Tikus-tikus dan anjing-anjing mencium
kearuman Emas dan kekayaan alam Papua. Pegunungan Papua sekitar Pada tahun
1904-1905 suatu lembaga swasta dari Belanda Koninklijke Nederlandsche
Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni Lembaga Geografi Kerajaan Belanda,
menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya yang tujuan utamanya
adalah mengunjungi Pegunungan Salju yang konon kabarnya ada di Tanah Papua.
(baca: http://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia)
Perluh ketahui bahwa kontrak kerja yang
dilakukan oleh Indonesia dan Amerika atas PT FREEPORT Indonesia masuk ke
beroperasi ke papua. Saat mekalukan kesepakatan dan kontrak karya Orang Papua tidak ikut sertakan dan belum ada
orang yang mewakilinya. Harus pelajari
juga status admintrasi Pemerintahan Negara Papua Barat, belum secara Hak penuh
di tangan Indonesia. Namun Indonesia
Amerika berani mengambil keputusan tanpa mempertingbangkan hak-hak dasar warisan adat orang Papua. Memang mereka
benar-benar keterlaluan mengadaikan Papua ketangan Amerika melalui Indonesia. Berarti
PT Freeport Ilegal Masuk Papua. Lihat dan (baca: Versi
Wikipedia) Pada Tahun 1936 – Jacques Dozy menemukan cadangan ‘Ertsberg’. 1960 – Ekspedisi
Forbes Wilson untuk menemukan kembali ‘Ertsberg’. 1967 – Kontrak Karya I
(Freeport Indonesia Inc.) berlaku selama 30 tahun sejak mulai beroperasi tahun
1973. 1988 – Freeport menemukan cadangan Grasberg. Investasi yang besar dan
risiko tinggi, sehingga memerlukan jaminan investasi jangka panjang. 1991 –
Kontrak Karya II (PT Freeport Indonesia) berlaku 30 tahun dengan periode
produksi akan berakhir di tahun 2021, serta kemungkinan perpanjangan 2x 10
tahun (sampai tahun 2041).
Awalnya masuknya PT. Freeport Pasca kepemimpinan Presiden Soekarno,
di awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk
segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi.
Namun dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan,
pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang
Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967). Sebelum Pepera 1969. Sedangkan Pepera yang
dilakukan Versi oleh Indonesia, PBB yang seharusnya dilajankan sesuai dengan mekanisme Internasionan One Man One Voice. Tapi tidak seperti itu, karena Kepentingan
Amerika dan Indonesia yang terstruktur, mereka melindungi PT Freeport harus
beroperasi di Timika Papua untuk Kepentingan Indonesia dan Amerika. Amerika mendukung Papua masuk dalam
Indonesia untuk kepentingan Emas di Papua, sedangkan Indonesia membuka mata
lebar-lebar memalui diplomasi ke Amerika untuk kepentinga Politik Papua tetap
dalam Indonesia. Untuk kepentingan kekayaan alam dan Menindas dan membunuh orang Papua. Indonesia di kuasai Papua, baca ini seorang Militer namanya Alii
Murtopo ini kutipannya.
“Bahwa Indonesia tidak menginginkan orang
Papua, Indonesia hanya menginginkan tanah dan sumber daya alam yang terdapat di
dalam pulau Papua. Kalau orang Papua ingin merdeka, silahkan cari pulau lain di
Pasifik untuk merdeka. Atau meminta orang Amerika untuk menyediakan tempat di
bulan untuk orang-orang Papua menempati di sana,” Pernyataan Ali Murtopo pada
tahun 1966, dituliskan oleh Socratez Sofyan Yoman dalam bukunya “Pemusnahan
Etnis Melanesia, tahun 2007 diterbitkan oleh Galang Press”
Pernyataan dari Ali Murtopo tersebut bukanlah suatu hal
yang menjadi alasan orang Papua ingin merdeka. Merdeka dari ketidakadilan
Pemerintah Indonesia dan merdeka dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi dan
intimidasi aparat militer di Papua. Jauh dari itu, tuntutan untuk merdeka bukan
sebagai akibat dari terakumulasi kekecewaan terhadap pembangunan di tanah Papua
sejak Papua dimasukan ke dalam wilayah Indonesia. Tuntutan penentuan nasib
sendiri itu lahir dengan beberapa alasan yang mendasar dan krusial. Pertama, Sejarah terutama Penentuan
Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 yang manipulatif; kedua, Pelanggaran Hak Asasi Manusia; ketiga, Masalah diskriminasi dan pembangunan
selama empat dekade; keempat, Masalah eksploitasi Sumber Daya
Alam dan penghancuran lingkungan hidup, gunung dan hutan di Papua; kelima, perbedaan kebudayaan, ras dan etnis
dan bahasa.
