Tuesday, March 13, 2012

Ketika Budaya Papua Tergerus Kebijakan

Mypapua     3:53 PM   No comments

PAPUA (UMAGI)-- Salah satu kebijakan yakni kebijakan Keluarga Berencana di Papua yang membatasi kelahiran anak-anak Papua sementara pertambahan penduduk provinsi Papua dipompa menggelembung melalui program transmigrasi maupun peningkatan sarana transportasi laut dan udara. Fenomena kebijakan ini cenderung dinilai oleh orang Papua sebagai etnocide. Larangan terhadap pengembangan kebudayaan-kebudayaan lokal di Papua Barat, misalnya pembunuhan terhadap budayawan-budayawan Papua seperti yang pernah terjadi pada April 1984 yang menimpa Arnold Clemens Ap dan Edward Mofu oleh Komando Pasukan Khusus Indonesia (Kopassanda). 


Persepsi pemerintah Jakarta menilai pengembangan kebudayaan Papua Melanesia dianggap berpotensi menciptakan disintegrasi.  Dominasi birokrasi pemerintah maupun akses ekonomi oleh para migran juga turut mendorong proses krisis identitas ini. Ketiga akar persoalan di atas terus menjadi penyebab aksi-aksi protes dan perlawanan rakyat yang berbuntut pada siklus sentral konflik berkepanjangan di Papua. Konflik ini tidak diselesaikan oleh Pemerintah Jakarta secara menyeluruh dan konstruktif, namun sebaliknya memunculkan konflik baru dengan menggunakan senjata melalui aksi-aksi militer yang menurut orang Papua hanya terus menambah daftar korban pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Lahirnya ladang kejahatan kemanusiaan abadi di Papua sebagai bagian dari ujicoba strategi operasi militer yang selama ini dipelajari dan tidak ada tempat untuk ujicoba persenjataan yang dimiliki oleh TNI-POLRI.    



Pandangan terhadap orang Papua adalah bangsa yang primitif, bangsa yang terbelakang dan bodoh sampai saat ini masih terdengar dimasyarakat. Pandangan ini tengah menciptakan kultur yang tidak seimbang dalam pergaulan antara penduduk asli dengan pendatang. Pemahaman ini tergambar dalam berbagai bentuk perlakuan yang tidak manusiawi,  entah dalam bentuk kebijakan peraturan ataupun dalam bentuk pola-pola pendekatan pembangunan. Hal ini mendorong kesadaran kolektif di kalangan orang pribumi Papua untuk  membangun dirinya sendiri  sebagai wujud pernyataan sikap akan keberadaanya sebagai suatu bangsa dan  menyatukan langkah untuk berjuang bersama-sama melawan ketidak adilan yang terjadi.



Orang Papua menyadari akan adanya tiga persoalan utama diwilayahnya. Pertama,  penyangkalan sejarah terhadap keberadaanya, secara antropologis maupun secara politik. Dua, adanya upaya  sistemmatis untuk menghancurkan kebudayaan Papua. Terakhir, terjadinya ketidak adilan dalam berbagai aspek kehidupan. 



Spirit dan Orientasi Kebudayaan 
Kekuatan spiritual yang tersirat dalam kebudayaan Papua secara umum dapat dijumpai dalam kesamaan Mitologi Rakyat, Tari, Lagu, Nilai-nilai Budaya, Ideologi Sistem Nilai, Kekerabatan, Aturan Sistem Barter dalam Adat, Dinamika Budaya dari dampak ajaran agama Kristen, Bahasa Lokal, Idealisme lokal, Ideologi Papua. Spirit dan Orientasi Kebudayaan Papua juga secara umum dapat ditemui dalam cara pandangnya terhadap alam dan sesama manusia, seperti : konsepsi terhadap hakekat hidup. 



Semua kebudayaan didunia ini, memiliki konsep tentang apa yang disebut hidup. Apa arti hidup ini, apa tujuannya dan bagaimana menjalaninya. Biasanya agama-agama memberikan tuntunan terhadap seseorang hingga terbentuk persepsinya terhadap hakekat hidup itu. Berikut beberapa konsepsi soal spirit dan orientasi. Konsepsi terhadap hakekat hidup, terdapat bermacam-macam tanggapan. Ada yang memandang dan menanggapi hidup sebagai kesengsaraan yang harus diterima sebagai ketentuan yang tak dapat dihindari; sebagai hidup untuk menebus suatu dosa; sebagai kesempatan untuk menggembirakan diri; menerima sebagaimana adanya dan berbagai tanggapan lainnya.



