Oleh Socratez Sofyan Yoman
Jayapura, (3/7)---Sebagian
besar rakyat Indonesia, rakyat Papua dan tentu saja komunitas
masyarakat Internasional memuji Presiden Republik Indonesia yang ke-5,
H.Dr. Susilo Bambang Yudhoyono yang dinilai sebagai presiden
demokratis, cerdas dan elegan selama ini. Dalam pencitraannya, SBY
dengan sikap ketenangan yang dimilikinya dapat mengungkapkan kata-kata
dan kalimat-kalimat yang terukur dan jelas. Tentu saja para pendengar
yang tidak mempunyai kepekaan dan kemampuan kritis dapat terperangkap,
terlena dan terpukau dan dapat dikatakan tunduk. Tetapi, bagi mereka
yang kritis, tidak menerima begitu saja, bahkan berani berbeda
pandangan dengan SBY dalam semangat dinamika demokrasi dan terutama,
dari lawan-lawan (rival) poitiknya. SBY yang dinilai demokratis ini
menyampaikan pernyataan dalam menyikapi kompleksitas persoalan Papua
sebagai berikut.
“ Kita serius. Kita sungguh ingin
memajukan saudara kita di Papua, kesejahteraan dan keadilan. Kita bisa
berdialog untuk kemajuan, pembangunan, kesejahteraan, dan keadilan. Saya
siap dan terus berdialog dengan tokoh Papua. Tetapi tidak ada diskusi,
tidak ada dialog menyangkut kedaulatan dan keutuhan wilayah (Indonesia).
Kalau ada gerakan di Papua untuk memisahkan diri atau separatisme, itu
bukan kebebasan berpendapat. Itu bertentangan dengan semangat menjaga
kedaulatan Negara. PEPERA 1969 yang dilakukan oleh PBB, hasilnya sudah
sah dan final bagian dari NKRI, juga Negara-negara sahabat dalam
kemitraan secara eksplisit dengan tertulis mendukung Papua bagian dari
NKRI. Oleh karena itu, sah juga jika TNI/POLRI menegakkan hukum,
melindungi rakyat dan keamanan wilayah Papua. (Sumber: Kompas, Sabtu, 30
Juni 2012, hal. 1 dan hal.15).
Pernyataan tegas dari SBY ini
dari sisi sebagai seorang presiden dapat dimengerti karena SBY diberikan
mandat oleh rakyat Indonesia sebagai Presiden untuk menjaga kedaulatan
Negara Indonesia dengan memegang dan melaksanakan konstitusi Negara.
Sebaliknya,pernyataan SBY ini tercermin kontra-produktif dengan Pidato
kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang
Yudoyono, pada 16 Agustus 2008, “Kebijakan pemerintah yang bersifat
persuasif, proaktif, dan berimbang, ternyata mampu meyakinkan berbagai
pihak, bahwa kekerasan, bukanlah solusi terbaik untuk menyelesaikan
masalah”. Pidato kenegaraan SBY, 16 Agustus 2010, “Pemerintah dengan
seksama terus mempelajari dinamika yang ada di Papua, dan akan terus
menjalin komunikasi yang konstruktif dalam pembangunan Papua yang lebih
baik”. Pidato SBY pada 16 Agustus 2011, SBY, “ Menata Papua dengan
hati, adalah kunci dari semua langkah untuk menyukseskan pembangunan
Papua”.
Pernyataan SBY tadi, bertolak belakang dengan
pidato-pidato resmi Kenegaraan SBY yang menjanjikan dan berprospek damai
dan manusiawi. Pernyataan yang tidak konsisten seperti ini tidak saja
membingungkan Penduduk Asli Papua tapi juga sangat berbahaya bagi
kedamaian dan ketenangan Orang Asli Papua karena aparat keamanan dari
pihak TNI/POLRI akan menterjemahkan dengan paradigma keamanan. Oleh
karena itu, pertanyaanya ialah apakah pernyataan ini dapat diterima oleh
rakyat Papua yang selama ini diperlakukan tidak adil, kejam,brutal dan
tidak manusiawi oleh Pemerintah dan aparat keamanan dari TNI/POLRI atas
nama kedaulatan Negara? Pernyataan ini memang tidak mencerminkan
nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi, bahkan sangat kontras dengan apa
yang dikampanyekan selama ini oleh Indonesia kepada masyarakat
Internasional. Kita sebagai manusia yang berdaulat dan merdeka sejak
lahir, tidak bisa hanya menerima begitu saja setiap pernyataan penguasa
yang menjastifikasi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang sudah
melembaga dan selalu merabik-rabik, merendahkan kedaulatan dan
kehormatan manusia sebagai gambar dan rupa Allah yang berada, hidup di
atas Tanah leluhur mereka sendiri di Papua.
