MANOKWARI
(UMAGI)— Pulau Mansinam dipadati
warga dan peziarah pada perayaan Pekabaran Injil 157 Tahun, Minggu (5/2/2012).
Perayaan ini bukan ritual keagamaan semata, melainkan juga momentum penyatuan masyarakat
tanah Papua.
Sejak pagi, ratusan peziarah dan warga dari Manokwari dan sekitarnya datang ke Pulau Mansinam mengikuti doa bersama. Doa dimulai pukul 09.00 WIT, didahului dengan tarian adat menyambut tamu undangan.
Selain mengikuti
doa, sebagian warga mengunjungi situs-situs tua di Pulau Mansinam yang menjadi
pulau peradaban. Pulau ini adalah tempat dua misionaris, CW Ottow dan JG
Geissler, yang membawa dan mengenalkan Injil kepada orang Papua pada 1855.
Salah satu situs
adalah sumur tua yang dibangun oleh para misionaris. Sejumlah warga mengatakan,
mereka datang untuk berlibur dan menikmati Pulau Mansinam. Banyak dari mereka
yang datang bersama keluarga dan temen-temannya menumpang perahu atau disebut
taksi laut dengan membayar Rp 5.000 per orang.
Menurut Ketua
Jemaat Gereja Lahai-Roi (Mansinam) Pendeta HR Weeflaar, perayaan Pekabaran
Injil harus dihayati sebagai anugerah bagi rakyat Papua karena telah terbukanya
tabir gelap peradaban. Dalam konteks kekinian, perayaan ini dimaknai sebagai
penyatuan perdamaian di tanah Papua.
Manokwari
Selayang Pandang.
Manokwari adalah
ibu kota provinsi Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya Barat), merupakan
pemekaran dari provinsi Papua (Irian Jaya). Nama Irian adalah pemberian dari Soekarno,
meski sesungguhnya orang Papua tidak menyenangi sebutan itu.
Nama Irian Jaya
Barat ditetapkan oleh undang-undang nomor 45 tahun 1999, kemudian berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2007 tanggal 18 April 2007, Nama Provinsi
Irian Jaya Barat itu dirubah menjadi Papua Barat. Kini di Papua telah terbentuk
dua Provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Saat ini juga
sedang digagas untuk pemekaran wilayah lagi dengan tambahan provinsi Papua
Selatan. Pemekaran wilayah itu sendiri menimbulkan pro kontra, apalgi gagasan
awalnya berasal dari pusat bukan berasa dari daerah Papua itu sendiri yang
dimulai dari dewan adat Papua. Meski kehadiran provinsai Papua Barat
menimbulkan kontroversi, namun, akhirnya berhasil mencapai kesepakatan, meski
pada umumnya orang Papua tak ingin terpisah menjadi beberapa provinsi, karena
mereka merasa satu, yaitu Provinsi Papua.
Wilayah Provisni
Papua Barat meliputi kawasan kepala burung pulau Papua adan kepulauan-kepulauan
di sekelilingnya. Di sebelah utara, provinsi Papua Barat oleh Samudra pasifik,
bagian barat berbatasn dengan Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku, sedang
dibagian timurnya dibatasi oleh Teluk Cendrawasih, bagian selatan dengan laut
Seram dan tenggara berbatasn dengan Provinsu Papua.
Meski Provnsi
Papua Barat telah menjadi provinsi sendiri, Provinsi ini tetap mendapat
perlakuan khusus seperti juga provinsi induknya, yaitu Papua. Pada tanggal 5
Aprl 2004, provinsi ini juga telah mempunyai KPUD yang telah berhasil
menyelenggarakanpemilu untuk pertama kalinya.
Papua Barat
merupakan daearah yang memiliki potensi luar biasa, baik kesuburan alamnya,
kandungan barang-barang tanbang, hasil hutan maupun keindahan alamnya sebagai
temapat pariwisata. Belum lagi hasil laut seperti mutiara dan rumput laut.
Papua Barat juga telah memiliki industri tradisional tenun ikatkain Timor yang
dihasilkan di Sorong. Papua Barat sendiri terbagi atas 9 Kabupaten dan Kota,
yitu : Kabupaten Fak-Fak, Kaimana, Manokwari, Raja Ampat, Sorong, Sorong
Selatan, Teluk Bintuni, Teluk Wondama, Kota Sorong. Sedang Manokwari sebagai
ibu kota Provinsi terbagi atas 12 kecamatan dan 132 desa.
Kabupaten
Manokwari biasa disebut sebagai kota buah-buahan, karena kesuburan tanahnya
yang menghasilkan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Penduduk Asli Manokwari
terdiri dari beberapa suku, yaitu Sough, Karon, Hatam, Meyeh dan Wamesa,
suku-suku itu memiliki budaya yang berbeda satu sama lain.