Konsepsi terhadap karya manusia. Tanggapan tentang arti karya terdapat banyak variasi yang ditampilkan oleh berbagai kebudayaan. Ada yang memandang karya atau bekerja itu sebagai sesuatu yang memberikan suatu kedudukan yang terhormat dalam masyarakat atau mempunyai arti bagi kehidupan; bekerja itu adalah pernyataan tentang kehidupan; bekerja adalah intensifikasi dari kehidupan untuk menghasilkan lebih banyak kerja lagi; dan berbagai macam konsepsi lainnya yang menunujukkan bagaimana manusia hidup dalam kebudayaan tertentu memandang dan menghargai karya itu.
Konsepsi terhadap alam. Bagaimana manusia harus menghadapi alam, juga terdapat persepsi yang berbeda menurut tiap-tiap kebudayaan. Ada yang memandang alam sebagai sesuatu yang potensial dapat memberikan kehidupan yang bahagia bagi manusia dengan mengolahnya; ada yang memandang alam ini sebagai sesuatu yang harus dipelihara keseimbangannya sehingga harus diikuti saja hukum-hukumnya; ada yang memandang alam ini sebagai sesuatu yang sakral dan maha dhsiat sehingga manusia itu pada hakekatnya hanya bisa menerima sebagaimana adanya tanpa berbuat banyak untuk mengolah alam; dan berbagai tanggapan lainnya.
Tanggapan terhadap waktu. Ada berbagai tanggapan tentang waktu menurut masing-masing kebudayaan. Ada tanggapan bahwa yang sebaik-baiknya adalah masa lalu yang memberikan pedoman kebijaksanaan dalam hidupnya; ada yang beranggapan bahwa orientasi ke masa depan itulah yang terbaik untuk kehidupan ini. Dalam kebudayaan serupa itu perencanaan hidup menjadi sesuatu yang amat penting. Sebaliknya, kebudayaan-kebudayaan yang hanya mempunyai pandangan waktu yang sempit, mereka akan memandang waktu sekarang adalah waktu yang terpenting. Warga dari kebudayaan serupa itu tidak akan memusingkan diri dengan memikirkan zaman yang lampau maupun masa yang akan datang. Mereka hidup menurut keadaan yang ada pada masa sekarang. 
Tanggapan terhadap sesama manusia. Dimana ada kebudayaan-kebudayaan yang menanamkan pada masyarakatnya pandangan-pandangan terhadap sesama manusia bahwa hubungan vertikal antara manusia dengan sesamanya amat penting. Dalam pola perilakunya, manusia yang hidup dalam kebudayaan serupa selalu berpedoman pada pola kepemimpinan lokalnya dan atau pada tua-tua adatnya, dengan demikian mereka selalu dijadikan panutan bagi warganya. Disisi lain, ada juga yang menanamkan pandangan bahwa hubungan horizontal antara manusia dengan sesamanya adalah yang terbaik. Dalam pola hubungan ini mereka akan merasa amat tergantung kepada sesamanya. Usaha untuk memelihara hubungan baik dengan tetangga dan sesama kaum kerabat dianggap amat penting dalam hidup. Dalam kebudayaan seperti ini, individualisme amat dipentingkan dan akan sangat menghargai orang yang mencapai banyak tujuan dalam hidupnya dengan sedikit mengharapkan bantuan dari orang lain.
Nilai budaya yang berorientasi ke masa depan adalah suatu nilai yang mendorong manusia untuk melihat dan merencanakan masa depannya dengan lebih seksama dan teliti, oleh karena itu akan memaksa manusia untuk hidup berhati-hati dan berhemat. Kita semua tahu bahwa sifat hemat yang meluas amat perlu untuk memungkinkan suatu bangsa menyisihkan sebagian dari pendapatannya untuk mengakumulasi modal. Berbagai keterangan etnografi yang telah ada tentang kebudayaan-kebudayaan di Papua,  akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa orientasi serupa itu tidak dijumpai pada kebudayaan Papua. Memang ada beberapa suku bangsa di Papua yang mengenal prinsip akumulasi modal, misalnya orang Meybrat, orang Me dan orang Muyu. Namun, modal yang telah diakumulasi itu dipakai habis untuk penyelenggaraan upacara-upacara adat seperti upacara inisisasi (pada orang Me), upacara pemakaman kembali (pada orang Muyu) dan upacara pembayaran tengkorak (pada orang Meybrat). Adanya kcenderungan umum untuk selalu menyelenggarakan upacara-upacara baik yang bersifat ritus maupun pesta biasa dalam suasana meriah yang berlebihan sehingga menghabiskan tenaga dan biaya besar.



Orientasi budaya yang berhasrat mengexplorasi lingkungan alam dan kekuatan-kekuatan alam akan menambah inovasi, terutama inovasi teknologi. Pembangunanyang memerlukan usaha mengintensifkan produksi tentu tidak memanfaatkan teknologi yang makin lama makin disempurnakan. Penggunaan Teknologi asing tidak begitu saja dipakai, tetapi memerlukan suatu adaptasi yang seksama. Usaha mengadaptasi teknologi juga memerlukan mentalitas yang tinggi hasrat bereksplorasi, juga menilai tinggi mutu dan ketelitian. (Orientasi nilai budaya yang berhasrat mengexplorasi lingkungan alam guna berinovasi kurang menonjol).



Hal ini bersumber pada kepercayan tradisional yang samapai sekarang belum hilang sama sekali di banyak kebudayaan di wilayah paling timur ini. Di alam sekitar tempat hidup manusia terdapat kekuatan-kekuatan gaib yang harus ditakuti dan dihormati karena mengontrol kehidupan manusia, menyebabkan suatu nilai budaya yang tidak aktif terhadap lingkungan alam. Disatu pihak, pandangan untuk harus hidup harmonis dengan lingkungan alam adalah baik karena searah dengan pandangan globalisasi sekarang yang berwawasan lingkungan. Tetapi, dipihak lain pandangan tersebut mematikan daya cipta orang untuk berinovasi. Walaupun, ada pengetahuan tentang produk-produk alam tertentu. Misalnya, jenis-jenis tanaman atau tumbuhan tertentu yang dapat digunakan untuk pengobatan tradisional. Pengetahuan serupa itu biasanya terbatas dalam lingkungan keluarga atau kelompok tertentu, tidak dikembangkan dan disempurnakan sebagai pengetahuan umum yang berguna bagi kepentingan bersama. Meskipun ada hasrat untuk memanfaatkan sumber-sumber alam dalam berbagai aktivitas ekonomi. Tapi, kegiatan-kegiatan itu terbatas pada tingkat kepentingan keluarga inti, kalau lebih tinggi hanya sampai pada tingkat keluarga luas saja, tetapi tidak ada upaya kearah peningkatan yang lebih tinggi dan mencakup masyarakat secara keseluruhan. 
Menilai tinggi usaha atau karya orang yang dapat mencapai hasil, sedapat mungkin atas usahanya sendiri adalah suatu manifestasi dari orientasi nilai budaya menghargai karya manusia. Sikap untuk menilai tinggi usaha seseorang dalam masyarakat mendorong orang untuk mengintensifkan usahanya sedapat mungkin untuk memberikan hasil yang lebih baik. Hal ini disatu pihak menumbuhkan rasa percaya pada diri untuk berdiri sendiri dan berkarya sendiri. Di pihak yang lain menimbulkan tumbuhnya rasa tanggung jawab.