Sejarah Papua: PEPERA 1969
Selasa, 2 Agustus 2011. Hampir di seluruh rakyat Papua menuntut
kemerdekaan bagi tanah Papua. Lalu harus
saya mulai dari mana menjelaskan persoalan yang besar ini? Melihat dari
persoalan di atas sudah pasti rakyat Indonesia yang berada di luar Papua
bingung dan terus bertanya, mengapa penduduk asli Papua tidak pernah mengakui
dan menerima PEPERA 1969 tapi sebaliknya secara konsisten dan terus-menerus
melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikan Papua Barat ke dalam
wilayah Indonesia? Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat yang beretnis Melanesia
ini keliru dalam memahami sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah
Indonesia? Apakah benar PEPERA 1969 manipulatif? Pertanyaan ini akan menjadi
analisis awal saya sebelum menawarkan konsep menyelesaikan persoalan Papua
secara damai dan menjawab pertanyaan, haruskah tanah Papua tetap “Menjadi
Indonesia”? atau kapan Indonesia kasih Papua Merdeka?
Pertanyaan-pertanyaan diatas tidaklah mudah untuk
dijawab, tapi dibutuhkan pergumulan dan perjalanan panjang. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) meluncurkan buku Papua
Road Map atau Peta
Perjalanan Papua. Tim Peneliti LIPI mencoba menemukan akar masalah yang
sesungguhnya dialami dan dipertanyakan rakyat dan bangsa Papua selama ini. Buku
ini menemukan dan merumuskan empat masalah pokok di Papua, yaitu: (1) sejarah
dan status politik Papua; (2) kekerasan Negara dan pelanggaran HAM; (3)
marjinalisasi; (4) pembangunan yang diskriminatif. Temuan ini telah memberikan
ruang dan kesempatan kepada rakyat Papua dan pemerintah Indonesia duduk
bersama-sama untuk negosiasi, mediasi dan komunikasi serta berdialog secara
damai untuk memberikan pilihan-pilihan jawaban yang elegan, bermartabat dan
setara.
Akan tetapi, sa
pu pendapat lain to, empat
masalah yang Tim LIPI temukan sesungguhnya bersumber dari satu akar masalah
saja yaitu: sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui
proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 yang manipulatif, atau orang Papua bilang ini
tipu–tipu toh. Pada
Juli–Agustus 1969, dengan total 1025 orang Papua diminta menentukan suara
mereka, mau integrasi dengan Indonesia atau jadi negara sendiri. Musyawarah
diadakan di beberapa kota, Merauke (14 Juli), Wamena (15 Juli), Nabire (19 Juli),
Fak-Fak (23 Juli), Sorong (27 Juli), Manokwari (29 Juli), Biak (31 Juli) dan
Jayapura (2 Agustus). PEPERA 1969 telah dilaksanakan di Tanah Papua Barat
sesuai dengan sistem Indonesia, yaitu musyawarah.
Pelaksanaan dengan cara Indonesia ini sangat berlawanan dengan isi Perjanjian
New York, 15 Agustus 1962 yang disetujui oleh PBB, Amerika, Belanda dan
Indonesia, bahwa PEPERA 1969 dilaksanakan dengan sistem dan mekanisme
Internasional, yaitu one man
one vote (satu orang
satu suara). Tetapi
perjanjian itu diabaikan bahkan dihancurkan oleh Pemerintah Indonesia melalui
kekuatan militernya. Bahkan pemerintah Indonesia melarang wartawan
internasional memantau pelaksanaan PEPERA di Papua. Ironisnya sampai saat ini,
wartawan internasional masih dilarang masuk ke tanah Papua. Kenapa ? Hanya
pemerintah Indonesia yang bisa menjawab.