Manokwari dibatasi
oleh Samudra pasifik di sebelah utara, Kabupaten nabire dan Kabupaten Panial di
sebelah Selatan, Kabupaten Biak Numfor di sebelah Timur dan sebelah Barat
berbatasan dengan Kabupaten Sorong. Topografi Manokwari umumnya adalah daerah
berbukit dan dataran tinggi, atau sekitar 80% dari luas wilayahnya. Manokwari
tergolong daerah beriklim basah, curah hujan disana cukup tinggi, rata-rata
2688 mm per tahun, hutan rata-rata 123 hari pertahun. Suhu anatara 26 derajat
selsiussamapi 32 derajat Celsius dan kelembaban rat-rat 84,7 % dan intesitas
matahari 54,3 %
Kota Buah
menjadi kota Injil
Sebutan Manokwari
Kota Injil bukanlah sesuatu yang baru, karena sebutan itu terkait dengan
peristiwa historis masuknya Injil ke tanah Papua, hanya saja, sebutan itu baru
diangkat setelah adanya otonomi khusus. Pergantian nama Manokwari sebagai kota
buah-buahan yang kini menjadi Kota Injil itu juga terkait usaha pencarian
kekhususan Papua yang dilakukan oleh masyarakat Kristen Papua, dengan
mengangkat kembali peristiwa sejarah yang mengawali peradaban baru di Papua
yang merupakan buah dari penerimaan Injil oleh masyarakat Papua.
Sejarah melaporkan
bahwa dua orang missionari Jerman, pada tanggal 5 Februari 1855, bernama Johann
Gottlob Geissler dan Carl Wilhelm Ottow ketika pertama kalinya menjejakan kaki
di pulau Mansinam, pulau yang berada di Kabupaten Manokwari, mengucapkan
kata-kata penting yang sampai saat ini dipegang oleh masyarakat Kristen Papua,
yang mengatakan, “Dengan nama Tuhan kami menginjak tanah ini.” Pernyataan dua
missionari yang digelari ”Rasul Papua” itu oleh masyarakat Kristen Papua
dipercaya sebagai suatu penetapan Tuhan untuk Papua, yaitu sebagai kota Injil,
sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian komunitas Kristen Papua yang
adalah mayoritas itu sepakat untuk mengubah nama Manokwari yang awalnya adalah
kota buah-buahan menjadi kota Injil, dan itu dianggap sebagai realitas
histories dari daerah manokwari.
Keinginan agar
julukan kota Injil itu ditetapkan untuk Manokwari sesungguhnya bukan
semata-mata terkait usaha untuk mengingatkan masyarakat akan keberadaan
Manokwari sebagai gerbang masuknya Injil ke tanah Papua, sebagimana diungkapkan
beberapa tokoh agama di Manokwari, karena ada diantara mereka yang berpendapat
bahwa itu adalah usaha melestarikan nilai-nilai Injil yang terbukti telah
mengangkat kehormatan masyarakat Papua, dan secara bersamaan merupakan aspirasi
masyarakat Papua untuk mendapatkan harapan baru dari ketertinggalan mereka
disbanding daerah-daerah lainnya di Indonesia. Meski kekayaan sumber alam Papua
2 kali ;ebih banyak dibandingka kekayaan seluruh pulau-pulau di Indonesia.
Mereka berharap,
Injil yang telah merubah kehidupan masyarakat Papua yang berada dalam
kegelapan, hidup dalam kecurigaan, kebencian, saling memangsa sesamanya
(mengayau), dan oleh injil itu mereka telah diperdamaikan. Maka mereka juga
berharap penetapan Manokwari kota Injil akan menyadarkan masyarakat untuk
berjuang mengatasi ketertimggalan mereka. Kekayaan alam yang melimpah ruah di
Papua ternyata tidak berdampak banyak bagi kemajuan masyarakat Papua, karena
itu harapan mereka kini berbalik pada Injil yang telah mengakat martabat
masyarkat Pappua, sehingga seorang tokoh perempuan Papua mengatakan, itu adalah
hak-hak dasar masyarakat Papua. Penetapan Manokwari kota Injil diharapkan akan
menuntut penduduk kota Manokwari menjaga kelestarian nilai-nilai Injil yang mulai
itu dengan hidup sesuai dengan kebenaran Injil.
Lahirnya
Raperda Kota Injil
Usaha untuk
memberikan julukan Manokwari sebagai Kota Injil itu sesungguhnya mendapatkan
momentumnya setelah aksi demo terhadap pembangunan Mesjid Raya, dengan Islamic
Centernya, menurut Pdt. Dimara, Gembala Sidang GKI Elim Koali, Gereja kedua
yang dibangun setelah Gereja GKI di pulau Mansinam, luas tanah yang
diperuntukan bagi pembangunan Mesjid Raya itu 1 hektare, apalagi posisinya yang
sangat strategis, dekat lapangan Udara manokwari, setiap orang yang akan
memasuki kota Manokwari tentunya akan melihat mesjid raya yang besar itu, jika
jadi dibangun. Kehadiran Mesjid raya itu juga akan melampaui besarnya
gereja-gereja Kristen yang adalah agama mayoritas di Manokwari, itu tentu saja
menimbulkan perasaan terpinggirkan dari masyarakat Kristen yang adalah
mayoritas, hal yang sama juga dikatakan oleh Pdt. Albert Yoku, wakil Sekretaris
Sinode GKI, yang berdomisili di Sentani, Jayapura. Menurutnya, persiapan untuk
membangun mesjid raya dan Islamic Center itu sudah dikerjakan sejak 2003-2004,
itu mengherankan, karena umat muslim tahu, di Kota Manokwari, setiap tahun ada
perayaan besar agama Kristen yang dirayakan pada tanggal 5 Februari, hari
perayaan masuknya Injil ke tanah Papua dan dipusatkan di pulan Mansinam, dan
perayaan itu dirayakan oleh semua orang Kristen Papua, dan mereka biasanya,
dari berbagai daerah di Papua tumpah ruah di pulau Mansinam, dan pemerintah
juga ikut terlibat memberikan bantuan dalam penyelenggaraan acara akbar itu.