Catatan tentang orientasi seperti ini penting lantaran berguna bagi pembangunan. Apabila menggunakan unsur budaya sistem kepeimpinan tradisional di Papua sebagai “pintu masuk” untuk memahami kebudayaan-kebudayan orang Papua, maka kita akan menjumpai orientasi nilai budaya yang tinggi. Upaya orang terdapat pada banyak kebudayaan di Papua. Seperti yang terdapat pada orang Meybrat, orang Me, orang Muyu, orang Dani dan orang Asmat yang mengenal sistem kepemimpinan tradisional yang dalam kajian-kajian antropologi dan sosiologi dikenal dengan sebutan big man atau pria berwibawa. Dalam kebudayaan itu, dapat dijumpai kedudukan pemimpin didasarkan atas usaha perorangan. 



Kebudayaan orang Meybrat, seseorang yang berhasil dalam upayanya untuk melaksanakan dan mengintensifkan sistem pertukaran kain timur berupacara sangat dihargai oleh masyarakatnya. Wujud nyata dari penghargaan itu adalah pengakuan terhadap orang yang berhasil sebagai pemimpin masyarakat, disebut bobot. Jadi kedudukan pimpinan dalam masyarakat ditentukan berdasarkan kemampuan usaha seseorang, kedudukan sepert ini disebut kedudukan pencapaian (achieved status). Demikian pula halnya dalam kebudayaan orang Me, disamping pandai berdiplomasi, bermurah hati dan jujur, seseorang yang berhasil terutama dalam bidang ekonomi (mempunyai banyak kebun yang luas, memelihara babi dan mempunyai banyak istri) sangat dihargai dan diakui sebagai pemimpin dalam masyarakat. 



Orang seperti itu disebut tonowi atau sonowi, yang berarti pemimpin dan orang kaya. Orientasi menilai tinggi usaha orang terdapat juga pada orang Muyu. Hal itu dapat dilihat pada penghargaan yang diberikan kepada seseorang untuk menduduki posisi pemimpin, kayepak, dalam masyarakat karena keberhasilan usahanya untuk menyelenggarakan upacara pesta babi yang menjadi fokus kebudayaan orang Muyu. Juga orientasi nilai budaya menghargai usaha orang terdapat pada kebudayaan orang Dani dan orang Asmat. Pada orang Dani maupun orang Asmat, upaya seseorang untuk menampilkan dan mengukuhkan diri sebagai seorang pemimpin perang sangat dihargai dan dinilai tinggi sebab perang merupakan sarana untuk memperlancar berbagai aktivitas kehidupan manusia, baik yang bersifat kegiatan ekonomi maupun upacara-upacara ritus. Penghargaan terhadap orang-orang yang berhasil menjadikan dirinya pemimpin perang adalah pengakuan masyarakat terhadap mereka bukan saja sebagai pemimpin perang tetapi juga pemimpin masyarakat.



Secara keseluruhan kebudayaan Papua menunjukkan dua macam persepsi tentang hubungan manusia dengan manusia. Pertama,  ada kebudayan yang sangat kuat berorientasi vertikal. Hal ini terutama terdapat pada kebudayaan yang mengenal sistem kepimpinan berbentuk kerajaan, seperti misalnya, kebudayaan yang terdapat didaerah semenanjung Onim dan daerah Kowiai serta kepulauan Raja Ampat. Kebudayaan-kebudayaan yang mengenal sistem kepemimpianan kepala klen atau kepemimpinan Ondoafi yang didukung oleh suku-suku bangsa yang berdiam di bagia timur laut Papua Barat misalnya orang Tabla, orang Skouw, orang Nimboran, orang Sentani dan penduduk teluk Yos Sudarso (Teluk Humboldt). 



Kedua, ada kebudayaan-kebudayaan di Papua Barat yang sangat kuat berorientasi horizontal. Dalam kebudayaan-kebudayaan seperti itu, misalnya pada orang Biak hubungan antar warga dalam kelompok kekerabatan amat kuat menyebabkan kepentingan kelompok kekerabatan lebih diutamakan dari kepentingan individu. Diantara para warga kelompok kekerabatan terdapat perasaan solidaritas yang amat tinggi, yang didasarkan pada pandangan ‘pars-prototo’ sebagaian berarti keseluruhan. Pandangan demikian menimbulkan rasa aman pada diri para warga kelompok kekerabatan karena akan selalu dibantu pada waktu mengalami kesulitan. Sebaliknya pandangan ini menimbulkan kewajiban untuk terus menerus berusaha memelihara hubungan baik sesamanya dan sedapat mungkin membagi keuntungan-keuntungan dengan sesamanya. 



Kekuatan budaya ini memegang peran sangat mendasar untuk mengikat masyarakat adat Papua untuk melakukan perlawanan rakyat terhadap kekuatan represif Negara yakni TNI, Polri, Swasta/Investor, Pemerintah Daerah, lembaga Agama, kelompok resistensi, LSM, Masyarakat di Papua yang tidak menghormati hak-hak dan nilai-nilai adat di masyarakat. Spirit rakyat inilah yang kemudian di gali dan dikembangkan oleh Group Mambesak dalam semboyang : Menyanyi Untuk Hidup, dari Dulu, Kini dan Nanti. Nilai filosofi yang tersirat dalam semboyang ini adalah kehidupan spritual rakyat Papua selalu diungkapkan dalam lagu dan tari untuk memperjuangkan hak-hak budaya rakyat Papua. Dengan lagu dan tari, seseorang dapat mengungkapkan perasaan duka, gembira, kepahlawanan, kebencian, dan lain sebagainya terhadap seseorang individu, kelompok, dan suku. Dampak dari ungkapan ini dapat mengakibatkan : perang, permusuhan, perdamaian, persahabatan, dan lain sebagainya.