Untuk itu saya
kira penting untuk memaparkan betapa besarnya peran militer Indonesia sebelum,
saat pelaksanaan dan sesudah PEPERA 1969. Ini terlihat dari Surat Telegram
resmi yang dikeluarkan oleh Kol. Inf. Soepomo. Komando Daerah Militer XVII
Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20 Februari 1967,
berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No: TR-228/1967 TBT tertanggal 7 Februari
1967. Inti dari isi telegram tersebut adalah memerintahkan semua personil
tentara mengerahkan kekuatannya untuk memenangkan PEPERA 1969 dengan cara
apapun. Orang-orang Papua yang memberikan suara dalam PEPERA 1969 itu
ditentukan oleh pejabat Indonesia dan sementara orang-orang yang dipilih itu
semua berada di dalam ruangan dan dijaga ketat oleh militer dan polisi
Indonesia.
Tulisan berjudul Sebuah
Renungan Merauke, dalam buku Agama
Saya Adalah Jurnalisme karya
Andreas Harsono dituliskan, seorang diplomat internasional, dalam buku John
Saltford, The United Nations
and the Indonesian Takeover of West Papua 1962–1969, mengamati bagaimana seorang wakil
Papua dalam musyawarah di Mulia, Puncak Jaya, bertanya kepada wakil pemerintah
Indonesia apa yang akan terjadi bila dia memilih merdeka. Jawabnya sederhana.
Dia akan ditembak!
Dari uraian diatas, saya berpendapat, bahwa hasil PEPERA
1969 hingga saat ini menuai hujan kritik dan protes yang keras bukan tanpa
alasan, bahkan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB.
Anggota PBB mempersoalkan pelaksanaan PEPERA yang penuh dengan kebohongan dan
kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional. Dari hasil yang
dianggap melanggar hukum internasional ini, maka dalam Sidang Umum PBB hanya
mencatat “take note”.
Dan harus di pahami istilah “take
note” itu tidak sama dengan
disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan
PEPERA 1969 di Papua Barat. Manipulasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia
dan dukungan militer inilah yang selalu menjadi persoalan penduduk Papua, untuk
terus mempertanyakan keabsahan PEPERA 1969 dan menggugatnya. Jadi, pemaparan
saya ini hanya ingin mencoba menjawab alasan tentang manipulasi sejarah
pelaksanaan PEPERA 1969. Apabila pemaparan diatas benar, lalu kapan Indonesia
kasih Papua Merdeka?
STOP SUDAH ! Pelanggaran HAM di Papua
Kondisi
penegakan hak asasi manusia dari tahun sampai saat ini masih menyisakan
sejumlah pekerjaan rumah, terutama menyangkut kasus-kasus pelanggaran hak asasi
manusia yang belum terselesaikan. Contoh kecil saja, kasus Abepura dan Wasior-Wamena,
kasus ini mandeg di Kejaksaan Agung. Potret buram berbagai penanganan
kasus-kasus masa lalu di Papua tidak saja dibaluti oleh beban sejarah, namun
juga berbenturan dengan kemauan politik penguasa. Sejak awal, pada saat
menjalankan administrasi pemerintahan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA) 1969, maupun sesudah secara resmi. Pemerintah Indonesia memilih dan
menggunakan pendekatan keamanan atau militer dengan dalih menegakan keadulatan
negara, mengikis habis gerakan yang di cap separatisme yang telah dipupuk
sebelum Belanda hengkang dari Papua.
Pada saat
reformasi, kendati ada sejumlah perubahan kebijakan terhadap situasi keamanan
di Papua namun keadaanya tidak berubah total, kekerasan masih terus
terjadi. Memang pada tahun 1998 Panglima TNI yang waku itu dijabat oleh
Jenderal Wiranto menyatakan peryataan formal berupa permintaan maaf dan
pencabutan status Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), akan tetapi
kenyataan pola dan karakteristiknya tetap tidak berubah. Idealnya pernyataan Wiranto
saat itu dibarengi dengan upaya penarikan pasukan TNI yang sifatnya
non-organik. Namun, yang terjadi sebaliknya, kebijakan militer yang mulai
dijalankan sejak integrasi Papua terus berlanjut dengan alasan menumpas
kelompok pro-kemerdekaan. Hal ini bukannya tidak menimbulkan ekses negatif di
Papua, karena dengan implementasi model kebijakan ini terjadi berbagai
kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia hingga kini.