Pendirian mesjid
raya oleh umat Kristen, bermula dari GKI yang kemudian menggandeng
gereja-gereja lain, sebagai tindakan yang anti toleransi. Sebagai penganut
agama Mayoritas tindakan membangun mesjid raya adalah pengabaian eksisitensi
Kristen Manokwari, dan itu menimbulkan perasaan terancam di kalangan umat
Kristen, Kota Manokwari yang secara histories diakui sebagi kota Injil, dan
ditempat itu setiap tahun dirayakan masuknya Injil di Papua, ingin dirubah
menjadi kota berbasis muslim, setidaknya dengan cara menghadirkan Mesjid Raya
itu, Apalagi pertambahan masyarakat Muslim di Papua cukup signifikan, dan
pertain-partai Islam di Papua pada pemilu 2004 telah mengklaim bahwa umat
Muslim di Papua sekitar 40% dan terus mengalami pertambahan. Keberhasilan
perkembangan agama Islam di Papua itu dianggap melahirkan hegemoni Islam dengan
pembangunan rumah ibadahnya yang besar meski tempat-tempat ibadah Islam telah
mencukupi.
Kemudahan yang
selama ini diberikan kepada umat Muslim ternyata tidak demikian yang dialami
oleh umat Kristen di daerah-daerah lainnya, apalagi laporan jumlah gereja yang
terbakar atau dirusak juga dilaporkan dalam demonstrasi Mesjid Raya. Gema
Indonesia sebagai negara dimana pembakaran rumah ibadah, khususnya gereja yang
terbanyak di dunia tentu saja menimbulkan perasaan terancam umat Kristen Papua
yang terkenal amat toleran, belum lagi pendatang yang umumnya beragama Islam
umumnya lebih kaya dibandingkan masyarakat Papua sendiri dn itulah yang
kemudian melahirkan aksi demo masyarakat Kristen yang pada intinya berisi
penolakan terhadap pembangunan mesjid raya itu.
Usaha menghadirkan
mesjid raya yang besar, bahkan ada yang mengatakan akan menjadi Islamic center
yang terbesar di Asia Tenggara, segera saja itu menimbulkan protes masyarakat
Gereja, apalagi memang ada selebaran yang mencoba memancing di air keruh dengan
menyebarkan jumlah gereja-geraja yang dirusak, dibakar di luar Papua, khususnya
di pulau Jawa untuk menumbuhkan rasa sentimen keagamaan, tapi menurut beberapa
peserta, alasan utamanya adalah mereka tidak setuju jika agama minoritas di
Manokwari, dalam hal ini Islam, membangun tempat ibadah yang amat megah,
melampaui kemegahan gereja-gereja yang ada, apalagi tempat-tempat ibadah yang
tersedia masih mencukupi untuk digunakan.
Pada tanggal 17
November 2005, ada kira-kira 5000 orang lebih pendemo yang memprotes
pembangunan mensjid raya tersebut, ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa
Kristen, warga Gereja dan pemimpin-pemimpin gereja yang berasal dari 30
denominasi gereja, berdemonstrasi ke kantor DPRD Provinsi Papua Barat,
sebelumnya mereka berkumpul di Gereja dekat kompleks DPRD, GKI Maranatha,
kemudian dengan berjalan kaki mereka tumpah ruah di gedung DPRD kabupaten
Manokwari. Demonstran itu diterima oleh Ketua DPRD Provinsi Papua Barat yang
didampingi Bupati Manokwari, Kapolres dan Dandim setempat. Pada waktu itu juga
para pendemo mendesak membentuk Perda Manokwari kota Injil, namun tetap setuju
dengan mengikut sertakan kelompok agama-agama lain, agar ada saling pengertian
dan rasa saling bertoleransi, serta memiliki persepsi yang sama mengenai
Manokwari sebagai kota injil. Mereka juga berharap, pembangunan tempat-tempat
ibadah mesti memperhatikan keberadan Manokwari sebagai kota injil, sehingga
peristiwa pembangunan mesjid raya yang menimbulkan rasa terancam umat Kristen
itu tidak akan terulang lagi, hal itu dapat dimengerti karena bisa jadi usaha
untuk kembali membangun mesjid raya itu akan terus dilakukan dengan menempuh
berbagai macam cara. Sejak aksi demo itu wacana Manokwari kota Injil mulai
sering diperdengarkan dalam pidato-pidato tokoh-tokoh agama di Papua.
Menurut Yulio yang
adalah koordinator pemuda Gereja Kristen Injili (GKI) di tanah Papua, yang juga
menjadi koordinator lapangan aksi demo menjelaskan, Aksi demo itu berlangsung
secara damai, tanpa ada pengrusakan apapun, ini adalah bukti bahwa masyarakat
Kristen Papua yang berada di Papua tanah damai, tidak berniat untuk membelenggu
kebebasan beribadah kaum Muslim, sebagaimana dilakukan beberapa komunitas umat
muslim yang telah merusak dan membakar gereja, bahkan telah mengakibatkan
korban nyawa manusia, seperti di Situbondo misalnya, yang hampir saja menyulut
kemarahan masyarakat Kristen Papua, tapi itu tak terjadi karena tokoh-tokoh
agama yang memang disegani masyarakat dengan segera menenangkannya. Ia juga
menjelaskan, jumlah mesjid yang kini ada di Papua cukup untuk menampung kaum
Muslim beribadah, jadi untuk apa lagi membangun mesjid raya yang besar itu,
bukankah itu tanda tidak ada lagi penghargaan terhadap umat Kristen yang adalah
mayoritas.