Melihat kekuatan budaya yang dimiliki oleh masyarakat sebagai alat perekat ini, maka dengan kekuatan yang dimiliki oleh negara berusaha melakukan tindakan represif oleh militer dengan melakukan tekanan-tekanan dan tindakan ketidakberpihakan Pemerintah Daerah dalam pengembangan budaya lokal. Tindakan eksploitasi manusia dan budaya Papua oleh pemerintah, militer dan missionaris adalah fenomena tersendiri yang turut memberi warna dalam penghancuran budaya rakyat Papua. Sitem pemerintahan yang berbasis ideologi budaya Jawa (Jawanisasi budaya lokal) turut memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat pendatang dalam mengeksploitasi budaya Papua untuk kepentingan bisnis mereka. Keseluruhan sistem ini berkembang dengan subur dari tahun ke tahun. Selain itu tidak adanya aturan daerah yang melindungi hak cipta masyarakat lokal Papua. 
Kehilangan Identitas Diri
Seni budaya Papua adalah salah satu identitas diri yang menunjukkan kepribadian dari suku-suku yang mendiami pulau Papua. Secara nasional, kebudayaan Papua adalah hamparan kebudayaan. Keragaman budaya yang dimiliki oleh etnik Papua, adalah warisan leluhur yang memiliki atau terkandung nilai-nilai dasar yang mengatur kehidupan manusia untuk berinteraksi sosial dengan alam gaib (dengan roh-roh moyang), alam semesta (seluruh ekosistem alam), sesama etnik (hubungan kekerabatan), antar etnik-etnik dan dunia luar (hubungan kerjasama). 



Tataran nilai-nilai dasar tesebut dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan sejak Papua didatangi dunia luar terutama missionaris-missionaris dari negara Eropa-Asia. Keterkaguman akan tradisi budaya Papua sekaligus keindahan dan kekayaan sumber daya alamnya membuat Papua menjadi ajang perebutan untuk dikuasai dan di majukan karena manusia dan budayanya adalah “budaya kafir” yang harus di perbaiki, diperbaharui, dan bilah perlu di musnahkan karena menjadi penghalang untuk peradaban baru yang dibawah masuk. Demikian stigma dan slogan yang dikumandankan untuk membuat perubahan di Papua.



Nasionalisme dan Identitas Papua
Sejak masuknya Injil (Pengaruh ajaran Kristen) di Tanah Papua, pada tanggal 5 February 1855, secara perlahan kebudayaan Papua mengalami pergeseran yang drastis. Pergeseran tersebut semakin lama kian menyurutkan eksistensi budaya Papua. Banyak contoh yang menunjukan bahwa telah terjadi pergeseran nilai budaya Papua, yang secara sadar maupun tidak sadar sedang dan akan terus dialami oleh orang Papua. Beberapa contoh kongkrit diantaranya, penghancuran dan pembakaran rumah-rumah bujang (sarana pendidikan tradisional) oleh para missionaries, dengan dalih ‘kafir’ dan orang harus ikut sistem pendidikan modern dan baca Alkitab, karena itu yang ‘bukan kafir’.
Pergantian nama-nama tradisional (nama tanah) dengan nama-nama Eropa atau tokoh-tokoh dalam sejarah Yahudi dan Arab, misalnya Ishak atau Ismail. Penamaan tempat yang bertentangan dengan nama lokal, misalnya Dobonsolo jadi Cycloop, Numbay jadi Jayapura.  Kebiasaan menari cha-cha-cha dari pada Yospan. Kegemaran mengunya permen karet daripada makan pinang. Kegemaran menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa daerah sendiri didalam berkomunikasi dengan kelompok sesuku, dan lainnya. Pandangan ini bukan ekstrim menunjukan sikap ‘rasial’ Papua, namun orang Papua sendiri tidak menyadari bahwa dalam beberapa generasi yang akan datang, orang Papua akan kehilangan identitas budaya (sama seperti orang Afro-Amerika atau orang Afrika yang telah berada di Amerika). 
Secara alamiah setiap kelompok manusia (suku) dimanapun selalu mengalami apa yang sering disebut akulturasi (percampuran budaya), dan sejak dulu orang Papua sudah tahu tentang konsep hari kiamat dan surga, serta mesias atau tokoh pembebas, namun karena masuknya pengaruh unsur religi dari luar seperti ajaran Kristen dan Islam, maka orang Papua segera meninggalkan ajaran agama suku, dianggap sebagai kepercayaan kafir. Contoh ini dapat dilihat pada pandangan orang Biak dan Raja Ampat tentang Manarmakeri dan Koreri, pandangan orang Ndani/Nduga tentang Nabelan-Kabelan/Naberal-Kaberal, pandangan orang Nimboran tentang Kaisep dan Wairam, atau pandangan orang Wandamen dan Waropen tentang Kuri dan Pasai. Apakah semua pandangan ini salah dan harus dianggap kafir ?, Lalu mengapa sehingga dianggap kafir ? 



Pernyataan sederhana yang sempat disampaikan oleh Benny Giay. Benny mengatakan, “Seandainya kitorang (kita) yang duluan kenal tulisan, maka pasti orang didunia akan percaya sama Koreri dan bukan surga.” Pernyataan ini bukan bermaksud untuk menyalahkan agama Kristen atau Islam, namun hendak menunjukan bahwa orang Papua menerima kedua ajaran agama tersebut sebagai bagian dari proses akulturasi, sehingga mengadopsi nilai-nilai kedua ajaran tersebut kedalam pemahaman budaya orang Papua. Tapi apakah pernyataan ini masih relevan, ketika dikritik oleh kelompok masyarakat yang menyandera dua warga Belgia di Ilaga ? waktu itu masyarakat menyatakan “ini kamu dua bawa pulang kamu pu gereja dengan agama ini.” Ucap seorang warga Ilaga sambil menyerahkan Alkitab dan sebuah kaos bergambar wajah Yesus kepada Dr. Beny Giay dan Theo Van den Broek OFM. Apakah tindakan orang itu pantas disebut kafir ? Tindakan tersebut sebenarnya secara spontan menunjukan bahwa nilai-nilai Kristen yang dulu diadopsi kedalam pemahaman orang Ilaga (atau juga orang Papua) mungkin pada saat ini sudah tidak sepadan dengan pemahaman religi mereka, karena bias ‘Merdeka’ merupakan nilai yang sepadan dengan pemahaman religi orang Ilaga (atau juga orang Papua). 



