-laki yang disebutkan diatas, suku Mee juga
mengenal teknologi tradisional. Misalnya, kapak batu [maumi], mempu
menciptakan [menghasilkan] api dengan perlatan sederhana [beko-mamo].
Untuk mengola tanah pertanian mereka, diperlukan tongkat yang terbuat
dari kayu yang keras misalnya amopiya, kenago, beberapa jenis pohon lain
yang dianggap kuat dan bertahan lama. Jenis alat pengola lahan
pertahanian ini disebut yado. Ada 3 jenis yado, yakni woya yado [tongkat
berukuran panjang], pini yado [tongkat berukuran pendek], maa yado
[tongkat kayu buah].
Alat-alat
[perlengkapan] laki-laki ini disimpang di rumah yamewa. Tetapi,
kadang-kadang ada yang menyimpan di rumah pondok [owa yokapa] yang
dibangun di kebun hutan. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga babi hutan,
agar tidak menggangu tanaman, dan kadang dimanfaatkan untuk mencari
kus-kus hutan pada malam hari [saat bulan terang].