Penyelesaian secara damai di tanah Papua belakangan ini
dikhawatirkan akan semakin sulit terwujud. Dalam analisisis LSM Imparsial,
setidaknya ada tiga hal yang menjadi dasar kekhawatiran tersebut;pertama, meningkatnya
ekskalasi kekerasan yang memperkeruh Papua, kedua nihilnya akuntabilitas penyelenggaraan
akitivitas keamanan di Papua oleh TNI dan Polri dan ketiga; ambivalensi
sikap Presiden dalam memandang persoalan Papua. Dibiarkannya ketiga hal ini
akan memicu tindakan-tindakan yang justru kontraproduktif bagi penyelesaian
Papua yang bermartabat, terlebih dalam penegakan pelanggaran hak asasi manusia.
Lalu, mana janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyo, pada pidato kenegaraan, 16
Agutus 2011, untuk menyelesaikan persoalan Papua dengan hati. Ah, saya kira
Presiden Indonesia ini hanya ingin tipu
lagi orang Papua dengan janji to. Pertanyaan lainnya, mau atau tidak pemerintah
Indonesia segera menyelesaikan persoalan Papua, atau serahkan saja
“kemerdekaan” kepada orang Papua. Itu
sudah.
Pembangunan, diskriminasi dan Kekayaan Alam
Mendefinisikan
Pembangunan di tanah Papua maka saya harus melihatnya dari dua sudut pandang, yaitu
pembangunan dari sudut pandang Pemerintah Indonesia dan sudut pandang orang
Papua. Kemudian, pertanyaannya adalah, apa arti sesungguhnya kata “pembangunan”
dari masing–masing sudut pandang tersebut? Menurut Socratez Sofyan Yoman,
tentang arti pembangunan dari etnis melanesia adalah memiliki hidup yang lebih
baik dan bermartabat. Sedangkan pemerintah Indonesia selama ini mengukur
pembangunan di Papua dengan membentuk stigma orang Papua itu, belum maju,
terbelakang, tertinggal, terbodoh dan separatis. Sungguh, ini adalah suatu
bentuk diskriminasi.
Sampai hari
ini, saya mengamati negara masih mengabaikan perlindungan kesetaraan warga,
penghormatan martabat manusia serta supremasi hukum di Papua. Akibatnya
kesejahteraan, pembangunan dan keadilan makin jauh dirasakan orang Papua.
Persoalan marjinalisasi dan diskriminasi terhadap warga asli Papua sebagai
akibat dari politik pembangunan ekonomi, konflik politik dan migrasi massal
yang dipraktikkan sejak tahun 1970 masih menjadi corak khas yang memenuhi daftar
persoalan Papua hingga kini. Bahkan, jumlah warga pendatang di Papua saat ini,
hampir seimbang dengan jumlah warga asli Papua.
Kemudian,
berbicara tentang sumber daya alam di Papua sungguh ironis, tapi kenyataannya
ini terjadi. Orang Papua saat ini harus merasakan pahitnya hidup di tanah
sendiri. Warga Papua ingin membeli kayu, tanah dan pasirnya sendiri saja harus
kepada warga pendatang. Bahkan untuk membeli makanan Pinang, Sagu, Pisang di
pasar-pun kepada pendatang yang berjualan di Pasar. Tetapi, ini hanya persoalan
kecil saja. Persoalan besarnya adalah eksploitasi besar–besaran sumber daya
alam di Papua. Sebut saja PT. Freeport dengan eksploitasi tambang emasnya dan
Mega Proyek Merauke Integrated Food Energy and Estate (MIFEE). Tidak bisa
dipungkiri bahwa salah satu alasan terkuat tidak akan dilepaskannya Papua dari
Indonesia karena sumber saya alam yang melimpah. Alasan ini menjadi pembenar
peryataan Ali Murtopo, bahwa Indonesia hanya butuh kekayaan alam Papua.