Saat ini banyak pihak menjadi kebingungan, karena banyak perubahan karakter yang terjadi pada orang Papua. Misalnya, demonstrasi damai yang berujung kerusuhan. Contoh kasus Wamena berdarah, 7 Oktober 2000, Abepura 2006), perang suku di Timika (2004-2005, 2009-2010), dll adalah bentuk ekspresi rakyat yang sekian tahun ruang berdemokrasinya dikekang. Semua peristiwa tersebut bilah dikaji dan dilihat dari sisi budaya lokalnya,  yang sangat bertentangan dengan aturan perang orang Ndani dan suku-suku lain di Pegunungan Tengah, yang mengatur bahwa pembunuhan terhadap lawan yang tidak memiliki senjata, perempuan dan anak-anak adalah suatu pelanggaran perang, sehingga pelaku harus membayar denda kepada pihak lawan. Banyak saudara perempuan kita yang menjadi hamil sebelum menikah, yang dulu jarang terjadi (sebelum masuknya ajaran Kristen atau Islam di Papua). Terakhir, masalah minuman keras (miras) yang begitu subur di Papua dan menjadi salah satu mesin pembunuh orang Papua. 



Kondisi ini merupakan masalah sosial budaya cermin hidup di Papua, mengapa? Jawabannya bisa beragam. Banyak faktor yang menyebabkan munculnya fenomena tersebut. Yang paling mendasar adalah faktor budaya. Kemana budaya orang Papua yang dulu, sehingga semua ini muncul ? Atau mungkin budaya orang Papua sudah mati kah ? 



Penghancuran Budaya Papua
Jika dilihat dari sudut proses, peminggiran budaya Papua dimulai dari kata-kata (verbal), tindak tanduk (behavioral) dan perampasan-paksa (performance). Sementara itu, resistensi masyarakat adat juga seirama dan setara dengan tingkatan proses tersebut. Penghancuran yang sistematis terhadap eksistensi keberadaan masyarakat adat dan budaya yang dimiliki, dilakukan melalui faktor berikut:



Pendidikan Non Formal 
Pendidikan formal (sekolah) sebagai impian dan harapan ia akan membuka pikiran dan wawasan, serta membuat orang menjadi kritis. Disisi lain, ketika proses pendidikan sekolah diberlangsungkan dengan penuh indoktrinasi, telah mencabut orang Papua dari akar budayanya sendiri. Itulah fenomena yang saat ini sedang terjadi di Papua. Dimana  Anak-anak Papua didoktrin untuk melecehkan budaya mereka sendiri. Para petani kebun dianggap berladang liar.  Ladang moderen adalah sistem sawah di Jawa. Sedangkan sagu, keladi, ubi-ubian sama sekali tidak pernah dibicarakan padahal, sistem pendidikan non formal yang diperoleh oleh masyarakat adat Papua yang diajarkan dalam Rumah Adat, itulah yang dipraktekkan bagaimana, bercocok tanam yang baik, berburu yang baik, dan lain sebagainya yang masih tetap hidup dan dilakukan oleh orang Papua sejak dulu hingga saat ini. Tidak mungkin merubah pola hidup berkebun dengan persawaan karena karakter orang Papua adalah bukan petani sawah. Namun kenyataannya sampai saat ini orang Papua terus di paksakan untuk hidup berdampingan dengan transmigrasi dengan harapan mereka juga dapat merubah pola hidup mereka dengan mengikuti pola hidup transmigrasi. 
Lebih parah lagi, pemerintah lebih memperhatikan fasilitas masyarakat transmigrasi dengan segala kebutuhannya dan memberi mereka berhektar-hektar tanah garapan sedangkan masyarakat Papua hanya dijadikan sebagai penonton. Para transmigrasi mengola tanah menjadi sawah dan seterusnya. Kondisi selanjutnya bilah diperhatikan dengan baik, para transmigrasi saat ini ada yang tidak mengolah lahan yang sudah disediakan tetapi tanah kapling yang diberikan gratis kepada mereka saat ini sudah diperjualbelikan kepada pengusaha dan orang luar lainnya. Banyak diantaranya kembali ke tempat asal mereka. Kondisi pembangunan nasional yang di agung-agungkan bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat adat Papua. Anak-anak Papua saat ini tumbuh menjadi manusia asing di negeri sendiri dan  memusuhi budaya mereka sendiri. Pikiran mereka berubah dari pikiran nyata menjadi pemimpi. Mereka lebih mengenal hal-hal yang berada diluar kemampuan berpikir dan kerjanya dari pada yang ada di sekitar mereka. Pola pikiran semacan ini ternyata memberikan sumbangan yang sangat signifikan terhadap proses kepunahan kebudayaan Papua. 