Demo damai itu
memang hampir saja menyulut kemarahan massa pendemo karena adanya komunikasi
yang tidak lancar, tapi bukan benturan antar agama. Penurunan spanduk yang
dibawa pendemo yang bertuliskan penolakan pembangunan mesjid raya oleh
departemen agama sempat direspons negative, yaitu sebagai penolakan terhadap
aspirasi massa pendemo, namun, setelah ada klarifikasi bahwa penurunan spanduk
mesti dilakukan karena sesungguhnya pemerintah telah mendengar tuntutan
pendemo, maka salah paham itu pun reda dan tidak melahirkan konflik. Itu adalah
bukti bahwa masyarakat Papua hidup dengan toleransi yang tinggi, dan di tanah
Papua, Manokwari tidak pernah ada perusakan atau pembakaran tempat ibadah agama
apapun, fakta itu diakui oleh tokoh-tokoh agama Kristen di Papua dan juga
pejabat setempat.
Sikap toleransi
maasyarakat Papua yang tinggi itu juga terbukti dengan diijinkannya masyarakat
muslim di Manokwari melakukan sembahyah Ied pada perayaan Idul Fitri di 4
lapangan Bola yang terdapat di Manokwari. Massa yang membanjiri
lapangan-lapangan bola itu dapat melaksanakan ibadahnya dengan baik, tanpa
gangguan berarti, suasana tenang dan damai menyelemuti perayaan hari raya Idul
Fitri tanggal 13 Oktober 2007. Spanduk-spanduk ucapan selamat hari raya menghiasai
kota Manokwari, dan itu berasal dari komunitas yang amat beragam.
Selang beberapa
bulan kemudian setelah aksi demo mesjid raya, dalam usaha untuk mengukuhkan
keberadaan Manokwari kota Injil, dihadirkanlah perda larangan minum minuman
keras pada bulan Desember 2006. Perda itu diakui sebagai nilai-nilai Injil,
meski juga diterima oleh umat beragama lain, karena memang nilai-nilai itu
bersifat universal. Perda itu diakui berasal dari nilai-nilai Injil karena
penggagasnya adalah komunitas Kristen, dalam hal ini gereja-geraja.
Dalam suatu
seminar tentang perda Miras 98% peserta yang mewakili gereja, agama, pemuda,
komponen wanita mengangkat tangan untuk menunjukan persetujuannya, beberapa
orang yang tidak setuju menurut Amos wakil ketua DPRD Kabupaten, dan Yulio
koordinator pemuda GKI umumnya adalah para distributor Miras.Usulan itu
kemudian juga diterima oleh pemda dan mendapatkan persetujuan DPRD Kabupaten,
keberhasilan penerapan perda larangan minuman keras itu kemudian dicontoh oleh
daerah-daerah lainnya di Papua.
Memang dalam
penetapan larangan Miras itu, minuman keras yang telah ada, terlanjur dibeli
pedagang sebelum penetapan perda, masih diijinkan untuk dijual sampai habis,
dan baru kemudian tidak boleh lagi di pasok untuk kemudian dijual kembali. Pemerintah
juga diminta memikirkan mata pencaharian pengganti untuk mereka yang menjadi
penjual minum-minuman keras, agar tidak menambah jumlah pengangguran yang akan
berakibat pada tindakan-tindakan kriminal.
Kelahiran perda
larangan minuman keras itu ternyata cukup efektif untuk menjaga keindahan kota
Manokwari sebagai kota Injil, setelah penetapan perda itu, Manokwari bukan
hanya bebas dari para pemabuk pada siang hari, tapi juga pada malam hari. Perda
ini dianggap sebagai nilai-nilai Injil yang universal dan dapat diterima oleh
semua, atau agama apapun. Perda Miras yang juga di motori oleh
pemimpin-pemimpin agama Kristen itu menumbuhkan suatu keyakinan bahwa usaha
menghadirkan perda kota injil tentu bukanlah sesuatu yang diskriminatif, karena
nilai-nilai Injil yang universal itu pastilah diterima oleh semua agama yang
ada di Papua, khususnya Manokwari, apalagi itu bukanlah perda agama,
sebagaimana draf awalnya berjudul Perda Pembinaan Mental dan Spiritual.
Pada tanggal 1-2
Februari 2007, dalam rangka memperingati 152 tahun masuknya Injil di Papua,
diadakanlah seminar dan lokakarya atas kerja sama Pemda Manokwari, Universitas
Cendrawasih (UNCEN), STT-GKI dan Universitas Papua (UNIPA), yang dihadiri oleh
tokoh-tokoh Gereja dari berbagai denominasi, tokoh perempuan dan pemuda,
bertempat di Gereja Kristen Injili Elim Kuali. Pada akhir seminar itu
diajukanlah usulan perda Manokwari Kota Injil, yang pada awalnya diberi nama
“Raperda Pembinaan Mental dan Spiritual”. Usulan tersebut kemudian dituangkan
dalam format yang berbentuk perda, dan kemudian menyebar tidak diketahui siapa
yang menyebarkannya, apalagi kemudian berita itu menjadi laporan utama di
majalah, Koran, internet bahkan sms-sms.
