Sunday, May 29, 2016

Direktur LBH Jakarta: Kepolisian Diskriminatif Terhadap Rakyat Papua

Mypapua     1:47 AM   No comments


Aksi pembagian selebaran sosialisasi 31 Mei oleh KNPB Port Numbay, Sabtu, (28/5/2016). Sebanyak 26 orang ditangkap dan dibawa ke Polresta Jayapura, dan 25 orang di Polres Doyo, Sentani -(JUBI/ZA)
Jayapura, Jubi – Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa SH, mengatakan bahwa tindakan polisi yang kerap kali tidak mengeluarkan STTP terhadap pemberitahuan aksi-aksi damai yang dilakukan di Papua, termasuk penangkapan, adalah bukti bahwa kepolisian atau pemerintah masih diskriminatif terhadap rakyat Papua.
Dihubungi Jubi, Sabtu (28/5/2016) untuk menanggapi status hukum terkait rangkaian demo damai hak penentuan nasib sendiri, dan dukungan terhadap ULMWP yang selama ini terjadi di Papua, dia menegaskan bahwa sepanjang ekspresi tersebut dilakukan dengan cara damai, kepolisian dan pemerintah Indonesia harus menghormatinya.
Alghif memaparkan bahwa tindakan kepolisian yang tidak mengeluarkan STTP tidak lazim terjadi di tempat lain (di Indonesia) dan merupakan tindakan yang diskriminatif. Tindakan tersebut, menurutnya, melanggar Pasal 13 ayat (1) UU No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Tindakan kepolisian juga bertentangan dengan UUD RI 1945 Pasal 28, 28E ayat (2) dan (3) dimana setiap orang berhak untuk berkumpul, mengeluarkan pikiran, dan berpendapat.
Di dalam UU HAM Pasal 25, Pasal 19 UU No.12 tahun 2005 yang meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik juga melindungi hak berpendapat dan berkumpul sehingga, lanjutnya, tindakan polisi yang tidak mengeluarkan STTP adalah bukti bahwa kepolisian atau pemerintah masih diskriminatif terhadap rakyat Papua.
Dia menyesalkan bahwa konstitusi dan UU tentang menyampaikan pendapat berlaku di tempat lain, tapi tidak di Papua.  Menurutnya, itu sama saja dengan tidak mengakui rakyat Papua sebagai warga negaranya sendiri.
Sehari sebelumnya (27/5) KNPB Pusat menerima surat jawaban polisi yang menyatakan tidak diterbitkannya STTP atas pemberitahuan demo damai 31 Mei. Di dalam surat tersebut polisi meminta kelengkapan AD/ART dan kepengurusan organisasi sebagai syarat melakukan unjuk rasa.
Menurut Alghif, permintaan atas kelengkapan tersebut hanya alasan yang dicari-cari polisi untuk mencegah kebebasan berekspresi di Papua. Di tempat lain, kepolisian tidak pernah meminta kelengkapan tersebut. “Ini hanya terjadi di Papua,” ujarnya.
Alghif menjelaskan bahwa menurut Pasal 17 Peraturan Kapolri No.7 Tahun 2012 memang mencantumkan bahwa kepolisian wajib mendokumentasikan identitas dan AD/ART organisasi yang mengajukan. Tetapi lanjutnya, di Perkap hal tersebut bukanlah syarat-syarat untuk mendapatkan STTP.
“Menjadi kewajiban kepolisian untuk mendokumentasikan, bukan kewajiban pengunjuk rasa. Terlebih Pasal 17 mengatakan AD/ART didokumentasikan “jika ada’” , ujarnya.
Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta.
Alghiffari Aqsa, Direktur LBH Jakarta.
Dia melanjutkan bahwa kepolisian wajib memberikan STTP karena UU menunjukkan bahwa aksi sifatnya pemberitahuan, bukan izin. Bahkan di pasal 14 Perkap, dikatakan, dalam hal aksi akan mengganggu keamanan dan ketertiban pun kepolisian tetap harus mengeluarkan STTP, tetapi dengan membubuhkan catatan bahwa aksi tidak dianjurkan.
Di dalam surat penolakan STTP, yang ditandatangani Direktur Intelkam Polda Papua, Alfred S.IK, disebutkan bahwa KNPB dan ULMWP dianggap illegal, dan bertentangan dengan NKRI.
Padahal, ULMWP dan Indonesia sama-sama menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG), yang artinya bahwa keduanya, sekalipun dengan status berbeda, telah diakui keberadaannya di forum resmi kenegaraan di Pasific Selatan.
Menanggapi hal itu, Alghif mengatakan bahwa tindakan KNPB memberitahukan aksi kepada kepolisian tetap harus dihormati karena letak permasalahannya bukanlah di peserta aksi. Yang terjadi adalah peserta aksi telah mengikuti prosedur yang sesuai dengan UU 9 tahun 1998 namun dihambat oleh kepolisian.
Polisi bisa saja mengatakan aksi tersebut tidak sah, tapi ketidaksahan tersebut justru merupakan kesengajaan dari polisi, ujarnya.
“Aksi tetap sah karena menurut saya UUD dan UU 9/1998 jauh lebih tinggi dari sekedar hambatan prosedural oleh polisi,” tegas Algif.
Ia juga menambahkan bahwa Pasal 6 UU No 9/1998 memang mewajibkan unsur menjaga keutuhan , kesatuan dan persatuan bangsa dalam penyampaian pendapat, namun hal itu tidak bisa dijadikan dasar menolak keluarkan STTP. “Penyampaian pendapat saja belum terjadi, bagaimana bisa dikenakan kewajiban itu?”
Menutup sambungan telpon, Alghiffari Aqsa menyatakan bahwa LBH Jakarta, sebagai bagian dari Papua Itu Kita, mendukung dan menghargai aksi damai yang dilakukan masyarakat Papua.
Ia mengharapakan aksi tetap damai dan menghindari provokasi aparat, mendokumentasikan setiap aksi, mendokumentasikan setiap penangkapan jika polisi melakukannya, dan mengundang media untuk meliput sehingga publik bisa mengetahui jika terjadi kesewenang-wenangan.
Sementara itu, pagi dan siang tadi polisi kembali menangkap puluhan aktivis KNPB yang melakukan aksi pembagian selebaran menuju demo damai 31 Mei. Penangkapan dilakukan terhadap 25 orang di Sentani sekitar pukul 09:00 pagi tadi, dan 26 orang di Jayapura sekitar pukul 13.40. (*)

, , ,

Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

0 SILAKAN BERKOMENTAR :

silakan komentar anda!

Translate

Followers

NEWS