PBB hanya akan bersuara ketika anggotanya
mengangkat suatu masalah. Ini poin penting. Entah dia negara kecil atau
besar, suara anggotanya di dengar. Jelang sidang tahunan Perserikaran
Bangsa Bangsa September 2013 mendatang, dari 195 negara anggota, tiga
diantaranya menyiapkan draft khusus soal Papua. Vanuatu, Fiji dan
Salomon sebagai pendekar Papua di forum dunia ini. Perjuangan Papua di
kancah dunia tersebut suatu fakta tersendiri bahwa penanganan negri
tersebut belum sepenuhnya terkendali oleh pemerintah Indonesia.
Jaman sekarang, dirikan negara baru suatu
kemudahan. Yang susah itu menjalankan kedaulatan negara. Sudan Selatan
jadi negara akibat perang saudara. Apalagi Papua yang kini direbutkan
dunia? Lalu bagaimana dengan sikap pemerintah mengatasi hal ini, disatu
sisi, mengatasi Freeport saja susah sekali.
Rata rata mereka bersuara tentang hak asasi
manusia. Sejak tahun 2007, negara Vanuatu yang secara nyata menyuarakan
agenda Papua di forum PBB. Namun, jelang sidang kali ini, aplikasi Papua
yang di wakilkan WPNCL pada pertengahan Juni lalu, KTT MSG, seperti
artikel saya sebelumnya, bahwa kesepakatan penerimaan keanggotaan telah
di catat, namun khusus tentang tuntutan penentuan nasib sendiri West
Papua dari Indonesia, di tentukan setelah adanya kunjungan menlu MSG ke
Jakarta dan Papua.
Namun, niat tersebut justru di kacaukan oleh
Indonesia dengan mengundang sendirian perdana mentri Salomon. Rata rata
anggota MSG kecewa dengan sikap ini. Rencananya, mereka (Fiji, Salomon
dan Vanuatu) akan “pemanasan” masalah Papua di PBB sebelum menyatakan
sikap di forum pasifik tersebut pada November 2013.
Menguatnya dukungan bagi Papua karena
pemerintahan Indonesia dianggap tak “becus” menangani persoalan Papua.
Persoalan pelanggaran ham, dominasi para pendatang yang melebihi
penduduk lokal, bahkan lebih strategis lagi adalah perebutan zona dagang
antara AS-Cina di kawasan Pasifik yang kian tinggi, memicu menentukan
status Papua sebagai koloni didaerah pasifik yang perlu status politik
dan kedaulatannya.
Dominasi Koloni
Faktor dominasi orang luar maupun dominasi
kekerasan aparat militer RI satu dari segi politis isu Papua yang masih
panas sampai hari ini. Selain tujuan utama adalah faktor dominasi
perekonomian di Papua. Di lain sisi, paska isu terorisme merebak di
dunia, soal soal demokrasi dan hak asasi manusia dianggap sebagai
perjuangan bebas hambatan.
Isu Papua di suarakan sebebas mungkin di
kalangan negara barat dengan alasan bagian dari HAK dan bukan bagian
dari terorisme sehingga tak perlu di kwatirkan.
Misi kemanusian ke Papua sudah ada bahkan
meningkat. Kerap kali PBB melalui komite kemanusiaan melayangkan protes
kepada pemerintah RI. Intervensi dunia menguat seketika wartawan
Amerika, Allan Neirn, yang pernah mempublikasikan masalah Timor Leste
ini berhasil membongkar data rahasia komando pasukan khusus (KOPASSUS)
tentang Papua. Merebak sudah suara dukungan bagi Papua terkait ini.
Jumlah jiwa orang luar yang menghuni bagian
barat pulau Papua pun mendapat tanggapan serius dari kalangan pejuang
hak hak pribumi di belahan dunia. Data statistik kependudukan di cerna
dan di ikuti tahun per tahun.
Saya pikir, sejarah persebaran penduduk dari
Jawa ke luar daerah bukan hal baru. Jaman koloni Belanda, ada ribuan
saudara dari Tanah Jawa bepergian keluar dan kini menjadi warga negara
disana. Sebut saja Warga Suriname, Kaledonia Baru, bahkan Australia
sebagai dream land yang di utarakan dalam novel “Seruni”.
Terakhir fenomena transmigrasi di Papua yang
pada jaman Suharto berlaku sebagai kebijakan negara RI, sekarang sudah
tidak ada lagi, namun kedatangan “tak resmi” mereka sebagai bagian dari
mendapatkan tempat kosong untuk menata hidup. Dan mereka ada di disini
bersama penduduk Papua.
Dari 20 distrik di daerah kabupaten Merauke,
16 distrik itu pendatang, hanya 4 distrik saja yg mayoritas orang asli
Papua yaitu mereka menetap di kepulauan Fredrik Hendrik dan kimaam.
Pulau terpisah dari daratan Merauke salah satunya di Pulau Waan (ekornya
Papua Barat) disitu ada 8 kampung dan semua orang asli Papua. Mereka
mirip orang Aborigin di Australia.
Data BPS Kabupaten Merauke 2013, penduduk
asli tidak sampai 20% dan 80,9% pendatang. Sebagaimana pada data milik
Kopassus tahun 2007 yang di bocorkan oleh Allan Neirn, bahwa untuk
sekitar Jayapura saja, perhitungan jiwa sesuai suku, orang asli jauh
berada dibawah saudara kita dari Jawa. Sedangkan Jumlah penduduk menurut
agama. a) Islam : 139.546 jiwa, b)Katolik : 50.799 jiwa, c)Protestan :
117.984 jiwa, d)Hindhu : 2.504 jiwa, e)Budha : 2.404 jiwa. Jumlah
penduduk menurut suku: a)Batak : 14.490 jiwa, b)Sunda : 11.171 jiwa,
d)Jawa : 66.222 jiwa, d)Madura : 12.185 jiwa, e)Bali : 8.200 jiwa,
f)Makasar : 20.300 jiwa, g)Manado : 8.000 jiwa, h)Ambon : 8.900 jiwa,
i)Buton : 7.350 jiwa, j)Papua : 25.638 jiwa. Tahun 2013 tentu meningkat
dari yang ada.
