Monday, September 24, 2012

Korban di Paniai, Siapa yang Bertanggungjawab? Dari Kisah Perjalananku

Mypapua     1:23 PM   No comments


Hari itu, Sabtu, 8 September 2012 saya tiba di kota Enarotali. Sore itu cuaca cukup dingin, sementara langit di atas menunjukan wajah sedih (mendung). Ia menyatuh dengan suasana kota Enarotali yang baru dirundung masalah. Tak lama kemudian langit meneteskan air ke bumi bak air mata dari tangisan manusia yang membasahi pipihnya.

Begitu tiba di rumah, saya  bergegas  untuk membersihkan diri.  Air sore itu cukup dingin, membuat badan saya gementar. Apa lagi disertai dengan tiupan angin danau yang menyatu dengan air, hingga dinginnya menyentuh sumsum tulang. Setelah mandi saya langsung menuju ke dapur, bersyukur sebab dua nenek di rumah sudah memasang api sehingga tubuh yang tadinya dingin bisa dihangatkan. Di luar sana masih terlihat gerimis  tapi suasana di dapur cukup hangat. Saya menikmati “nota” (betatas) dan teh yang sudah diolah oleh nenek. Kasih sayang mereka membuat suasana semakin hangat.

Dalam canda tawa kami, nenek bercerita tentang pengalaman mereka beberapa waktu yang lalu, saat peristiwa penembakan tanggal 21 Agustus terjadi. Pagi itu kami ada di rumah, kami dikagetkan dengan bunyi tembakan yang terdengar membabi buta. Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Kami hanya berusaha tenang di rumah, karena takut. Malam itu kami melihat beberapa rumah dibukit dupia dibakar. Kami tidak tahu siapa yang melakukannya dan siapa pemilik rumah itu. Hati kami sedih dan kami hanya berdoa supaya Tuhan Yesus menolong kami semua yang hidup di kota Enaro. Paginya kami diberitahukan oleh tetangga bahwa ada polisi yang ditembak di dermaga ujung lapangan kemarin pagi tapi pelakunya tidak jelas dan berapa rumah milik warga dibakar aparat keamaan. Hampir seminggu Enaro jadi kota mati. Tak ada aktivitas seperti biasanya. Semua laki-laki dilarang keluar rumah, kecuali perempuan, kata nenek mengakhiri ceritanya. Saya hanya duduk termanggu mendengar kisah ini. Tiba-tiba kami kaget karena seluruh rumah bergoyang. Ini gempa, sahut nenek, lalu kami berlarian keluar rumah. Gempa malam itu terjadi sekitar tiga menit.

Malam semakin larut. Badanku pun terasa pegal. Rasa ngantuk tak bisa ditahan. Akhirnya saya pamit untuk pergi beristirahat. Tiba di kamar tengah, TV masih nyalah. Rupanya ada siaran pertandingan sepak bola wanita piala dunia U-22 di chanel TV One antara Tim putri Amerika dan Jerman. Rasa ngatuk tiba-tiba sirna. Saya kemudian menontonnya. Akhirnya pertandingan final itu dimenangkan tim putri Amerika dengan skor 1:0 dan mereka menyabet medali emas dan piala. Sukacita dan keceriaan menghiasi wajah-wajah tim putri Amerika, sebaliknya sedih dan tangis menjadi bagian tim putri Jerman.  Setelah menonton pertandingan itu, saya mengambil handpone blackerry saya dan mencari tahu tentang gempa yang terjadi beberapa saat yang lalu itu. Rupanya pusat gempa berada di barat daya kota Nabire dengan kekuatan 6,5 skala richter. Kira-kira jam 24:30 saya pergi tidur malam itu.

Hari kedua di kota Enaro, saya berusaha untuk bertemu dengan beberapa kawan setelah ibadah. Suasana masih terlihat tegang. Beberapa polisi dan tentara terlihat berjaga-jaga di Bandara, Pasar dan Terminal. Saya berhasil bertemu dua orang kawan. Disebuah sudut kota Enaro kami bersantai, sambil bersoal jawab. Saya kemudian bertanya, kalian tahu kasus penembakan di Obano dan pembunuhan di Watiyai itu k? “Kami dengar kasus itu tapi belum tahu persisnya seperti apa, jadi nanti ketemu saja dengan pekerja HAM yang ada disini,” jawab mereka. Kemudian mereka merekomendasikan beberapa orang yang bisa saya ketemu.

