Masyarakat adat Pengunungan Tengah PapuaSOLO (UMAGI)-- Sejarah masuknya masyarakat lain di wilayah masyarakat adat koteka seperti Para Missionaris Kristen (Katholik/Protestan), Pemerintaha Belanda, Inggris, Jepang, dan Indonesia telah menciptakan proses akulturasi yang melahirkan inovasi dalam kebudayaan masyarakat adat koteka, namun pada prakteknya proses itu belum mampu menghilangkan eksisitensi masyarakat koteka sebagai masyarakat adat di wilayahnya. Melalui peristiwa diatas telah membuktikan bahwa masyarakat adat koteka sangat menghargai eksistensi mereka sebagai masyarakat adat. Selain itu bukti pengakuan akan eksistensi mereka tercermin juga pada pola kehidupan, cara pandang, interaksi sosial, sikap, dan tindakan mereka sehari-hari.
Adat masih memegang peranan yang cukup penting dalam
kehidupan mereka, hal tersebut tercermin pada pandangan mereka yang meyakini
bahwa setiap orang yang telah melanggar peraturan adat akan dikenakan
ganjaran/sanksi seperti cacat fisik atau mental, dan bahkan ajal.
Selain itu pelanggaran yang diketahui mengorbankan orang lain atau barang maka
pelakunya akan diganjar dengan hukuman membayar denda atas perbuatannya.
Kesimpulan
yang diperoleh pada pembahasan eksistensi masyarakat adat koteka adalah,
ungkapan narasumber yang menyebutkan bahwa hingga kapanpun eksistensi
masyarakat adat koteka akan ada sepanjang kita dan anak cucu kita masih
mendiami di muka bumi, tidak ada satu orang pun (individu dan atau badan hukum)
yang memiliki hak, dan atau kewenangan untuk mehilangkan eksistensi masyarakat
adat koteka. Lebih lanjut beliau menekankan bahwa “Keberadaan negara Indonesia
dan aturan didalamnya sering menyebutkan bahwa seluruh masyarakat yang mendiami
wilayah negara Indonesia adalah warga negara Indonesia, tidak dapat serta merta
menghapus dan atau menghilangkan status mereka sebagai masyarakat adat koteka
di wilayah pegunungan tengah Papua”.
Hak
Kebudayaan atau Kebiasaan Masyarakat Adat Koteka
Pada prinsipnya segala sesuatu yang telah dan atau akan
dilakukan oleh masyarakat adat koteka memiliki arti, maksud, dan tujuan
tersendiri sebab masyarakat adat koteka memiliki pandangan hidup yang selalu
mengarahkan mereka dalam melaksanakan semua kegiatan. Pandangan tersebut adalah
“inil kalok (melihat), inaruk kolal biluk (mendengar), inobagege
kalok (merasa)”, melalui pandangan inilah masyarakat adat koteka melangkah
selama mengisi hidup dimana saja mereka berada. Pandangan tersebut dapat
dipandang sebagai pedoman hidup mereka sebagai masyarakat adat dalam komunitas
tertentu.
Terkait kepercayaan tersebut, terdapat beberapa mekanisme
yang harus dilalui agar mimpi yang dijumpai terwujud, menurut keterangan
narasumber mimpi yang diperoleh tentang suatu hal harus dijumpai selama 7
(tujuh) kali berturut-turut dalam waktu yang berbeda-beda, setelah melalui tahapan
itu maka mimpi yang dijumpai akan terwujud sehingga orang yang mendapatkan
petunjuk tersebut alangkah baiknya segerah melakukannya, sebab hasil yang
diperolehnya akan baik dan berlimpa ruah.
Masyarakat adat koteka memiliki jiwa sosial yang tinggi,
rasa sosial itu telah bermuara pada segala aktifitas yang biasannya dilakukan
oleh mereka, sehingga setiap keputusan yang diambil dalam kegiatan apapun
memuat unsur sosiologis. Dalam kehidupan sosial masyarakat adat koteka terdapat
kelas-kelas sosial masyarakat, namun kelas-kelas itu berbeda dengan kelas
sosial dalam masyarakat feodal, kelas dimaksud adalah dapat membiayai
semua keluarganya dan bahkan orang lain disekitarnya, sedangkan pandangan
lainnya hanya dapat membiayaai keluarganya saja. Kelas-kelas itu tercipta bukan
karena warisan atau ahli dalam peperangan dan sebagainnya, melainkan tercipta
karena kekayaan yang dimiliki. Kekayaan dimaksud bukan seperti emas, perak, dan
lain-lain, ukuran kaya tersebut terlihat pada seseorang memiliki mege/engga/yeparip/manny/kulit
bia (sekarang; uang), ternak yang banyak dan sehat, kebun yang banyak,
memiliki istri lebih dari satu, dan lain-lainnya.