Pernyataan seorang
presiden seperti ini mempunyai implikasi yang luas. Aparat keamanan akan
menterjemahkannya dengan operasi militer di Tanah Papua. Semua orang
Papua selama ini yang dicurigai dan berbeda pandangan dianggap musuh
Negara dan harus dihadapi dengan kekuatan senjata. Walaupun pengalaman
dan kenyatakan selama hampir 51 tahun cukup memberikan pelajaran yang
berharga bahwa pendekatan keamanan di Tanah Papua telah menyebabkan
kejahatan terhadap kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang benar-benar
brutal.
Dalam menghadapi kekerasan dan kejahatan terhadap
kemanusiaan seperti ini, saya sebagai salah satu gembala umat dan
pemimpin Gereja yang selalu hidup bersama dan menggembalakan umat Allah
di Tanah Papua, saya sependapat dengan pernyataan dari Uskup Dom
Carlos Filipe Ximenes Belo, mantan Uskup Timor Timur (sekarang: Timor
Leste). “ …dalam realita, kalau sudah menyangkut pribadi manusia,
walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada
person karena kadang-kadang pribadi manusia harganya lebih tinggi
daripada keamanan Negara atau kepentingan nasional” ( Frans Sihol
Siagian dan Peter Tukan: Voice of Voiceless,1997:hal. 129). Senada
juga, Uskup Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM Uskup Jayapura, pernah berkata:
“Rakyat Papua sudah bertekad berjuang tanpa kekerasan tetapi melalui
perundingan dan diplomasi, dengan cara damai dan demokratis. Sikap yang
amat simpatik itu harap tidak dijawab pemerintah dengan bedil, bom, dan
penjara. Tanggapan untuk suatu dialog yang demokratis,adil, jujur,
pasti, sekaligus juga meredam usaha-usaha para provokator yang tidak
henti-hentinya memancing kekerasan entah dari pihak pemerintah/militer
atau pihak-pihak rakyat Papua.” (Neles Tebay, 2009: hal. 16).
Kalau
masalah Papua sudah final dan Papua bagian sah dari Indonesia, mengapa
rakyat Papua selama ini melakukan perlawanan terhadap pemerintah
Indonesia di Tanah Papua hampir lima dekade walaupun nyawa mereka
menjadi taruhan di tangan aparat keamanan Indonesia? Apakah benar Papua
sudah final dalam Indonesia? Apakah anggota PBB semua setuju Papua
dalam Indonesia pada saat PEPERA 1969? Apakah pendekatan keamanan di
Papua selama ini telah menyelesaikan masalah Papua?
Pada bulan
Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada
anggota Tim PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia):
“Bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua.”
(Summarey of Jack W. Lydman’s Report, July 18, 1969, in NAA, Extracts
Given to Author by Anthony Bamain). Tidak dapat diragukan dan juga tidak
dapat dibantah bahwa keinginan kuat orang asli Papua Barat untuk
merdeka di negeri dan tanah leluhurnya. Sudjarwo mengakui: “Banyak
orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia.” (UNGA
Official Records MM, Ex 1, Paragraph 126).
Ortiz menyatakan,
“Penjelasan orang-orang Indonesia atas pemberontakan Rakyat Papua sangat
tidak dipercayai. Sesuai dengan penjelasan resmi, alasan pokok
pemberontakan Rakyat Papua yang dilaporkan administrasi lokal sangat
memalukan. Karena, tanpa ragu-ragu penduduk Irian barat dengan pasti
memegang teguh berkeinginan merdeka” ( Sumber: Laporan Resmi Hasil
PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260). Dr. Fernando
Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969
menyatakan: “ Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk
berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua
Merdeka” (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723,paragraph, 243, p.47).
Keinginan
politik Orang Asli Papua dikorbankan dan bahkan dikhianati karena
dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer
Indonesia memainkan peran sangat besar dalam proses pelaksanaan dan
sesudah PEPERA 1969. Terlihat dalam dokumen militer: “Surat Telegram
Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih
Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram
MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi
referendum di IRBA tahun 1969: “Mempergiatkan segala aktivitas di
masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan
personil yang organik maupun yang B/P-kan baik dari Angkatan darat
maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di
IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan
strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan
kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah
OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam
17/PANG OPSADAR”. “Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175
anggota dewan musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok
besar tentara Indonesia hadir…” (Sumber: Laporan resmi PBB: Annex 1,
paragraph 189-200).
Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei,
memprotes dalam Sidang Umum PBB, dengan mengutip laporan Dr. Fernando
Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak
terpuji yang ditunjukkan kepada peserta PEPERA di Papua Barat. “ yang
dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum bahwa bukti-bukti peristiwa
keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana
Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia,
Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah
untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu
ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari
sabang sampai Merauke…”.[1]
Sedangkan Duta Besar pemerintah
Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut: “ Setelah kami mempelajari
laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar
biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan
prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami
dibinggungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh
Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya.
Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan
saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu
dengan pasti menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan
aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa. Kami
harus menanyakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang
sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan
Sekreratis Jenderal. Contoh: kami dapat bertanya:
(1)Mengapa
sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan
tidak dipilih oleh rakyat? (2) Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam
pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar
saja? (3) Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan
kata lain, oleh perwakilan pemerintah? (4) Mengapa hanya organisasi
pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon? (5)
Mengapa prinsip “one man, one vote” yang direkomendasikan oleh
perwakilan Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan? (6) Mengapa tidak ada
perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah
dan militer? (7) Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan
mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka bahwa,
“hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka
berkeinginan tinggal dengan Indonesia? (8) Mengapa hak-hak pengakuan
dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan
kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkupul tidak dinikmati
oleh seluruh penduduk asli Papua?[2]
Selama ini Pemerintah
Indonesia keliru dan menggunakan pendekatan keamanan ini amat fatal.
Selayaknya yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan aparat keamanan
Indonesia adalah menegakkan kedaulatan manusia Indonesia dan
mempertahankan kehormatan, hak asasi manusia, dan kesamaan derajat
seluruh segenap rakyat Indonesia, termasuk rakyat Papua. Karena Negara
Indonesia ada atas dasar kepercayaan, kesepakatan dan mandat rakyat.
Negara Indonesia akan kuat dan kokoh kalau kedaulatan manusia
ditegakkan. Negara Indonesia akan kuat dan kokoh kalau integritas
manusia mendapat kehormatan. Negara Indonesia akan kuat dan kokoh kalau
kesamaan derajat dijunjung tinggi. Negara Indonesia kuat dan kokoh kalau
perbedaan agama, bahasa, budaya, ras, etnis, pandangan politik
benar-benar mendapat perlindungan dan tempat yang setara di dalam rumah
yang namanya INDONESIA.
Pemerintah Indonesia memang gagal
memenangkan hati Penduduk Asli Papua (PAP) untuk merasa memiliki dan
menjadi bagian dari rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia gagal
men-Indonesia-kan Penduduk Asli Papua. “Pemerintah hanya berhasil
mengintegrasikan potensi ekonomi Papua dengan kekuatan politik dan
militer namun gagal membangun orang Papua” (Yoman: Kompas, Kamis, Jumat,
29 Juni 2012, hal.5). Ia (Indonesia) juga gagal membangun kepercayaan
Penduduk Asli Papua kepada Indonesia. Pendekatan keamanan selama ini
dengan stigma separatis,makar dan OPM yang dialamatkan kepada penduduk
Asli Papua, dan mereka dikejar, ditangkap, diculik,dibunuh dan
dipenjarakan selama ini benar-benar merendahkan martabat Penduduk Asli
Papua. Manusia Penduduk Asli Papua benar-benar diperlakukan seperti
hewan buruan atas nama integritas dan kedaulatan wilayah Indonesia.
Karena itu, Penduduk Asli Papua telah kehilangan kepercayaan kepada
otoritas Pemerintah Indonesia di Papua.
Angger Jati Wijaya,
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM
Indonesia (PBHI) menyatakan: “ Penghormatan hak asasi manusia (HAM)
harus ditegakkan semaksimal mungkin, karena selama ini kasus-kasus yang
terjadi seperti diredam, degan mudah misalnya member stigma OPM, stigma
separatis,member stigma gangguan sipil bersenjata. Idiom-idiom seperti
ini harus mulai disingkirkan dari pendekatan penyelesaian konflik Papua.
Selama idiom it uterus dipakai dalam pendekatan penyelesaian konflik di
Papua, saya kira konflik baru selalu muncul” ( Prioritas: Nasip Papua
di NKRI, Edisi 24-Tahun I, 25 Juni-1 Juli 2012, hal. 8).
