Monday, May 7, 2012

Jangan Terjebak Paradigma Separatisme

Mypapua     12:45 PM   1 comment

Oleh B Josie Susilo Hardianto

KEKERASAN DI PAPUA

Wah, Papua panas lagi. Ada penembakan di Freeport. Sebuah pesan pendek masuk, seorang teman mengabarkan kondisi terakhir di Papua. Lalu, datang lagi pesan pendek, ”Usut tuntas semua kasus dan selidiki itu peluru siapa, senjata siapa?” Situasi Papua akhir-akhir ini memang memanas.

Tanggal 10 Maret lalu, dua pengojek tewas setelah dihadang dan dihujani tembakan di kawasan Kali Semen, Puncak Senyum, Kabupaten Puncak Jaya.

Menurut keterangan saksi korban Lince Telengan dan Yogile Kiwo, penumpang ojek itu, mereka diserang oleh lebih kurang 10 orang bersenjata api dan tajam. Wajah mereka berpoles arang.

Setelah itu, beriring kasus bermunculan, seperti penembakan di Kampung Monia, Tingginambut, Puncak Jaya, yang menewaskan Kopral Satu TNI Syaeful Yusuf, lalu pembakaran posko dan penangkapan mahasiswa dan warga Papua, hingga penembakan di wilayah konsesi PT Freeport Indonesia.

Jatuhnya korban jiwa menegaskan perlunya penyelesaian tuntas untuk menghentikan siklus konflik di Papua.
Langkah itu penting tidak hanya demi terselenggaranya jaminan keamanan, tetapi terutama juga demi menghormati serta mengembangkan harkat dan martabat warga Papua.

Pendekatan hukum
Menyikapi semua persoalan itu, banyak pihak, terutama pemerhati persoalan Papua, mendesak pemerintah untuk mengedepankan upaya hukum daripada pendekatan keamanan.

Dua peneliti Imparsial, yaitu Al Araf dan Poengky Indarti, berpendapat, pendekatan hukum melalui proses penyelidikan, penyidikan yang tuntas dan transparan, serta proses pengadilan yang terbuka dan fair penting untuk menghindari tudingan pada kelompok tertentu sebagai kelompok yang bertanggung jawab. Padahal, sebagaimana dikemukakan Usman Hamid dari Kontras, pengguna senjata api di Papua tak hanya TNI, polisi, dan OPM, tetapi ada kelompok-kelompok lain yang juga menggunakannya.

Tuduhan yang membabi buta justru akan mempertajam anggapan bahwa Papua adalah wilayah yang tidak aman, rawan konflik, yang berujung pada stigmatisasi warga Papua sebagai separatis.

Hal senada dinyatakan peneliti LIPI, Muridan S Widjojo. Menurut Muridan, pendekatan hukum merupakan langkah awal untuk meruntuhkan paradigma konflik dan stigmatisasi separatisme di Papua. Apalagi tak semua kasus yang terjadi di Papua berlatar belakang politik.

Ada kasus kekerasan di Papua, seperti terjadi di Nabire, tutur Muridan, terjadi karena ketidakprofesionalan polisi. Karena itu, penting mengubah alam pikir yang menempatkan Papua sebagai wilayah konflik dan rawan separatisme karena justru melumpuhkan gerak pembangunan di wilayah tersebut.

Banyak orang, tuturnya, menjadi khawatir jika masyarakat Papua diperkuat, mereka akan menuntut merdeka.

Banyak faktor
Kegagalan implementasi Undang-Undang Otonomi Khusus, tidak optimalnya birokrasi, ”pembiaran” pengungkapan kasus-kasus dugaan korupsi di Papua, jebakan nikmatnya euforia banjirnya dana, hingga kegagalan pembangunan di Papua diduga berakar pada alam pikir ”Papua adalah wilayah rawan konflik separatisme”.

Padahal, justru karena kekeliruan pendekatan yang berangkat dari sikap pandang itu proses pengembangan di Papua lumpuh. Dampak yang lebih berat adalah terus berlanjutnya siklus kekerasan di Papua.

Persoalan dasar
Di sisi lain, pendekatan yang tepat, yaitu pendekatan hukum yang tuntas dan transparan serta adil untuk semua kasus di Papua, akan memberikan energi dan perhatian yang cukup bagi semua pemangku kepentingan di wilayah itu untuk memerhatikan persoalan dasar Papua.

Pendekatan itu sekaligus menjadi pintu masuk membereskan persoalan dasar di Papua, yaitu problem ketidakadilan, minimnya pelayanan publik, kelemahan dan absennya birokrasi, serta problem-problem ekonomi, sosial, dan budaya.
Pendekatan hukum yang tuntas dan menyeluruh, tutur Ketua STFT Fajar Timur, Abepura, Neles Tebay, juga menjadi benih tumbuhnya rasa percaya warga Papua pada pemerintah.