Lihat saja, setiap hari dihasilkan sekitar 300 kilogram
emas dari perut tanah Papua! Emas 300 kilogram per hari senilai Rp 90 miliar
per hari atau Rp 2,7 triliun per bulan dengan asumsi harga emas Rp 300.000 per
gram. Artinya, besarnya jumlah rupiah ini berbanding terbalik bukan dengan
pembangunan bagi kesejahteraan, akses pendidikan, akses kesehatan, fasilitas
jalan dan lainnya yang tidak dirasakan oleh orang Papua, namun pemerintah
Indonesia di Pusat yang merasakannya. Bahkan, Menurut dokumen perusahaan, dari
laporan investigatif wartawan New
York Times, Jane Perlez, Raymond Bonner dan kontributor Evelyn Rusli, “Below a Mountain of Wealth, a
River of Waste”, 27 Desember 2005, Freeport membayar paling sedikit 20
juta dolar (sekitar Rp 184 miliar) kepada militer dan polisi di Papua dari
tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga tambahan 10 juta dolar
(sekitar Rp 92 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi pada
jangka waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 276 miliar. Data ini seharusnya
membukakan mata kita, bahwa keadaan militer di Indonesia hanya untuk memperkaya
militer itu sendiri. Hanya sedikit saja, orang Papua menikmati hasil, dari
besarnya keuntungan eksploitasi tambang yang dilakukan PT. Freeport yang
diambil di tanah Papua.
Selain itu,
dengan alasan untuk menjadikan Merauke sebagai lahan swasembada pangan di
Indonesia menarik untuk di kaji. Pemerintah Indonesia memilih Merauke sebagai
lokasi Mega Proyek Merauke Integrated Food Energy and Estate, bukan tanpa
alasan. Pemerintah menyepakati untuk membuka 1,2 juta hektar lahan untuk
mendukung proyek tersebut. Persoalannya, untuk membuka lahan seluas itu, maka
yang dilakukan adalah dengan menggunduli hutan dan gunung di Merauke. Lalu, apa
dampaknya, sudah bisa kita ketahui bersama, bencana alam seperti longsor dan
global warming.
Awalnya, argumen pemerintah yang dimotori Menteri
Perekonomian adalah bahwa MIFEE diperlukan untuk mempertahankan stok pangan dan
bio-energi pertahanan pangan, akselesari pembangunan, peluang usaha, membuka
lapangan kerja dan sebagainya. Namun, belakangan berjalan, proyek ini menjadi
masalah besar, mulai dari pengalihan hak tanah yang penuh tipu–tipu, bahkan
kepentingan dari keuntungan MIFEE yang seharusnya diperuntukan untuk
kepentingan orang Papua menjadi salah arah, keuntungan itu hanya kepentingan investor
dan pemerintah pusat. Untuk itu penghargaan Global
Champion on Disaster Risk Reduction yang
diberikan kepadaPresiden Susilo Bambang Yudhoyno dari Perserikatan Bangsa
Bangsa, pada Mei 2011 sudah seharusnya di pertimbangan ulang, apabila melihat
kemungkinan bencana alam mungkin akan terjadi di tanah Papua sebagai akibat
rusaknya hutan dan gunung di Merauke akibat dari kegagalan Mega Proyek MIFEE.
PAPUA MERDEKA
Melihat
akar permasalahan sejarah dianeksasikannya wilayah Papua Indonesia Masuk yang penuh rekayasa dan kepalsuan seperti ini, pelanggaran HAM yang terus
terjadi, diskriminasi dan pengerukan sumber daya alam secara terus-menurus di
tanah Papua, maka penting sekali merumuskan jalan penyelesaian yang berprospek
damai, bermartabat dan manusiawi harus ditemukan antara penduduk asli Papua
dengan pemerintah Indonesia dimediasi pihak ketiga yang netral, melakukan Referendum, dan Pengakuan
Kedulatan Papua. Oleh karena itu, gagasan-gagasan ini antara Pemerintah Indonesia dan penduduk asli
Papua harus didukung semua komponen. Untuk Papua merdeka. Papua merdeka karena 1.
Hak, 2. Budaya, 3. atarbelakang sejarah 4. realitas sekarang.
Penulis : Peduli keadilan dan kebenaran
Sumber: beberapa Opini di media online