Gambaran daerah yang dianggap koloni dari
segi kependudukan dan pengaruh resistensi militer kemudian disuarakan
oleh siapa saja yang mengembosi Papua. Kerap kali anggota Kongres AS
dari Samoa menyatakan hal tersbut juga. Pada perhelatan resminya, 2008
silam, dia mengetuk hati pemerintah Indonesia soal Papua. Bahkan, paska
dukungan tersebut, kini ruang Papua hendak di konkritkan pada semangat
Melanesian Spearhead Group.
Alasan alasan diataslah kemudian di dorong
menjadi kenyataan bahwa Papua itu ada masalah yang perlu penyelesaian
bersama. Disatu sisi, pemerintahan SBY Budiono yang mendapat sorotan
untuk melakukan upaya menyelesaikan masalah Papua dengan jalan damai.
Toh, bukan saja penduduk primbumi di sini, saudara kami dari luar pun
bersama kami sehingga perhatian solutif negara untuk Papua perlu di
konkritkan.
Sebab Otsus sudah di “Mumikan” dan tak
berdaya lagi, maka perlu tindakan nyata. Jika saja otsus yang saya
nyatakan sudah MUMI itu tak masuk akal, kenapa persoalan Papua terus di
persoalkan dunia sampai saat ini, padahal pemerintah sudah jelaskan
otsus panjang lebar.
2013 PBB Menyambungkan Papua.
Sudah saya kemukakan diatas siapa saja
anggota PBB yang nanti bersuara. Aplikasi HAM dan demokrasi sebagai
argumentasi utama. Dukungan ini belum mendapat tanggapan resmi
pemerintah Indonesia. Bagi Jakarta, suara Papua yang kumandangkan negara
luar hanya datar datar saja sehingga tak perlu di tanggapi serius.
Di satu sisi, pemerintahan RI paska Sukarno
seakan tidak punya mentalitas kenegarawanan yang mampu menyatakan
keindonesiaan di manapun. Berada dibawah genggaman “komprador AS”, negri
ini pada masa lepasnya Timor Leste tak bisa buat apa apa seketika
tekanan tajam dari IMF soal utang luar negeri. Pinjaman utang dicairkan
asalkan lepas Timtim. Sejarah pahit justru tak menjadi pelajaran bagi
Papua.
Meja PBB kian terbukan bagi Papua juga karena
faktor ekonomi kawasan. Selat Timor yang menjadi endapan minyak
pontensial, di sinyalir sebagai rebutan negara Australia dan kini jelas
Ausie yang kelola. Beralih ke Papua, dengan hadirnya misi AS-Cina di
regiona Pasifik Selatan dan Utara, memicu eskalasi Politik negara Papua
meninggi. Hadirnya MSG dibawah naungan Cina. Sedangkan Amerika dengan
keinginan besar eknpansinya, rute Pasifik dibawah kontrol Amerika dari
Australia dengan mendirikan tandingan bernama PTTS.
Hegemini ekonomi tak bisa dibendung lagi. AS
misalnya, keberhasilan negara ini dengan proyek Freeport di Papua, satu
kenyataan yang tak terbantahkan lagi. Cina dengan pola menyusup di
segala lini dan memilih daerah aman sebagai tempat bersaham. Dinamika
ekonomi dari dua kekuatan dunia menetukan sikap politik regional, daerah
Papua yang kaya, tentu tak luput dari serbuan ekonomi dunia.
Satu satunya fakta dukungan negara terkait
masalah Papua di forum PBB, puncaknya di tahun 2013, bulan September
ini. Vanuatu dengan rivalnya negara Melanesia raya, mengangkat sama sama
Papua. Diperkirakan hubungan diplomatik kian panas paska SU PBB.
Penentuannya berujung pada pemutusan diplomatik. Bila kedutaan besar
negara dimaksud tak ada lagi di Jakarta, disitulah puncak dari keruhnya
hubungan diplomatik RI dengan negara pasifik. Kebangkitan negara di
region pasifik tak terlepas dari upaya anggota DPR AS dari Samoa. Dialah
yang membuka kran ekspansi AS ke Pasifik. Walaupun kini berbenturan
dengan MSG, namun segala upaya tetap dilakukan.
Demikian jalannya Papua dikemudian hari, baik
di forum PBB maupun dinamika sosial politik yang telah saya tuliskan
diatas. Poin penting dari segalanya adalah bagaimana dunia bersikap
tentang masalah Papua. Dan bagaimana menangani Papua ditengah kepungan
ekonomi Pasar bebas.
Perlu di ketahui, sampai sekarang fonema
Papua ini meningkat karena sejumlah kepentingan dan aktor yang muncul.
Allan Neirn dengan misi bongkar dokumen rahasia, Eni F. Falaemavaega
dengan kapasitasnya sebagai anggota senator negara adidaya, lalu
kemdian, negara pasifik yang mencantumkan Papua pada aplikasi zona
dagang ekonomi, hingga perburuan daerah kekuasaan ekonomi strategis
antara AS dengan Cina.
Bahkan, pemerintah RI yang menganggap Papua
tak bisa di ganggu gugat dengan alasan bagian integral, sampai dengan
regulasi otsus, padahal mereka (pemerintah RI) sendiri atasi Freeport
saja masih lembek. Otsus itu dianggap sukes bila sejarah Freeport mampu
di atasi negara ini.