Selama ini, ketidakpercayaan itulah yang menjadi salah satu pemicu munculnya aspirasi dibalik protes yang antara lain ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora, unjuk rasa masyarakat dan mahasiswa.
Oleh karena itu, membangun sikap saling percaya antara masyarakat Papua dan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, sangat penting.

Warga membutuhkan kehadiran dan keberpihakan pemerintah, bukan sebaliknya, tudingan atau anggapan yang membabi buta atas persoalan atau kasus kekerasan di Papua.

Sebagai contoh, jika ancaman bom tidak terjadi di Muara Tami, tetapi di Jakarta, tentu teror itu dapat diduga bukan didalangi oleh kelompok separatisme. Namun, karena ancaman itu terjadi di Muara Tami, tanpa proses hukum tuntas, muncul dugaan ancaman itu terkait dengan separatisme. Demikian juga jika ditemukan ada bendera Bintang Kejora berkibar.

Akibatnya, siklus konflik terus berlanjut karena tuduhan-tuduhan itu mengentalkan persepsi publik tentang gerakan separatisme di Papua. Segala bentuk protes dan pernyataan diri pagi-pagi telah diasumsikan sebagai bentuk tuntutan merdeka, dan karena itu, mandeklah upaya penguatan komunitas dan masyarakat Papua.
Dialog
Tidak mengherankan jika kemudian menguat desakan menggelar dialog Papua-Jakarta. Mengapa dialog? Kesepakatan antara GAM dan Pemerintah Indonesia dalam Nota Kesepahaman Helsinki telah menempatkan Aceh sebagai wilayah yang mampu mentransformasikan diri dari wilayah konflik menjadi wilayah yang berkembang kehidupan demokrasi, ekonomi, sosial, dan budayanya.

Cara pandang yang menempatkan warga Papua dengan lebih bermartabat, tutur Septer Manufandu dari Foker Papua, merupakan tujuan utama dari proses dialog tersebut.

Dialog, sebagaimana dikaji oleh tim peneliti LIPI dalam ”Papua Road Map” serta tulisan Neles Tebay dalam ”Dialog Jakarta-Papua”, menjadi sarana konkret dan substantif memutus mata rantai konflik dan menghancurkan paradigma dan alam pikir separatisme di Papua.

Menghindarkan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan berbagai kasus di Papua akan meningkatkan kepercayaan diri masyarakat Papua dan menumbuhkan rasa percaya mereka pada pemerintah.

Tidak mudah, tetapi, menurut Muridan, pemerintah dan para pemangku kepentingan di Indonesia mempunyai banyak pengalaman untuk itu.

Senada dengan itu, Neles Tebay menyebutkan, keterlibatan positif Indonesia memediasi Pemerintah Thailand dengan warga Muslim di Thailand Selatan adalah contoh kemampuan Pemerintah Indonesia membangun perdamaian.
Keberhasilan itu selayaknya dibangun kembali oleh Pemerintah Indonesia untuk menjawab aneka persoalan kekerasan di Papua.

Terlalu naif jika pemerintah menegaskan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi tetap mendekati persoalan ketidakadilan di Papua dengan alam pikir dan pendekatan yang tidak tepat.

Rasa perasaan terdiskriminasi yang ada dalam benak warga Papua terkait banyak hal, seperti sejarah, kegagalan pembangunan, dan persoalan kesejahteraan, selayaknya dijawab dengan lebih bermartabat dan adil.

Sederajat
Sikap yang mendudukkan Papua dan warga Papua sama dan sederajat dengan wilayah dan warga negara lain di Indonesia penting dan harus ditumbuhkembangkan.

Selain itu, menegakkan keadilan dan hukum secara berkeadilan dan transparan serta tuntas menjadi kunci membangun keindonesiaan di Papua serta membangun kepapuaan sebagai bagian integral bangsa Indonesia.

Untuk itu, presiden terpilih mau tidak mau harus bekerja keras untuk membangun rekonsiliasi di Papua. Indonesia tidak dapat memalingkan muka bahwa dari tanah yang kaya itu, ratusan triliun rupiah telah disumbangkan untuk membangun negara.

sumber : Facebook Jhon pakage

,

Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

1 comment :

  1. mediator dialog papua-jakarta adalah pihak ke-3 dengan dasar hukum internasional. bukan nasional' hukum nasional memandang bangsa papua hanya dengan mata kiri

    ReplyDelete

silakan komentar anda!

Translate

Followers

NEWS