Sedangkan
Mahfudz Siddiq, Ketua Komisi I DPR RI mengungkapkan: “ Masalah Papua
sudah multimensi. Politik, ekonomi dan budaya yang sudah mengkristal
menjadi ketidakpercayaan masyarakat Asli Papua terhadap pemerintah
daerah dan pusat. Gerakan protes dan pembangkangan berwujud dalam
gerakan gerakan politik dan gerakan senjata. Pemerintah harus mencari
solusi yang komprehensif untuk menyelesaikan kasus Papua. Penyelesaian
dari aspek keamanan hanya akan memperkuat gerakan politik dan
bersenjata” ( Prioritas: Nasip Papua di NKRI, Edisi 24-Tahun I, 25
Juni-1 Juli 2012, hal. 8).
Sementara Tubagus Hasanudin, Wakil
Ketua Komisi I DPR RI, “melihat akar persoalan Papua perbedaan persepsi
soal Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, marjinalisasi masyarakat
Papua, trauma operasi militer dan gagalnya Otonomi Khusus” (Kompas,
Jumat, 29 Juni 2012, hal. 5). Sedangkan SekretarisJenderal Dewan
Ketahanan Nasional Letnan Jenderal (TNI) Junianto Haroen mengatakan:
“persoalan Papua harus diselesaikan dengan cara-cara tanpa kekerasan”
(Kompas, Jumat, 29 Juni 2012, hal. 5). Asvi Warman Adam, Sejarawan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan tepat mengatakan:
“pemerintah perlu memperhatikan belum sepenuhnya warga Asli Papua yang
menerima Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969. Sebagain warga
Papua, menilai PEPERA tidak adil karena penentuan hanya diwakili oleh
suku” (Kompas, Jumat, 15 Juni 2012).
Negara demokratis seperti
Indonesia harus berani dengan bebas mengungkapkan apa saja yang dirasa
tidak pantas dan tidak menghargai martabat dan kehormatan umat manusia.
Sudah saatnya Pemerintah dan aparat TNI/POLRI harus mengubah paradigma
dari pendekatan keamanan menjadi pendekatan kemanusiaan. Dengan melihat
akar persoalan Papua cukup jelas yang disuarakan terus-menerus oleh
Penduduk Asli Papua selama ini, seperti: (1) Status politik atau
sejarah 1 Desember 1961; Perjanjian New York 15 Agustus 1962; rekayasa
PEPERA 1969; (2) Pelanggaran HAM berat yang memperlihatkan watak dan
wajah Indonesia yang kejam dan brutal; (3) Kegagalan pembagunan; (4)
Marjinalisasi Penduduk Asli Papua; dan (5) Kegagalan pelaksanaan Otonomi
Khusus Nomor 21 Tahun 2001.
Pemerintah Indonesia harus melihat
masalah Papua secara utuh dan sekaligus membuka diri. Pemerintah jangan
dihakimi, dipersalahkan dan dipojokkan terus-menerus oleh masyarakat
Internasional tentang masalah Papua. Persoalan Papua adalah bukan
urusan antara Indonesia dan Papua, melainkan ada konspirasi dan
keterlibatan langsung Pemerintah Amerika Serikat, dan Belanda demi
kepentingan ekonomi di Papua sejak tahun 1960-an. Satu-satunya provinsi
di Indonesia yang melibatkan masyarakat Internasional secara langsung
adalah Papua. Yang jelas dan pasti: Masalah Papua adalah persoalan yang
berdimensi internasional dan bukan masalah internal Indonesia. Oleh
karena itu, secara moral dan juga politis dalam penyelesaian masalah
Papua, Amerika Serikat, Belanda dan PBB tidak boleh berada diluar
konstruksi dialog damai. Lebih adil dan jujur, Pemerintah Amerika,
Pemerintah Belanda, Pemerintah Indonesia, dan Penduduk Asli Papua sudah
saatnya duduk bersama-sama untuk berdialog, bernegosiasi, berunding
kembali dari hati ke hati yang dimediasi PBB dalam semangat
kesetaraan dan persaudaraan untuk mencari solusi menang-menang (win-win
solution). Dalam dialog jujur dan setara antara Pemerintah Indonesia
dan rakyat Papua tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga yang netral
ini, kita tidak persoalan hasil akhir siapa menang atau kalah.Tetapi,
martabat dan kedaulatan manusia menjadi tujuan dan misi utama kita
semua. Slogan “NKRI” harga mati kita jauhkan karena dalam konstitusi
Negara Indonesia tidak ada “NKRI”, tapi yang resmi dan sah adalah
Pemerintah/Negara Republik Indonesia (RI). Demikian juga, Penduduk Asli
Papua menjauhkan pikiran “Papua Merdeka” harga mati. Karena dalam
proses sejarah suatu bangsa tidak ada yang statis namun selalu
dinamis.
Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.
SUMBER: TABLOIDJUBI.COM
0 SILAKAN BERKOMENTAR :
silakan komentar anda!