Manokwari yang
terletak jauh di ujung Timur itu kini menjadi buah bibir bukan hanya di
Indonesia, tetapi juga di luar negeri, karena radio Nederland juga pernah
mewawancarai tokoh-tokoh Masayarakat Papua, serta seorang pengurus radio swasta
di Papua. Meski itu baru wacana menurut pengakuan beberapa orang, dan tidak
popular di Manokwari, tetapi sebaran informasinya bergerak dengan amat cepatnya
kemana-mana, bahkan tidak sedikit yang beraksi keras dan melakukan demo
penolakan, meski terkadang informasi yang diterima tidak jelas, karena memang
itu baru berupa usulan.
Perda Kota
Injil dan persoalan diskriminasi
Tampaknya dengan
maraknya perda-perda bernuansa agama yang terbukti diskriminatif, reaksi
penolakan terhadap usulan itu menjadi begitu kuat. Pada tingkat kabupaten,
usulan itu dianggap akan disetujui karena 20 orang dari 25 anggota DPRD
kabupaten adalah umat Kristiani. Namun, Pejabat di Manokwari, juga tokoh-tokoh
agama disana berkomentar, kami tidak mengerti mengapa itu menjadi berita besar,
sedang kami di Manokwari tenang-tenang saja. Wakil ketua DPRD kabupaten, Amos,
menjelaskan, “memang saya pernah di wawancarai Koran ibu kota, namun setelah
saya melihat isi beritanya, sama sekali berbeda dengan apa yang saya katakan.
Demikian juga dengan komentar MUI Papua, komentarnya sesungguhnya tidak
didasarkan pada pengertian yang benar, karena kami belum pernah melakukan
dialog, jelas terjadi salah pengertian, apalagi sesungguhnya perda kota injil
itu sendiri belum ada dan masih berupa usulan dalam hal ini berasal dari
komunitas Kristen.
draft berupa
usulan pemimpin-pemimpin gereja itu, khususnya Gereja Kristen Injili di tanah
Papua, sebagai pelopor utama yang juga kemudian mengikut sertakan gereja-geraja
lainnya, ternyata memiliki pasal-pasal yang dianggap diskriminatif. Kenyataan
adanya pasal-pasal yang diskriminatif tersebut diakui dengan jujur baik oleh
tokoh-tokoh agama di Papua yang telah membaca isi draf tersebut, khususnya
Badan Kerja sama Gereja (BKSG), juga pejabat di kabupaten Manokwari, namun
mereka tetap bersikukuh itu bukanlah perda, tapi masih merupakan usulan
masyarakat Kristen Papua, khususnya GKI, dan itu wajar saja, apalagi itu harus
melewati pembahasan bersama, dan tentu saja nilai-nilai yang bersifat
diskriminatif terhadap agama-agama lain tidak akan disetujui dalam arti akan
mengalami revisi.
Secara tegas
Sekretaris Daerah (Sekda) Manokwari mengatakan, “Perda Manokwari Kota Injil
belum pernah ada!” yang ada hanyalah usulan dari masyarakat Kristen, usulan
tersebut telah kami terima, namun itu mesti melewati team legislasi, untuk
kemudian disusun dalam bentuk perda, dan dalam proses penyusunan itu bisa saja
bagian-bagian yang dianggap diskriminatif itu dihilangkan, apalagi usulan itu
dihadirkan sebagai respons terhadap pidato-pidato tentang Manokwari Kota Injil,
ada pertanyaan, jika Manokwari Kota Injil, isinya apa, dan usulan yang
dituangkan dalam bentuk format perda itu adalah usulan dari isi Manokwari Kota
Injil.
Hal itu juga
ditegaskan kabag hukum Manokwari, menurutnya Perda Manokwari Kota Injil, yang
usulan awalnya adalah Perda pembinaan Mental dan Spiritual itu bukan perda
agama, karena tidak mungkin menyamakan nilai-nilai Injil yang adalah perintah
Tuhan, dengan perda yang adalah buatan manusia, itu justru akan mereduksi nilai
Injil itu sendiri. Jadi kami menampung usulan itu dan akan disusun oleh team
legislasi dalam bentuk bentuk format raperda untuk kemudian diadakan
pembahasan, dan kemungkinan pembahasan itu akan dilaksanakan bulan januari
2008. Ia juga mengatakan, dalam raperda yang akan dibahas itu tentunya tidak akan
ada nilai-nilai yang bersifat diskriminatif, tetapi pastilah akan berisi
nilai-nilai yang universal yang dapat diterima oleh semua.
Sekda Manokwari
juga mengatakan, bahwa pemerintah daerah sendiri masih menunggu perdasus yang
akan memayungi usulan itu, karena Majelis rakyat Papua pernah membuat ketetapan
bahwa Manokwari daerah berbasis religius Kristen, Fak-fak, Muslim, dan Merauke
berbasis agama katolik, jadi jelas tidak ada diskriminasi disana, itu justru
untuk menjaga kedamaian antar umat beragama di Papua yang sejak lama terjaga
dengan baik, dan dengan makin terbukanya Manokwari sebagai konsekwensi menjadi
ibu kota provinsi, membanjirnya pendatang ke Manokwari tentu saja tak dapat
dihindari, dan untuk itu perlu aturan untuk tetap menjaga keindahan manokwari.
Namun, menurut Kabag Hukum Manokwari, usulan dari komunitas Kristen itu baik,
hanya saja tentu tidak boleh mengatur hal-hal yang berkenaan dengan umat
beragama lain. Memang ciri khas kota Injil dengan keceraiannya perlu ada. Meski
ia juga mengatakan telah berkonsultasi dengan depdagri, bahwa yang bisa
mengatur perda agama itu hanya Aceh, sedang Papua mesti berdasarkan budaya,
usualan itu juga sudah mendapat kajian apakah bertentangan dengan HAM atau
tidak. Ia juga mengatakan, pusat memang telah menyatakan penolakannya, tapi
mereka belum melihat. Ia juga mengakui dalam draft usulan itu ada point-point
yang bersifat diskriminatif, tapi itu akan dihilangkan.