Masyarakat adat koteka menganut Sistem Patriarki sehingga
hubungan kekerabatan yang terbangun disana mengikuti garis keturunan laki-laki.
Walaupun sistem yang dianut demikian, namun dalam prakteknya posisi seorang
perempuan sangat tinggi, terbukti dengan dihargainnya suara perempuan pada saat
pengambilan keputusan dalam setiap aktifitas/persoalan, selain itu perempuan
juga terkadang disimbolkan sebagai pembawa kedamaian dalam situasi genting, dan
sebagai simbol kehidupan. Hal itu telah terjadi lama disana, sehingga dapat
dikatakan bahwa masyarakat koteka dalam sejarah kehidupannya tidak mengenal
diskriminasi terhadap wanita namun menghargai sebagai manusia yang sama.
Masyarakat adat koteka meyakini bahwa orang yang
meninggal dengan cepat atau meninggal muda disebabkan karena telah melakukan
hal-hal yang bertentangan dengan aturan adat, selain itu mereka juga meyakini
bahwa kematian dapat terjadi karena perbuatan orang tua/kakek yang bertentangan
dengan aturan adat sehingga berdampak pada meninggalnya anak cucu.
Masyarakat adat koteka percaya bahwa pikiran jahat (iri
hati) dari setiap manusia dapat membuat suatu hal yang sedang dilakukan menjadi
tidak berhasil dengan baik atau bahkan musnah, contohnya jika seseorang menanam
suatu tanaman yang tumbuh dengan subur, karena kesuburannya kemudian melahirkan
perasaan iri dari orang lain disekitarnya terhadap tanaman itu, maka secara perlahan
kesuburan tanaman akan menurun dan bahkan dapat berujung pada kematian tanaman.
Selain pada tanaman perasaan jahat juga dapat menelan ternak yang dipelihara,
dan bahkan dapat menelan nyawa manusia.
Masyarakat adat koteka percaya dan yakin bahwa disetiap
tempat, benda, dan tumbuh-tumbuhan memiliki penghuni (roh-roh halus) sehingga
eksistensinya dihargai demi terlindunginya keluarga, dan seluruh masyarakat
adat koteka dari ancaman penghuni dimaksud. Dengan kepercayaan tersebut
kerapkali ditemukan adanya ritual-ritual adat yang dilaksanakan untuk
memberikan korban kepada roh-roh halus dimaksud, disamping itu secara umum
mereka memberikan korban sebelum memulai sesuatu aktifitas yang baru dimulai
(pertama kali dilakukan).
Menurut keyakinan mereka tempat-tempat tersebut dihuni
oleh roh-roh pelindung setiap marga, arwah leluhur, roh penyubur tanaman dan
hewan, dan lain sebagainnya. Dengan melihat itu sehingga eksistensinya
dihargai, dan dilindungi oleh mereka, bentuk penghargaannya terlihat dimana
wilayah tersebut dikelilingi oleh pagar yang dibuat atau hanya mengunakan patok
alam agar tidak terjadi pengambilan hasil, dan adanya aktifitas disekitar
tempat dimaksud, sebab jika terjadi hal diatas maka akan membahayakan
masyarakat sekitar.
Masyarakat adat koteka mengenal perang antar suku, dan
antar marga. Perang antar masyarakat adat/suku-suku sangat jarang terjadi
karena mereka dengan masyarakat adat yang berada disekitarnya telah membangun
suatu hubungan kekeluargaan yang mirip seperti saudara sekandung dimana,
masyarakat adat koteka tidak diperbolehkan untuk mengawini anak perempuan dari
masyarakat adat tentangga, tidak diperbolehkan makan dari sutu tempat yang
sama, dan lain-lain. Disamping itu perang dimaksud jarang terjadi karena masing-masing
masyarakat adat hidup, dan beraktifitas pada wilayah adat masing-masing (tidak
saling ekspansi).
Aturan adat
atau norma-norma yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat adat koteka sangat
mirip dengan isi Sepuluh Perintah Allah yang diturunkan Tuhan kepada
Nabi Mussa di Gunung Sinai. Kemiripan tersebut terimplementasi pada saat
penyebaran agama Kristen sehingga di wilayah adat koteka tidak mendapat
halangan yang berat, sebab aturan adat disana sangat mirip dengan esensi firman
Tuhan yang ingin diberitakan. Hal itu juga yang mungkin memotifasi “DR.
J. V. De Bruin menyebut masyarakat adat koteka khususnya di suku mee,
dengan sebutan Verdwenen Volk artinya suku yang hilang”. (Monggar)
0 SILAKAN BERKOMENTAR :
silakan komentar anda!