Saya bertanya lagi, bagaimana dengan kasus 21 Agustus lalu disini? “Waktu itu kami masih dirumah, kira-kira jam 09: 00 pagi kami dikagetkan dengan bunyi tembakan yang beruntun. Semua orang di kota Enaro berlarian menuju ke rumah masing-masing. Beberapa kios yang dibuka langsung ditutup. Dalam sesaat, kota Enaro jadi tegang. Tak satu pun orang yang keluar rumah. Saat yang bersamaan sebuah pesan singkat masuk di HP saya, yang berisi “seorang anggota polisi di tembak di dermaga ujung lapangan terbang dan mayatnya sedang dibawah ke rumah sakit Madi, aparat marah jadi dong tembak-tembak itu, jadi kamu jangan keluar rumah”.  Selang 10 menit sebuah sms masuk lagi, “polisi kuasai rumah sakit jadi semua pasien serta kami perawat disuruh pulang semuanya,” demikian isi pesan itu. Kami tak bisa buat apa-apa. Kami mengurung diri tapi  juga merasa dikurung.  Jam 4:00 sore sebuah sms masuk lagi di hp. “Polisi sedang lakukan penyisiran dari rumah ke rumah jadi tenang saja dirumah,” begitu isinya. Kami berdiam di rumah saja dan syukur karena mereka tidak datang. Bunyi tembakan terus terjadi dari pagi sampai sekitar jam 11:00 malam itu.  Jam 21:00 seorang teman telpon bahwa ada rumah yang terbakar di bukit dupia. Untuk memastikan kabar itu, kami keluar rumah lewat pintu belakang  dan melihat kearah yang diberitahukan itu dan benar, kepulan asap hitam dan nyala api terlihat dengan jelas.  Melihat itu, saya berdoa dalam hati, “Tuhan Yesus tolong kami”, sahut kawan yang lain. Esok paginya kami dengar ada berapa speedboad warga yang dirusaki oleh aparat dan beberapa warga ditangkap dan diinterogasi polisi. Kami tidak tahu siapa warga yang ditangkap dan siapa pemilik speedboad itu? kami juga sempat bertanya-tanya, siapa pelaku penembakan itu? Tapi belakangan baru kami tahu identitas mereka. Untuk pelaku penembakan, yang kami dengar itu dilakukan oleh temannya sendiri,” demikian cerita panjang mereka. Saya lalu bertanya, adakah warga yang melihat? Iya, banyak orang yang lihat karena suasana saat itu lagi ramai, apalagi di dermaga itu, jawab mereka. Tapi lebih jelasnya tanya saja ke pekerja HAM yang ada, sebab mereka lebih tahu. Akhirnya saya berpamit untuk mencari informasi lagi dari warga yang lainnya. Dalam siara mencari informasi, tak ada cerita berbeda yang saya dapatkan, semua cerita sama. Semua warga cerita bahwa pelaku yang menembak mati polisi itu adalah temannya sendiri yang saat itu bersama-sama mencuci mobil.

Dari semua cerita itu kesimpulan sementara saya saat itu adalah bahwa kalau benar cerita warga itu, berarti pengerusakan speedboad, pembakaran rumah, penyisiran dan penangkapan terhadap warga itu hanya sebuah rekayasa aparat untuk menutup kedok mereka. Lalu siapa yang bertanggungjawab dengan korban manusia dan harta benda milik warga sipil itu? Apakah kepolisian? Ataukah pemerintah daerah setempat? Entalah!

Malam itu saya bermalam di sebuah rumah di sudut kota Madi. Di rumah seorang kawan.  kami larut dalam diskusi lepas tentang perkembang dunia dewasa ini. Cerita, kami awali dari penemuan planet baru oleh para ilmuwan sampai kepada jalannya proses pilkada dan trik-trik para kandidat dalam merebut massa untuk kursi bupati di kabupaten itu. Akhirnya, malam mengajak kami terbuai dalam mimpi.

Karena lambat tidur, pagi itu, Senin 10 September 2012 saya bangun pukul 07:15. Begitu bangun, saya langsung menuju ke dapur untuk menghangatkan badan. Sarapan pagi sudah disiapkan, kami menikmatinya sambil obrolan ringan. 

Jam 09:10 saya berpamitan untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang masih tersisa dari hari kemarin. Tugas saya hari itu adalah bertemu beberapa warga dan para pekerja HAM. Dengan sebuah ojek saya meluncur dari kota Madi menuju ke kota Enarotali. Tiba di kota Enarotali, saya memerintahkan tukang ojek itu untuk berhenti persis di depan kantor Bank Papua. Saya mengorek saku dan membayar ongkos Rp.10.000 ke tukang ojek itu.