Menurut Pdt
Sherley, dalam semiloka yang menggagas usulan perda kota Injil itu umat Kristen
yang hadir menyetujuinya, jadi kami rindu membuat suatu perda yang akan membuat
masyarakat Manokwari hidup yang menjadikan ciri Manokwari sebagi kota Injil.
Indonesia bukan negara Islam, jika di Aceh diijinkan ditetapkan perda syariah,
maka mengapa kami tidak boleh menetapkan perda kota Injil, lagi pula perda
koyta Injil berbeda dengan perda syariah yang diskriminatif, sedang perda kota
injil tidak bersifat diskriminatif,
Kehadiran perda
itu memang diharapakan khususnya oleh masyarakat Kristen Papua, meski itu pun
masih menjadi polemik dalam gereja-geraja, tapi pada prinsipnya mereka sepakat,
jika usulan itu akan dijadikan perda perlu ada dialog dengan semua kelompok
agama yang ada di Papua, dan mesti mendengarkan masukan dari komunitas
agama-agama lainnya.
Menurut Pendeta
Bastian sanbalai, salah seorang pembicara dalam semi loka dan yang juga
memberikan kontribusi usulan untuk pembuatan perda pembinaan mental dan
spiritual itu, aturan yang akan ditetapkan dalam perda itu adalah nilai-nilai
yang universal, sebagaimana Injil itu berisi nilai-nilai universal itulah yang
kami usulkan, jika kemudian ada usulan-usulan yang tampak berisi nilai-nilai
yang diskriminatif itu bisa saja didialogkan, hanya saja memang perda itu
merupakan proteksi terhadap umat Kristen dari usaha-usaha islamisasi yang
gencar dilaksanakan di Papua. Misalnya saja tentang penggunaan Jilbab, ia
berkomentar, itu merupakan atribut Islam, yang otomatis juga media penyebaran
agama, kami tidak melarangnya, hanya saja penggunaannya pada tempatnya, misalnya
digunakan untuk beribadah, namun tidak pada segala tempat, apalagi pada pegawai
negeri yang telah mempunyai seragam khusus, mengapa mesti ada perbedaan atau
kekhususan? Jadi, tidak ada larangan berjilbab dalam usulan itu, yang ada
hanyalah pembatasan. Komentar ini juga dinyatakan oleh tokoh-tokoh agama
lainnya dan juga pejabat di kabupaten Manokwari.
Selain tentang
penggunaan Jilbab, yang dianggap diskriminatif dan disebarkan secara luas tanpa
melihat latar belakang usulan tersebut menurut mereka adalah persoalan larangan
kegiatan publik pada hari minggu, tokoh-tokoh agama, menjelaskan, kehadiran
kapal penumpang yang menurunkan penumpang dalam jumlah besar pada hari minggu
di kota Manokwari yang kecil itu, sangat mengganggu ibadah Kristen, tidak jarang
demi mendapatkan rupiah, anggota jemaat, khususnya pengojek lebih memilih untuk
tidak menghadiri kebaktian minggu, ini menjadi keprihatinan tokoh-tokoh gereja,
karena itu pemerintah diminta tidak mengijinkan kapal masuk pada hari munggu,
atau setidaknya setelah jam 12 siang, setelah kebaktian Kristen usai. Hal itu
juga dinyatakan oleh anggota DPRD Propinsi, ia mengatakan, dulu kami tidak ada
yang bekerja pada hari minggu, hari itu adalah untuk beribadah, tapi kini, hari
itu tidak lagi dipedulikan, karena itu perlu aturan untuk mengingatkannya.
Hal lain yang
menimbulkan reaksi negative terhadap usulan perda itu adalah masalah suara
azan, menurut tokoh-tokoh agama disana, itu tidak perlu dikumandangkan, karena
mengganggu umat yang beragama lain, apalagi ini kota Injil. Jadi yang kita
minta adalah penghargaan keberadaan kami sebagai umat Kristen yang mayoritas,
kami tidak membelenggu kebebasan beragama, tapi sudah semestinya umat Islam
juga bertoleransi dengan mayoritas Kristen disini.
Sedang mengenai
ijin pendirian tempat ibadah, itu semua sudah diatur oleh pemerintah, jadi
wajar saja jika kita meminta mesjid pun perlu mendapatkan ijin dari masyarakat,
setidaknya harus mendapatkan ijin dari 150 anggota masyarakat setempat. Menurut
beberapa para tokoh agama Papua, itu bukan tindakan diskriminatif, tapi kami
perlu memberikan proteksi pada umat kami, agar kehadirannya juga dihargai, dan
kami tidak mencontoh Aceh yang mengharuskan semua orang non Muslim di Aceh
Berjilbab, kami hanya meminta ada keteraturan, untuk menjaga toleransi yang
telah tertanam kuat di Papua ini terjaga dengan baik.
Wakil Ketua DPRD
Papua, Amos, mengatakan, jika usulan itu berupa perda pembinaan mental dan
spiritual tentu saja saya menyetujuinya. Realitas degradasi moral yang terjadi
di Papua memerlukan penanganan yang serius, kehadiran perda larangan minuman
keras meski belum maksimal, setidaknya telah mengubah Manokwari menjadi lebih
aman, khususnya dari ancaman para pemabuk yang sering mengganggu, baik
rumah-rumah penduduk, maupun pedagang dan pejalan kaki maupun pengendara
kendaraan bermotor, karena itu demi meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
Papua yang dulunya telah mengalami pembaharuan oleh Injil. Maka perda itu
diperlukan.
