Oleh: Joko Wahyono
Teks
sebagai bagian dari realitas sosial (part of social reality) tampaknya sudah
tidak mampu menarasikan kondisi Papua saat ini. Begitu banyak akar persoalan
yang saling berkaitkelindan satu sama lain melilit di bumi Cenderawasih. Ibarat
puncak gunung es, yang pucuknya terlihat, namun badan dan akarnya begitu
panjang. Mulai dari distorsi sejarah dan status politik integrasi Papua ke
Indonesia, pembangunan ekonomi sampai represivitas operasi militer dari
pemerintah pusat. Kesemuanya itu melahirkan kesenjangan dan ketidakadilan yang
berujung pada gejolak berkepanjangan. Hidup miskin di negeri yang alamnya kaya
raya terjadi secara nasional. Inilah akar masalah gejolak tersebut.
Pemiskinan adalah
pelanggaran HAM yang sesungguhnya. Bagaimana tidak, 50 persen penduduk
Kabupaten Jaya Wijaya yang merupakan daerah operasi Freeport, nyatanya hidup di
bawah garis kemiskinan; 35 persen di antaranya hidup di daerah pembuangan
tailing yang penuh dengan zat berbahaya.
Lebih ironis lagi, upah
buruh Indoneisa yang bekerja di tambang emas raksasa ini hanya Rp 6 juta per
bulan, lebih rendah dari upah di negara asalnya yang mencapai 30 kali lipatnya.
(Metrotvnews 9/11/11).
Belum lagi, dampak
kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan. Namun, saat buruh asli Papua
menuntut kebebasan berserikat, perbaikan kondisi kerja, penghapusan
diskriminasi hak dan fasilitas antara pekerja asli Papua dengan asing, serta
kenaikan upah, mereka justru diintimidasi dan diberangus dengan operasi militer
dari pemerintah.
Menarik pernyataan dari
Martin Luther King Jr, "Saya memiliki keberanian untuk percaya bahwa orang
di mana mereka berada dapat makan tiga kali sehari untuk tubuh mereka,
pendidikan dan kebudayaan untuk pikiran mereka, dan martabat, kualitas, dan
kebebasan untuk jiwa mereka. Saya percaya bahwa apa yang dihancurkan oleh
orang-orang yang hanya memikirkan dirinya sendiri dapat dibangun kembali oleh
orang-orang yang memikirkan orang lain."
Pernyataan ini kiranya patut dijadikan titik
balik bagi pemerintah untuk hadir dalam menangani krisis multidimensi rakyat
Papua secara serius dengan berbasis pada pemerataan keadilan.
Ketidakadilan
Istana seolah menutup diri
atas masalah dan konflik Papua? Klaim masalah Papua adalah masalah
ketidakadilan. Masyarakat Papua belum mendapat banyak dari hasil kekayaan
sumber daya alam yang dimiliki mereka. Ini menyangkut persoalan ketidakadilan
yang diterima oleh rakyat Papua. Menurut data Badan Pusat Statistik 2004, Papua
yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia justru tergolong provinsi dengan
penduduk termiskin terbesar.
Bisa dibayangkan, dengan
menyedot kekayaan alam Papua, Freeport mampu meraih total pendapatan 2,3 miliar
dolar AS tahun 2004, lalu meningkat menjadi 4,2 miliar dolar AS pada 2005 dan
tentunya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dhus, wajar adanya anggapan
bahwa konflik Papua dilatarbelakangi oleh kesenjangan ekonomi dan
ketidakadilan.
Sejauh ini berbagai macam
solusi, seperti tawaran dialog, pendekatan budaya, sudah dicoba, tapi tetap
belum bisa karena masing-masing pihak yang berkonflik masih saling keras.
Penyelesaian lewat ekonomi enggak nyambung, penyelesaian lewat politik enggak
jalan, penyelesaian lewat budaya tak berkembang.
Pada Juni lalu, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengumumkan akan melakukan renegosiasi kontrak karya
pertambangan. Namun, renegosiasi itu hanya membicarakan luas wilayah kerja,
perpanjangan waktu kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban
pengolahan dan pemurnian, serta divestasi dan kewajiban penggunaaan barang dan
jasa dalam negeri.
Sementara kerusakan
lingkungan, konflik sosial, militerisasi, dan pelanggaran HAM di sekitar
pertambangan sama sekali tak disinggung. Sepertinya renegosiasi kontrak karya
Freeport-Rio Tinto tak akan menjamin keselamatan orang Papua.
Perlu Keberanian
Isu kemerdekaan bagi Papua
itu sudah usang dan sepertinya sulit diwujudkan. Banyak kepentingan bermain
yang disebabkan oleh tribal sistem (kesukuan), yang tentunya masing-masing suku
memiliki kepentingan-kepentingan tertentu, sehingga membuat kemerdekaan rakyat
Papua sulit terealisasikan. Permasalahan di Papua lebih kepada segregasi
masyarakat akibat distribusi ekonomi yang diskriminatif. Selain itu, ketiadaan
figur yang representatif menambah sumbu konflik di Papua.
Untuk menuntaskan masalah
Papua ini, tidak bisa tidak, negara harus hadir di bagian-bagian di mana orang
Papua membutuhkan. Pemerintah harus pasang badan, melakukan dialog penuh
kehormatan dengan seluruh elemen masyarakat Papua untuk menjernihkan persoalan
distorsi sejarah, ketidakadilan ekonomi dan represivitas aparat. Akan lebih
fair lagi, jika dimediasi pihak ketiga. Semua orang dilibatkan OPM dan para
akademisi serta pimpinan gereja sebagai payung.
Sudah waktunya pemerintah
mendengar suara rakyat Papua dan Indonesia yang menuntut Freeport-Rio Tinto
ditutup dan dinasionalisasi seperti Bolivia. Pemimpin harus tegas mengutamakan
rakyat, bukan bertekuk lutut di depan pemodal. Jika Bolivia mampu melakukan
gebrakan nyata untuk memperjuangkan rakyatnya, apa Indonesia tidak bisa? Atau,
kita harus menunggu pemimpin yang berani menghadapi kekuatan adidaya? Kalau
menunggu kontrak habis 2041, tidakkah berarti negara mengekalkan pelanggaran
HAM? ***
Penulis adalah peneliti pada Center for
Indonesian Political Studies (CIPS) Yogyakarta
0 SILAKAN BERKOMENTAR :
silakan komentar anda!