Wednesday, March 7, 2012

Wajah Pendidikan Papua; Orang Miskin Dilarang Sekolah?

Mypapua     2:41 PM   No comments

PANIAI (UMAGI)--  Beberapa pekan lalu (menjelang PILPRES 2009) para pemirsa televisi disuguhi iklan sekolah gratis oleh artis Cut Mini dan Menteri Pendidikan Nasional (MENDIKNAS) Bambang Sudibyo. Pesan terakhir dari pada iklan itu adalah “sekolah harus bisa”. Iklan ini pun menuai berbagai kritikan oleh berbagai pihak. Calon wakil presiden Prabowo Subianto misalnya, Ia menilai iklan
yang dibuat pemerintah itu  tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Padahal iklan tersebut dibayar dengan uang rakyat tetapi isinya membohongi masyarakat.
Meski porsi anggaran pendidikan yang mencapai 20 persen pada RAPBN 2009 ternyata belum menyentuh problem yang mendasar. Alokasi dana Rp 224,44 triliun tersebut belum mampu mendukung upaya pendidikan dasar sembilan tahun gratis bagi anak-anak Indonesia.
Sementara itu, Pemerintah Provinsi Papua, pada tahun anggaran 2009 memberlakukan program sekolah gratis bagi anak-anak asli Papua yang kurang mampu. Gubernur Papua, Barnabas Suebu SH di Biak Kamis 7/1/2009, mengatakan, pemerintah Provinsi Papua sudah menyediakan anggaran bagi pendidikan gratis bagi anak-anak asli yang akan berlaku 2009 (baca: www.analisadaily.com).
Dilain pihak data ICS menunjukan bahwa Alokasi dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk sektor pendidikan sebesar 30%, nampaknya baru sebatas slogan saja. Pasalnya, dari hasil riset yang dilakukan pihak ICS Papua, ternyata anggaran untuk sektor pendidikan hanya berkisar 7% saja (Baca: www.pendidikanpapua.blogspot.com).
Menurut hemat saya, “iklan sekolah gratis” adalah bukan gratis versi masyarakat. Melainkan gratis versi pemerintah artinya uang gedung, pengadaan buku, perlengkapan sekolah, ekstrakurikuler, ujian sekolah, bahkan praktikum tetap dibebankan kepada siswa, walaupun ada bantuan operasionalnya, misalnya Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Ide pelaksanaan sekolah gratis ternyata juga sangat tergantung dari komitmen para pejabat pemerintah daerah (PEMDA) dalam merealisasikannya. Mengapa? Karena pemerintah seharusnya menjelaskan kepada masyarakat bahwa tidak semua komponen pendidikan digratiskan. Sosialisasi kepada semua pihak terutama kepada peserta didik maupun orangtua/ wali murid sangat diperlukan.    
     