Pendidikan non formal yang telah turun temurun dilakukan oleh orang Papua di rumah adat mereka, saat ini tidak lagi dilaksanakan karena pusat pendidikan adat tersebut telah dimusnakan oleh Pemerintah, Militer dan Lembaga Keagamaan (Kristen-Islam). Karena dianggap sebagai pusat gerakan perlawanan orang Papua terhadap pemerintah, tapi juga oleh pihak missionaris dan agama kristen saat ini dianggap sebagai tempat penyembahan berhala. Budaya-budaya di luar superculture tersebut dianggap primitif, biadab, kanibal, sehingga harus manusianya dirubah. Masalah pengembangan budaya di Papua selalu distigma sebagai kegiatan-kegiatan yang bersifat “Separatis” yang berusaha merongrong keutuhan integritas negara. Kondisi ini dapat dilihat dengan berbagai kasus dan stigma yang dialamatkan kepada masyarakat adat yang berusaha untuk mengembangkan budaya lokalnya, dan secara khusus melalui sistem pendidikan non formal yang diselenggarakan di rumah adat. Sistem dan Pola pendidikan dalam rumah adat, saat ini tidak dijumpai lagi, masyarakat adat Papua takut terhadap berbagai ancaman baik dari pemerintah, militer yang rumah adat sebagai sarang separatis. 
Dominasi Budaya Luar 
Selama masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan kebudayaan memiliki tiga ciri.  Pertama, budaya dipersempit hingga menjadi seni budaya. Kedua, pengembangan budaya harus berorientasi kepada dunia bisnis (komersial). Tiga, pertunjukkan seni budaya harus sejalan dengan kemauan pemerintah. Dengan demikian telah terjadi pendangkalan-pendangkalan nilai, bentuk, fungsi dan makna kebudayaan.  Seiringan dengan dominasi budaya luar yang begitu kuat, maka terjadi pemasungan, pemerkosaan, dan dominasi terhadap budaya-budaya etnik di Indonesia. Di beberapa tempat di Papua, penyelenggaraan pesta kawin, pesta budaya, pertujukan,pelantikan ketua adat, upacara adat harus terlebih dahulu mendapat ijin lisan dari Kepolisian. Dominasi budaya luar telah berkembang dengan begitu cepat dari kota hingga ke kampung, tanpa ada proteksi yang dilakukanan oleh pemerintah daerah maupun masyarakat adat. Lembaga-lembaga adat yang dibentuk untuk tetap mempertahankan eksistensi budaya lokal, saat ini telah beralih fungsi dan mengurus politik. Tekanan budaya luar yang begitu besar telah menghadapkan masyarakat pada pilihan-pilihan ekonomis dan politik dengan mengesampingkan budaya.
Gerakan Perlawanan Rakyat
Dari berbagai fakta dan kasus-kasus yang ditampilkan diatas, sudah sepantasnya semua pihak perlu merumuskan strategi bersama untuk mengatasi berbagai persoalan yang sedang dan terus berlangsung di tanah Papua. Tentu dalam melaksanakan perubahan dan penanganan masalah, masing-masing pihak memiliki strategi sendiri. Namun yang penting adalah pendekatan budaya dalam menyelesaikan masalah sangat diperlukan. Karena tanpa pendekatan budaya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang saat ini terjadi, akan mengalami hambatan. Melihat dan menyelesaikan masalah secara holistic melalui pendekatan budaya adalah mutlak dilakukan oleh setiap orang yang menyatakan dirinya pelaku pembangunan di tanah Papua. Strategi yang dianggap penting untuk dilakukan dalam rangkah membangun kesadaran kritis masyarakat adat papua akan pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal sebagai kekuatan untuk mempertahankan diri dari berbagai ancaman baik yang dari dalam maupun luar sukunya sendiri adalah melalui berbagai kegiatan-kegiatan pendidikan kritis di kampung-kampung. 
Kegiatan yang dianggap strategis dalam membangun kesadaran rakyat Papua untuk secara mandiri dapat melakukan monitoring dan investigasi untuk melihat berbagai permasalahan-permasalahan yang terjadi di lingkungan wilayah adat mereka. Dengan demikian masyarakat adat dapat mengetahui ancaman-ancaman, perubahan-perubahan apa yang saat ini mereka hadapi serta bertindak bagaimana menyelesaikan masalah yang muncul. Selain itu kerja monitoring dan investigasi ini juga penting untuk mendapat informasi, data terhadap berbagai kasus-kasus yang terjadi di wilayah tersebut untuk kemudian bisa di laporkan ke berbagai pihak luar yang peduli dengan masalah yang terjadi dan membantu dalam advokasi.
Dari berbagai kasus-kasus yang telah disebutkan, langkah strategis yang sudah dan sedang dilakukan adalah dengan melaksanakan kegiatan pendidikan kritis di kampung-kampung. Kegiatan pendidikan kritis ini berkaitan dengan minimnya informasi tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Bentuk –bentuk kegiatan pendidikan kritis yang dilakukan adalah diskusi-diskusi rutin, pelatihan-pelatihan Khusus (investigasi, monitoring, dokumentasi), pembentukan sanggar-sanggar belajar alternative yang bisa berfungsi sebagai pusat belajar,pelatihan Usaha Ekonomi, penelitian, dokumentasi audio visual, penyusunan modul-modul pendidikan kritis. 