Suasana di kota Enarotali, terutama di Pasar terlihat ramai. Sebab hari Senin adalah hari pasar di kota itu. Banyak warga masyarakat yang hidup di kampung-kampung di seberang danau Paniai seperti Obano, Kebo, Agadide, Muye, Tagee,dll datang kesana. Mereka terlihat sibuk dengan kepentingan mereka masing-masing. Ada yang datang untuk berjualan hasil kebun dan danau, ada pula yang datang untuk berbelanja, tapi ada juga yang datang kesana hanya untuk jalan-jalan.

Di pasar saya bertemu dengan beberapa orang dari Obano yang saya kenal. Kami bersalaman ala orang Mee (Kipomoti) dan langsung saja, saya meminta mereka untuk cerita tentang peristiwa di Obano yang terjadi pada tanggal 16 Agustus 2012. “Peristiwa itu terjadi sekitar 19.00. Saat itu semua orang sudah di rumahnya masing-masing. Kami tidak mendengar bunyi tembakan tapi kami diberitahu bahwa baru saja seorang pedangang (Mustafa, 22 thn) ditembak mati dan dua orang temannya (Ahyar, 25 thn dan Basri, 22 thn) mengalami luka-luka. Karena peristiwa itu terjadi malam hari, kami tidak tahu pelakunya,“ tutur mereka. Setelah mendengar kisah itu saya berterima kasih dan meninggalkan mereka disitu.

Tugas saya yang berikut adalah mencari tahu kerugian yang dialami warga sipil pasca penembakan dan penyisiran oleh aparat kemanan. Saya mencoba bertemu beberapa tokoh masyarakat untuk mendapat informasi itu. Menurut keterangan mereka pasca peristiwa 21 Agustus itu, “ ada tiga rumah milik warga sipil dibakar, delapan buah speedboad  dirusak, satu warga ditembak dan 23 orang lainnya mengalami luka-luka akibat penyiksaan dan penahanan oleh aparat keamanan. Sampai saat ini kerugian yang dialami warga belum diganti rugi oleh kepolisian dan pemerintah daerah. Menyangkut penembakan itu, kami dengar cerita dari warga bahwa korban itu ditembak oleh temannya sendiri, tapi kami meminta kepada kepolisian supaya peluruhnya diuji balestik untuk memastikan pelakunya dan hasilnya diberitahukan kepada warga masyarakat guna menjaga keamanan dan kepercayaan di antara warga masyarakat dan pihak kepolisian. Kami harap pesan kami ini bisa dikerjakan dengan segera oleh pihak kepolisian untuk menjawab desas-desus yang berkembang di masyarakat itu,” tutur mereka. Setelah mendapat info itu saya pergi ke rumah seorang kawan dan beristirahat disana.

Hari Selasa 11 September 2012, sekitar pukul 10.15 pagi, dengan menumpang sebuah mobil inova abu-abu, kami meluncur menuju Nabire. Saya duduk di kursi tengah dan menyerahkan uang Rp.300.000 kepada sopir sebagai ongkos taksi. Di dalam mobil kami ada 5 orang, 4 penumpang ditambah sopir.

Kendaraan yang kami tumpangi melaju dengan kecepatan 60 km per jam. Ketika kami tiba di kampung Udaugida tepat di depan rumah Irenius Adii (Kepala Badan Keuangan Pemda Paniai), seorang penumpang cerita kepada saya tentang peristiwa yang terjadi pada 9 Agustus 2012 di rumah itu. Katanya, pada hari itu sekelompok orang tak dikenal yang mengenakan topeng datang ke rumah itu dengan mengendarai sepeda motor dan mengeledah rumah itu. Keluarga yang ada di dalam rumah saat itu ditodong dengan pistol. Semua pengalas rumah (tikar) dibakar habis oleh mereka. Sebelum cerita ini berakhir, tak terasa kami sudah tiba di Gedeitaka Watiyai. Ia kemudian menghentikan cerita itu dan sambung dengan cerita lainnya yang terjadi di tempat itu pada Minggu,19 Agustus 2012. Malam itu di Camp PT.Dewa itu terjadi pembacokan terhadap 4 orang karyawannya, oleh orang tak dikenal. Selsius Mamahi, 30 thn dan Henokh, 33 thn mati di tempat sementara 2 orang lainnya Simson Atto, 37 thn dan Youke Patee, 38 thn menderita luka-luka. Pembunuhan seperti ini cerita baru di wilayah orang Mee, dan itu sangat meresahkan warga di beberapa kampung yang ada disekitarnya bahkan di wilayah adat suku Mee. Kampung Udaugida dan Gedeitaka berada di distrik Tigi Timur  wilayah pemerintahan Kabupaten Deiyai.