Iklan sekolah gratis; harapan dan kenyataan di Papua.
Beberapa anak Papua usia sekolah terlihat sibuk memungut ikan yang tercecer ketika dipindahkan nelayan dari kapal-kapal ikan ke keranjang yang siap dibawa ke pasar. Ikan yang dipungut dan dikumpulkan anak-anak tersebut sebagian di jual ke pasar sebagian lagi untuk dimakan. Orang tua (Ayah) mereka pada umumnya adalah buruh nelayan dengan penghasilan Rp. 600.000/bulan; ini adalah gambaran keseharian di Pantai Klademak Dua  Sorong Provinsi Papua Barat, yang di angkat pada halaman Pertama Harian KOMPAS Jumat, 27 April 2007 (Baca:www.cenderawasihpos.com). Selain itu, kita bisa menemukan di pingir jalan kota Nabire dimana  terlihat sebagian anak-anak usia sekolah (SD-SMP), membawa karung (pelastik) untuk jalan mencari kaleng bekas atau mengengumpulkan sampah yang layak di jual dan dijadikan uang untuk membiayai sekolah atau sekedar membeli sebatang rokok atau makan.  
Jika wajah pendidikan kita (Tanah Papua) hanya sebatas “iklan, slogan, undang-undang, peraturan, kebijakan, program, dan lain-lanin”. Maka, pertanyaanya adalah akan kemanakah wajah pendidikan tanah Papua? Untuk siapa sekolah gratis? Dana pendidikan OTSUS itu kemana? Sementara pungutan pembayaran di sekolah-sekolah masih “gila-gilaan”. Wati Rumbewas misalnya, salah satu orang tua wali murid di sekolah menengah kejuruan (SMK) N 3 Jayapura, dia kecewa dengan biaya sumbangan pengembangan pendidika (SPP) yang begitu mahal yaitu Rp.350.000,-.
Selain itu, salah satu orang tua wali muirid siswa baru yang anaknya hendak melanjut sekolah di SMP Negeri 1 Paniai Timur Enarotali, sangat kecewa terhadapap kebijakan sekolah. Sebab pihak sekolah dan panitia penerimaan siswa baru meminta beban biaya pendaftaran dan MOS sebesar RP. 350.000 kepada setiap siswa baru yang mendaftarkan diri di sekolah tersebut. (baca: Papua Pos Nabire/14/07/09). Contoh diatas ini adalah sebagian “kecil” kenyataan wajah pendidikan kita (tanah Papua).  Maka kita sebagai orangtua/ wali wajib bertanya, inikah wajah pendidikan Papua yang dimulai dengan visi menuju Papua Baru atau Menuju Paniai Baru? Kapan Papua Baru itu akan terwujud, jika kita tidak siap dari sekarang? Atau untuk siapa Papua baru itu? Dan Kapan realisasinya? Dan sebagainya dan seterusnya.
Lebih jauh dari itu, iklan pendidikan gratis menjelang pemilu layak dikritik. Dan, belakangan banyak orang mulai curiga iklan gratis yang gencar menjelang pemilu presiden 8 Juli 2009 merupakan kampanye terselubung pemerintah untuk mendapatkan dukungan. Hal ini sejalan dengan iklan BLT, Jamkesmas, swasembada pangan, yang sayangnya aktornya belakangan dekat dengan pemerintah. Tentu tidak tepat memobilisasi orang tua siswa, pendidik, dan semua pihak terkait untuk hanya mendukung parpol tertentu.
Dan yang perlu dikritik adalah istilah “gratis” kalau memang kenyataan tidak semuanya gratis perlu dikoreksi. Apakah misalnya dengan sekolah bersubsidi atau sekolah murah berkualitas. Kata gratis sering menjebak, padahal kenyataan tidaklah demikian. Iklan gratis tidak berbeda jauh dengan pembodohan masyarakat. Mengapa uang miliaran justru dipergunakan untuk iklan, bukan memperbaiki gedung sekolah yang rusak dan roboh di pelbagai pelosok Indonesia?