Konsolidasi Masyarakat Adat SHYWA
Pembangunan dan  penindasan, penundukkan atau penghancuran terhadap budaya Papua, dilakukan secara sistematis, dari hal yang bersifat vebal (pelecehan dan penghinaan lisan dan tertulis), behavioral (contoh yang disertai dengan tindak tanduk dan perilaku) dan performance (perampasan-paksa) terhadap sumber-sumber kehidupanan sosial, budaya, ekonomi, religius dan politis masyarakat adat. Terhadap yang verbal, masyarakat Papua meresponnya dengan tindakan “sikap empati” walaupun sebenarnya mereka secara mental sangat tepukul dengan berbagai bentuk penghinaan verbal tadi. Artinya, bentuk-bentuk resistensinya adalah: masyarakat menerima itu dan menggabungkan dengan politik yang kemudian memunculkan gerakan perlawanan secara kolektif di masyarakat. Resistensi terhadap contoh perilaku adalah, “masyarakat menerima dan mengadaptasikan” pola perilaku yang baru. Atau mereka berpindah ke tempat pemukiman baru yang bebas dari gravitasi modernisasi. Sikap perlawanan terhadap perampasan paksa adalah “ terpaksa lawan balik”. upaya terakhir adalah tindakan “extra-legal”, yakni merampas ulang apa yang telah dirampas, atau membakar, melakukan perlawanan fisik. 
Tindakan ini biasanya dilakukan apabila tindakan-tindakan lain tidak mendapatkan hasil atau tidak didengar. Baru setelah aksi “ekstra legal” itu biasanya pihak-pihak terkait mengajak masyarakat adat untuk berunding. Perlawanan balik yang dilakukan oleh masyarakat terhadap fonemena sosial budaya yang terjadi saat ini yang sebenarnya merupakan perlawan budaya, telah digabungkan dengan masalah politik. Sikap apatis dan pragmatis yang dialami oleh masyarakat cukup memberi ruang yang sangat besar untuk melakukan refleksi diri dan sekaligus melakukan perlawanan terhadap kondisi yang dialami, yang tidak pernah menemukan jawaban-jawaban atas berbagai masalah yang dialami.
Fokus utama yang dianggap penting adalah di prioritaskan pada bagaimana Sekolah-sekolah Adat (Kambik) yang dulunya dilaksanakan oleh masyarakat adat di wilayah kepala burung dapat dihidupkan kembali oleh masyarakat. Memang untuk menghidupkan kembali sekolah adat di papua, tantangannya sangat besar karena stigma negatif (sekolah separatis, kafir) yang masih melekat di bentuk pendidikan non formal ini. Untuk menghindari dan mengurangi stigma negatif tersebut, bentuk yang ditawarkan adalah melaksanakan pendidikan adat dalam bentuk yang lain yaitu melalui sanggar-sanggar belajar yang dibangun di kampung-kampung dapat dijadikan sebagai pusat belajar adat. Dengan demikian maka pendidikan adat yang diharapkan dapat membangkitkan kembali kesadaran koletif masyarakat untuk  dapat melestarikan dan menjadi asset pertahanan rakyat dalam menghadapi perubahan politik yang terjadi dari waktu ke waktu. Konsolidasi Gerakan budaya ini dilalui dengan membentuk kelompok –kelompok sel group adat untuk mulai mendiskusikan kembali nilai-nilai budaya yang dimiliki serta bagaimana membangun kekuatan budaya lokal untuk mempertahankan diri. Selain itu, gerakan ini diharapkan dapat menjadi media belajar bagi generasi muda yang ada di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran gerakan budaya.
Dengan pendidikan melalui sekolah – sekolah adat, alam sebagai sumber kehidupan dan tempat tinggal bagi mahluk hidup akan terpelihara dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat adat secara arif dan berkelanjutan. Semangat untuk mengaktifkan kembali sekolah adat terus berjalan dan masyarakat adat khususnya lulusan-lulusan sekolah adat dulu, mulai menyadari pentingnya sekolah adat ini dalam rangkah mempertahankan /memprotek ekspolitasi SDA (Sumber Daya Alam) dalam bentuk apapun oleh orang luar yang selama ini merusak alam dan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat pemilik tanah dan hutan adat. 
Dalam perjalanan awal membangun gerakan sekolah adat, yaitu dengan melakukan survey di wilayah –wilayah yang telah ditetapkan dan berhasil membangun pemahaman dan kesadaran bersama dengan tokoh-tokoh adat untuk bagaimana gerakan budaya melalui sekolah adat ini dapat berjalan dengan baik untuk melindungi asset budaya masyarakat yang saat ini tertekan. Disi lain langkah ini merupakan strategi untuk memprotek hutan adat masyarakat dari kerusakan hutan akibat aktivitas penebangan hutan oleh perusaha-perusahan HPH dan pembukaan lahan kelapa sawit. Sebagai salah satu contoh dari gerakan ini adalah munculnya kesadaran masyarakat dan lembaga adat di Seremuk Kabupaten Sorong Selatan untuk melindungi wilayah hutan dan tanah adatnya melalui deklarasi adat pada November 2009 di Kampung Mlaswat. Harapannya, wilayah-wilayah lain yang menjadi target berikut dapat mengikuti jejak ini untuk melindungi hutan-hutan adatnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan BELANTARA Papua, Max Binur mengatakan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat umum akan pentingnya alam dan budaya, pihaknya telah melakukan beberapa kegiatan kampanye. Masing-masing pagelaran musik dan lagu mambesak, pameran buku koleksi belantara-proton dan mitra, dialog budaya dan HAM, exsebisi melukis di kanfas dengan ludah pinang, ekspedisi turun kampung untuk melakukan pendidikan kritis, diskusi, pagelaran musik di kampong, dokumentasi foto dan audiovisual, assessment, monitoring, dialog interaktif di RRI melalui “Gelar Senat” (media informasi pendidikan kritis tentang lingkungan hidup dan budaya). 
Respon Masyarakat Adat 
Kemana identitas budaya lokal harus dicari? Dan bagaimana melakukan-usaha-usaha proteksi terhadap pengaruh budaya luar? Sampai saat ini belum ada kerja-kerja serius yang dilakukan oleh LSM untuk melihat permasalahan budaya di Papua. Kalaupun ada, hanya bersifat “titipan” dalam berbagai program yang dilakukan. Usaha kearah kemandirian masyarakat untuk melakukan proteksi diri, belum dilakukan oleh LSM. Artinya bahwa belum ada satu LSM yang bergerak khusus dibidang budaya untuk melakukan kegiatan-kegiatan revitalisasi budaya lokal orang Papua. Yang terjadi justru menjamurnya group-group  musik –tari yang tumbuh berkembang secara mendadak lalu mati alias tidak berjalan lagi karena hanya mengejar kebutuhan-kebutuhan popularitas semata. Sehingga usaha-usaha pemberdayaan masyarakat adat pewaris budaya untuk mengembangkan dan melestarikan budaya lokalnya tidak berjalan.