Tiba di kota kabupaten Deiyai saya teringat dengan peristiwa kematian 18 orang warganya akibat mengkonsumsi miras (keracunan) yang terjadi dalam bulan Juli 2012. Mereka yang menjadi korban, diantaranya yakni Oktopia Adii (23), Tinus Giyai (13), Aten Ikomou (26), Yan Mote (25), Agus Mote (32), Asis Mote (28), Domin Mote (27), Damianus Mote (26). Ke delapan mayat itu sempat diletakkan di lapangan Sepak Bola Thomas Adii Waghete sebagai protes masyarakat atas peredaran Miras Di Kabupaten itu, namun tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah dan DPRD setempat.

Tepat jam 12.00 kami tiba di kantor Polres Moanemani. Kami beristirahat 15 menit disitu. Saya teringat dengan pembakaran kantor Bupati dan kantor KPU setempat oleh massa lantaran konflik Pilkada di daerah itu. Perasaan ingin tahu membuat saya bertanya kepada salah satu dari sesama penumpang, Bapak,dimana kantor KPU yang baru-baru dibakar itu? ia lalu menunjukkan tempatnya. Rupanya kantor KPU dan kantor Bupati itu letaknya tidak jauh dari tempat kami singgah. Kantor yang tadinya berdiri megah itu telah menjadi abu dan menyatu dengan alam. Apa mau dikata, semuanya telah terjadi.

Jam 3.00 kami singgah di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Kilo Seratus yang ada di Distrik Siriuwo Kabupaten Nabire. Di tempat ini biasanya sopir dan para penumpang yang melintasi jalan ini beristirahat dan makan. Saya masuk di sebuah kedai yang ada di situ dan memesan ekstra jos susu. Sambil menikmati minuman dingin itu, saya bercanda dengan pemilik kedai. Ia bercerita bahwa kedai  itu Ia buka bersamaan dengan dibukanya tempat itu sebagai tempat pendulangan emas. Disamping kedai itu berdiri sebuah pos Tentara.

Tepat pukul 18.10 kami tiba di kota Nabire setelah menempu perjalanan kurang lebih 9 jam dari kota Enarotali. Tak ada perubahan berarti dengan wajah kota Nabire. Semuanya masih terlihat seperti dahulu. Isaiyas Douw masih berkuasa memerintah daerah itu.

Hari Kamis Tanggal 13 September 2012 sekitar pukul 15:00 saya menuju ke Pelabuhan Laut yang ada di Samabusa, dengan sebuah mobil Avansa Biru. Saya tiba di Samabusa pukul 16:10. Kapal penumpang Labobar yang direncanakan tiba di Nabire pukul 16:00 itu belum juga sandar. Ketika saya menanyakan masalah keterlambatan kapal putih itu, petugas hanya bilang kapal akan masuk jam 20.00. Kapal sandar di dermaga jam 20.30, ribuan penumpang turun dari kapal putih itu. Saat yang bersamaan kami pun berlomba naik ke atas kapal. Setelah berkeliling mencari tempat saya dapat di dek 3 depan. Banyak tempat tidur yang kosong disitu.  “ Mas ini banyak tempat yang kosong, memang begitu ya, sejak dari Jawa?” Saya coba bertanya kepada beberapa penumpang yang melanjutkan pelayaran ke Jayapura. “Hampir semua penumpang yang ada di dek ini turun di kota Nabire, mas,” jawab mereka.

Jawaban itu membuat saya jadi penasaran, saya pikir saya akan tanya ke salah satu petugas di kapal saat pemeriksaan tiket nanti. Saat pemeriksaan tiket tiba, saya bertanya kepada seorang petugas yang berasal dari Ambon, ale berapa orang sih yang turun di Nabire? “Kira-kira 6000 orang dan yang naik sekitar 500 orang,” jawab dia. Saya seperti shock, diam seribu bahasa di atas bangsal. Ya Tuhan, sebanyak itukah? Hanya itu pertanyaan yang terlintas dipikiran saya saat itu. Akhirnya kapal sandar di pelabuhan Jayapura tepat pukul 18.00. Begitu keluar dari pintu kapal, puluhan aparat keamanan sudah berbaris di dermaga. Katanya ada pemeriksaan terhadap penumpang yang turun dari kapal malam itu. Entalah! Namun, akhirnya saya tiba di tempat tujuan tepat pukul 21.30. ( Naftali Edoway )

sumber: facebook.com

, , , , ,

Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

0 SILAKAN BERKOMENTAR :

silakan komentar anda!

Translate

Followers

NEWS