Pdt. Dimara
mengatakan, dulu tempat kami ini aman, tidak ada pencuri, jika ada barang
hilang, atau tertinggal dimanpaun tidak ada orang yang akan mengambilnya. Tapi,
sekarang jika kita tidak hati-hati barang-barang kita bisa dicuri orang,
demikian juga jemuran pakaianpun bisa diambil pencuri, ini adalah bukti kemerosotan
moral yang terjadi, belum lagi dengan banyaknya pemabuk, yang membuat mereka
tidak bisa bekerja dengan baik, bahkan juga mengganggu orang lain, itu adalah
bukti telah lunturnya nilai-nilai injil di Papua. Untuk mengembalikan
nilai-nilai tersebut perlu dihadirkan suatu perda yang akan menjadi panduan
bagaimana seharusnya masyarakat Papua hidup di Kota Injil ini.
Pemasangan Plang-Plang manokwari Kota Injil
Setelah semiloka
yang melahirkan usulan raperda pembinaan mental dan spiritual itu, maka di kota
Manokwari terpancang 6 plang besar yang sangat indah yang berisi pernyataan
“Manokwari Kota Injil”, pada pinggir jalan masuk kota manokwari juga terpampang
tulisan “Selamat Datang Di Manokwari Kota Injil, Tuhan Memberkati.” Plang yang
bertuliskan Manokwari Kota Injil itu juga terpampang disudut-sudut jalan
Manokwari, bahkan sampai kedesa-desa, deklarasi Manokwari kota injil dengan
pemasangan plangh-plang itu menurut Agustina, seorang Rohaniwati Yayasan
Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia (YPII), yang adalah wakil ketua Majelis
perwakilan YPPII di pasang setelah Semi loka yang mengusulkan adanya perda
Manokwari Kota Injil. Beberapa pendeta gereja di luar GKI memang mengatakan
bahwa, ketika pemasangan plangh-plang tersebut mereka tidak dilibatkan, tetapi
kemudian ketika timbul masalah, adnya penolakan, mereka kemudian dilibatkan,
itu adalah bukti bahwa perda manokwari kota Injil masih berada dalam tahapan
wacana, meski umumnya mereka juga mengakui bahwa Manokwari Kota Injil adalah
harga mati, namun jika sampai berbentuk perda beberapa tokoh agama berpendapat
perlunya berdialog dengan umat agama-agama lain, dan itu memerlukan diskusi
yang cukup panjang.
Plang-plang yang
bertuliskan Manokwari Kota Injil, baik dalam bentuknya yang amat indah, atau
yang sederhana, tampak terawat dengan baik, dan menjadi assesoris yang
memperindah Kota Manokwari yang memang dianuggerahi keindahan alamnya, dan juga
kesuburan tanahnya. Itu juga berarti sebutan Manokwari kota Injil tampaknya
tidak mengagetkan masyarakat Manokwari. Muslim Papua, sudah terbiasa mendengar
sebutan manokwari kota Injil, karena memang di kota itu setiap tahun diadakan
perayaan besar menyambut masuknya Injil ditanah Papua. Dan Pemimpin Muslim
Papua sendiri telah menyatakan penerimaannya, karena mereka percaya nilai-nilai
inil itu adalah nilai-nilai yang universal yang juga baik untuk semua. Terlebih
lagi, bagi masyarakat Papua agama adalah agama keluarga, jadi mereka telah
terbiasa dengan toleransi dalam keragaman agama, sehingga kehadiran plang-plang
manokwari yang terkait dengan realitas sejarah itu tidak mengancam mereka.
Meski terlihat ada
keragaman pandangan mengenai perda manokwari kota Injil, tokoh-tokoh agama di
Papua umumnya setuju bahwa pernyataan dua missionary jerman, yaitu Ottow dan
Geisler yang mengatakan, dalam nama Tuhan kami menginjak tanah ini, merupakan
peryataan Tuhan bahwa Manokwari adalah kota Injil. Terlebih lagi sejarah
membuktikan bahwa Manokwari adalah kota pertama yang mengalami kemajuan di
Papua, dan melalui injillah orang Papua bisa menjadi pendeta-pendeta, dan
pejabat-pejabat, tanpa injil itu tidak mungkin terjadi. Secara ekstrem mereka
mengatakan, yang pertama ada di Papua adalah Injil bukan negara, jadi yang
membawa perubahan untuk Papua adalah Injil, jadi penghormatan terhadap Injil
mesti ada, karena itu adalah kekuatan Allah. Banyak denominasi gereja di papua
dapat disatukan dengan kesadaran yang sama bahwa mereka menerima Injil atas
jasa dua orang missionary Jerman itu, sehingga kesadaran itulah yang tampak
menyatukan mereka dalam keragaman pandangan tentang perda kota Injil.