Respon terhadap kehancuran alam, budaya Papua ini mulai dirasakan. Kebangkitan akan kesadaran diri mulai terbentuk di kalangan masyarakat dengan membentuk pertahanan-pertanahan kolektifnya sendiri. Sebagai contoh dari proses panjang membangun kesadaran kolektif, mulai muncul  ketika kelompok dibentuk berdasarkan kesamaan marga, kelompok berdasarkan kampung, kelompok berdasar hubungan saudara senenek moyang/keret/gen, kelompok campuran/modern, kelompok kesenian (kelompok Suling Tambur), kelompok lainya yakni berdasarkan suku yang mengklaim diri sebagai suku asli (LMA). Kelompok lainnya yaitu kelompok migran yang secara historis kultural dan religius telah berinteraksi begitu lama dengan alam dan manusia, selanjutnya kelompok budayawan dan seniman. Kelompok-kelompok tersebut merupakan bagian dari kesadaran akan identitas lokal yang kian tercabut dari budaya akibat kerusakan alam dan media-media budaya lainnya yang di musnakan oleh kepentingan politik dominant dari waktu ke waktu hingga saat ini. 
Upaya membangun kesadaran identitas budaya Papua merupakan gerakan budaya berspektif pendidikan politik adat adalah kerangka berpikir untuk membangun ideologi adat (perubahan sosial apa yang diinginkan). Dengan menggunakan kesadaran apa, serta bagaimana membangun ideologi kerakyatan (masyarakat lokal) dan bagaimana merebut kembali keadilan yang direbut oleh orang lain/negara dalam mengelola SDA (Sumber Daya Alam), SDM (Sumber Daya Manusia), ekonomi, politik, sosial, kawasan adat, keamanan dan kepercayaan, budaya atau identitas sepanjang negara tidak mengakuinya. 
Max Binur menuturkan, gerakan perlawanan bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dibelahan dunia ada satu etnik yang masih hidup dan memiliki nilai-nilai budaya yang sangat tinggi dan dapat dituangkan dalam bentuk tradisi lisan. Memperkenalkan budaya tradisi lisan etnik Papua, mencari dukungan internasional untuk pelestarian dan pengembangan tradisi lisan etnik yang ada, menunjukkan kepada dunia bahwa walaupun etnik Papua dijadikan sebagai ladang penggarapan kekuasaan pemerintah dan militer, etnik Papua dapat menginprofisasikan dirinya melalui tradisi lisan yang dimiliki. Tujuan lainnya yaitu, merebut kembali keadilan berekspresi budaya, membangun jaringan kerja sama penyelamatan budaya tradisi lisan etnik serta membangun ideologi kerakyatan etnik Papua untuk merebut kembali apa yang pernah dimiliki dengan membangun gerakan budaya berperspektif politik untuk mengusahakan perubahan sistem dengan membangun kapasitas kemandirian dan pendanaan. 
Berangkat dari tujuan ini diharapkan ada perhatian dunia internasional terhadap budaya tradisi lisan etnik Papua, ada usaha-usaha penyelamatan budaya tradisi lisan etnik sebagai bagian dari situs budaya lokal dunia. Selanjutnya, ada  usahausaha revitalisasi pengembangan budaya tradisi lisan etnik papua (internasional-nasiona-lokal). Dimasa depan, diharapkan ada 
tekanan kapitalisme dan krisis ekonomi, politik yang berkepanjangan turut memberikan pengaruh dan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan dan perkembangan budaya lokal di Papua.
Bagi Binur, pengakuan terhadap identitas budaya lokal masyarakat adat etnik Papua merupakan suatu wujud  membangun demokrasi khususnya dibidang budaya. Wacana pengembangan demokrasi budaya Papua hendaknya dapat menciptakan ruang guna mewujudkan cita-cita, nilai-nilai pengakuan dan keyakinan yang terbaik bagi masyarakat adat untuk mengembangkan kreatifitas budaya yang dimiliki secara demokrasi dan mandiri. Ada ruang yang luas  yang dibukan karena ruang itu merupakan bagian dari usaha untuk melakukan penguatan dalam pengelolaan manajement budaya lokal sekaligus  melakukan reorientasi dan reposisi ideologis untuk revitalisasi budaya. 
Disisi lain, masyarakat adat Papua saat ini  belum memiliki arah alternatif ideologis budaya yang akan membawa mereka ke tempat yang adil, makmur dan sejahtera dalam mengelola budaya lokalnya akibat intervensi dan tekanan politik militerisme dan agamaisme yang begitu kuat. Kondisi ini demikian dapat  menempatkan masyarakat adat Papua pada posisi dilematis dan traumatis yang berkepanjangan . Dampak lain yang dirasakan adalah  masyarakat adat saat ini terjebak dalam  arus globalisasi yang dilandaskan pada paham Neo-liberialisme. Selain itu, masyarakat adat Papua tengah dilanda peperangan ideologisme antara paham otonomisasi dan tuntutan aspirasi merdeka. Pertarungan ideologisme ini membuat masyarakat diperhadapkan pada berbagai pilihan-pilihan yang kurang aspiratif dan cenderung menciptakan konflik internal maupun eksternal dalam kehidupan mereka. Memberikan ruang untuk masyarakat untuk mengembangkan dan mengorganisir diri (institusi lokal) secara otonomi merupakan peluang yang tepat untuk mengembangkan demokrasi adat yang dimiliki sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini guna membangun kemandirian dan kepercayaan masyarakat serta mengurangi tekanan politik pemerintahan dan militerisme.
Masalah pokok yang perlu menjadi perhatian dalam membangun demokrasi budaya Papua dalam  ruang otonomi  adalah mengembalikan kedaulatan budaya kepada masyarakat untuk menentukan pilihan-pilihan perkembangan budayanya tanpa harus diwakilkan  karena demokrasi bukanlah kedaulatan yang harus diwakilkan.
Ditambahkan Max Binur, sejumlah persoalan yang dikemukakan diatas dapat diidentifikasi menjadi duab bagian penting. Pertama, apakah masyarakat adat Papua masih memiliki hak untuk mengendalikan, mengontrol atau mempertahankan sistem lokal atau tidak dalam iklim demokrasi saat ini? Kenyataannya, budaya Papua hanya sebagai pelengkap dan pemuas kepentingan politik, ekonomi dan keamanan Negara. 
Dua, apakah masyarakat adat Papua masih memiliki kesempatan untuk memperjuangkan dan mengendalikan sistem lokal mereka sendiri? Tanpa adanya tekanan politik dan kekuatan militer yang terus menerus dari waktu kewaktu membelenggu kebebasan budayanya? bilah kebebasan budaya ini terus di kekang, maka suatu suatu saat akan terjadi konflik budaya yang meluas baik antar orang Papua sendiri maupun Papua dengan non papua. Jika ini terjadi maka akan memperkeruh upaya-upaya membangun budaya damai di tanah Papua seperti yang selama ini terus diperjuangkan. (JUBI/Musa Abubar) 

,

Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

0 SILAKAN BERKOMENTAR :

silakan komentar anda!

Translate

Followers

NEWS