Masa depan anak-anak Papua sedang menuju kemana?
Jika program pemerintah Indonesia yang begitu baik, dengan diberikan paket otonomi khusus bagi Provinsi Papua dengan dana miliaran rupiah (khususnya dibidang pendidikan) itu mengapa tidak disambut dengan baik oleh pihak berwajib (para pengambil kebijakan di Papua). Maka pertanyaan seperti diatas ini layak kita (masyarakat Papua) ajukan. Mengapa? Karena, banyak pemerhati anak mengatakan bahwa mereka (anak-anak Papua) adalah pemilik masa depan, menciptakan masa depan, atau masa depan dapat dibayangkan dari keadaan anak-anak saat ini.
Melihat kasus (fenomena) putus sekolah anak anak usia sekolah di tanah Papua, merupakan sebuah fenomena yang seharusnya tidak terjadi, jika pemerintah dengan cermat melihat bahwa pendidikan adalah kebutuhan mendesak (sangat penting) untuk masa depan lebih dari itu pendidikan sebagai salah satu hak asasi manusia.
Sebuah fenomena manarik yang sedang “membudaya” (entah itu budaya baik atau buruk) bagi anak-anak generasi muda suku Mee di Paniai (yakni pasar Enarotali) dan di Nabire lorong pasar (terminal), Karang dan Oyehe. Akvitas yang dilakukan sangat bervariasi, misalnya lalu lalang, berdiri berduaan atau bertigaan sambil cerita, makan pinang atau bahkan mabuk-mabukkan (baku pukul). Istilah yang lebih tren bagi generasi (kelompok) muda Papua ini untuk kegiatan semacam ini adalah “cuci mata”. Selain itu waktu untuk melakukan jalan-jalan (cuci mata) adalah sekitar pukul 16:00-20:00. Jika fenomena seperti ini semua pihak (peran orang tua, pemerintah, gereja, LSM) dibiarkan begitu saja, maka dampak negatif yang akan kita peroleh adalah orang Papua kehilangan satu generasi, untuk bersaing dengan saudara kita dari luar Papua.   
Ada banyak hal yang menyebabkan seorang anak putus sekolah, secara umum bersumber dari dua faktor yakni intern dan ekstern, dalam banyak kasus pula ditemukan hubungan antara kedua faktor ini mengakibatkan putus sekolah. Faktor intern diakibatkan oleh pertimbangan subjektif  yang sama sekali tidak dipengaruhi oleh biaya, dalam kasus ini seperti karena faktor budaya yang membatasi kemauan sekolah, pada umumnya menimpa perempuan Papua (dulu) dalam lingkungan yang memegang teguh budaya, tetapi faktor ini kini sudah mulai berkurang dan hampir tidak ada.
Faktor eksternal adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh lingkungan luar, di dalamnya termasuk besarnya biaya pendidikan, yang berujung pada ketidakmampuan pihak pembiaya (orang tua, wali maupun anak sendiri) dalam membayar, yang mengharuskan anak putus sekolah. Kasus seperti ini belakangan jumlah-nya terus meningkat, tidak saja menjadi fenomena di Papua tetapi juga di kota lain di Indonesia.
Pemerintah seharusnya meng-inisiasi keadaan ini, jika yang diharapkan saat ini adalah pendidikan gratis berarti diperlukan dana yang cukup besar untuk pembiayaan, bahkan jika pemerintah-nya baik provinsi ataupun daerah pro-pendidikan maka APBD yang dialokasikan minimal dapat berkisar 30% tiap tahun, dan pengalokasian ini sebaikyna di kontrol oleh masyarakat melalui LSM atau Pengawas Independen dan juga DPR. Kontrol ini dalam rangka meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan dan masa depan.
Jika pendidikan gratis ini berjalan Pemerintah harus yakin bahwa semua anak Papua bersekolah, untuk itu jika dirasakan ada hal lain yang masih mengganjal kemauan sekolah, terutama pengaruh pergaulan yang kurang baik, maka pemerintah bekerja sama dengan pihak terkait seperti kelompok Adat, Agama, LSM dapat membuat aturan setingkat PERDA yang melindungi dan mewajibkan anak Papua bersekolah.
Masa depan kemajuan tanah Papua tergantung kepada bagaimana pendidikan saat ini terhadap anak-anak Papua. Jika mereka (anak-anak) bersekolah itu akan baik tetapi akan lebih baik jika ada jaminan pendidikan gratis bagi semua anak Papua. Mengapa? Karena selain kepentingan masa depan juga merupakan implementasi dari hak memperoleh pendidikan yang harus di jamin oleh Negara dan pemerintah, seperi yang tertuang dalam undang-undang dasar “semua warga negara berhak mendapat pendidikan yang layak, selain itu pasal 32  UUD 1945 menyebutkan “fakir miskin anak-anak terlantar diperlihara oleh negara” tetapi kenyataan di Papua berbicara sebaliknya. Untuk itu sebaiknya pernyataan seperti itu sebaiknya di cabut/ diganti. Enaimo-eyai.

*). Penulis adalah Staf Pengajar pada SMK Karel Gobai Enarotali, Tinggal di Bapouda, Enarotali.

Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

0 SILAKAN BERKOMENTAR :

silakan komentar anda!

Translate

Followers

NEWS