Kontroversi
Sekitar Perda Kota Injil
Pdt. Gereja Bethel
Tabernakel yang telah melayani 32 tahun di Papua dan kini telah berusia 56
tahun berkomentar, “Kota Injil bagi kami adalah harga mati!” Pernyataan itu
bukanlah sesuatu yang diungkapkan dengan semangat heroik yaitu untuk melawan
orang-orang yang tidak menyetujui dengan sebutan Manokwari Kota Injil,
melainkan suatu pernyataan yang didasarkan keyakinan yang teguh bahwa Tuhanlah
yang menetapkan Manokwari sebagai Kota Injil yang didasarkan pada peristiwa
historis, karena itu meski tanpa pengakuan dari pemerintah sekalipun keyakinan
bahwa manokwari Kota Injil akan tetap dipegang teguh oleh masyarakat Kristen
Papua.
Memang, tidak
sedikit diantara tokoh-tokoh agama di Manokwari yang bersikukuh bahwa
formalisasi sebutan Manokwari kota Injil adalah hak mereka yang harus dipenuhi,
karena itu terkait dengan nilai-nilai dasar masyarkat Papua. Penetapan
Manokwari sebagi Kota Injil diperlukan untuk mendorong masyarakat hidup
menyesuaikan dengan daerah dimana mereka tinggal.
Dapat dipahami
bahwa masalah formalisasi sebutan Manokwari kota Injil sesungguhnya masih penuh
pro dan kontra, beberapa orang tokoh agama di luar GKI masih menganggapnya
hanya sebagai wacana, karena dirasa belum jelas apa sesungguhnya tujuan dari
dihadirkannya penetapan kota Injil, apalagi ditengah masyarakat Manokwari yang
kini telah menjadi sangat heterogen, dalam ungkapan tokoh-tokoh agama yang
menyebut diri sebagai gereja-gereja aliran pertobatan, perda kota Injil
tidaklah diperlukan. Pdt Jefrey, seorang pendeta dan dosen di sekolah Alkitab
Manokwari mengungkapkan, yang diperlukan adalah kebebasan untuk memberitakan
Injil, bukan aturan yang menghambat kebebasan agama-agama lain. Ia juga berpendapat,
pelajaran dari sejarah gereja, diamana gerja-geraja menjadi kelompok mayoritas
dan kemudian memakai tangan negara untuk memaksakan ajarannya terbukti membawa
gereja pada dunia yang gelap, seperti abad pertengahan, karena itu formalisasi
agama tidak diperlukan, menghadirkan diri sebagi orang beragama yang hidup
benar lebih penting dari pada memaksakan ajaran agama, bahkan diakui, ada
ketakutan jika memang usulan itu dijadikan perda itu akan mendapat perlawanan
dari pihak-pihak yang berkeberatan, dan juga bahaya eksklusifisme.
Penutup.
Usaha untuk
menghadirkan perda pembinaan mental dan spiritual yang kemudian dikenal menjadi
perda kota injil memang diakui sebagai usaha agama memberikan kontribusinya
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran publik agama itu dipegang kuat
sebagai sesuatu yang adalah hak masyarakat Papua, apalagi disana mereka
mengatakan tak ada usaha pembelengguan kebebasan beragama. Hukum yang akan
dihadirkan adalah hukum yang membuat semua agama-agama dapat hidup berdampingan
dengan harmonis. Namun, karena usulan itu belum didialogkan dalam komunitas
yang lebih luas dalam komunitas agama-agama, wajar saja ada efek samping dari
keterbatasan pengetahuan agama-agama itu. Kesediaan tokoh-tokoh agama sebagai
penggagas menunjukkan adanya keinginan untuk memberikan kontribusi bagi
terciptanya kehidupan masyarakat di Manokwari yang damai.
Peran publik agama
yang coba ditawarkan agama kemudian juga mengalami bias dengan kondisi ekonomi
masyarakat Papua yang kebanyakan hidup dalam kondisi miskin, apalagi ketika
diperhadapkan dengan pendatang yang jauh lebih kaya, dalam hal ini umat Muslim,
hal itu terlihat dengan penekanan pada nilai-nilai Kristen yang adalah isi
perda kota Injil yang kemudian ingin dipaksakan. Berangkat dari hak untuk memberikan
kontribusinya, komunitas agama kemudian ingin memaksakan kebenaran pandangannya
pada komunitas lain, dan itu terjadi karena adanya perasaan terancam dari
masyarakat Kristen Papua.
Demi untuk
memuluskan jalan bagi diberlakukannya perda kota Injil, GKI dalam hal ini
sebagai pihak penggagas baik perihal sebutan Manokwari sebagai kota Injil
maupun kehadiran perda kota injil, berusaha menggandeng Gereja-gereja lain yang
sebenarnya juga ada yang memiliki pandangan yang bersebrangan. Polarisasi agama
dalam agama, dalam hal ini Kristen bertujuan untuk mencapai tujuan penetapan
raperda kota Injil.
Peran publik agama
yang coba diusahakan ternyata telah menjadi bias, karena disana tersimpan
semangat hegemoni agama, hal itu semakin diperparah dengan adanya kebangkitan
mereka yang menolak untuk didiskriminasikan, dalam hal ini komunitas Mulim yang
kemudian juga menyatu, yaitu antara muslim Papua dan muslim pendatang.
Polarisasi agama pu terjadi tidak hanya di kalangan Kristen yang mencoba
inginmenggolkan apa yang mereka anggap baik, namun itu juga terjadi di kalangan
muslim yang merasa terdiskriminasikan.
Polarisasi agama
itu mungkin saja tidak disadari, namun itu tetap saja membahayakan. Pada
kondisi ini pendekatan yang hati-hati dengan menghadirkan dialog antara mereka
yng berbeda pendapat tersebut merupakan kebutuhan penting, itu juga disadari
oleh kalangan Kristen sebagai penggagas. (LG/)