JAYAPURA (UMAGI) --- Sidang percobaan turut serta melakukan
tindakan makar dengan terdakwa Selpius Bobii, August Makbrawen Sananay Kraar,
S.IP, Dominikus Sorabut, Edison Kladius Waromi,SH, Forkorus Yaboisembut, S.Pd
telah digelar sebanyak tiga kali.
Sidang pertama digelar tanggal 30 Januari 2012, dengan agenda pembacaan
surat dakwaan yang dibacakan oleh Majelis Hakim; sidang kedua, pada tanggal 08
Februari 2012, dengan agenda pembacaan eksepsi atau keberatan penasehat hukum
atas tuntutan jaksa; dan tanggal 10 Februari 2012 kemarin mendengar tanggapan
dari jaksa terkait eksepsi panasehat hukum.
===================================================
EKSEPSI (KEBERATAN)
PENASEHAT HUKUM
TERHADAP SURAT DAKWAAN
PENUNTUT UMUM
NOMOR REGISTER
PERKARA:PDM-457/JPR/Ep.2/12/2011
ATAS
NAMA PARA TERDAKWA :
1. SELPIUS
BOBII
2. AUGUST
MAKBRAWEN SANANAY KRAAR, S.IP
3. DOMINIKUS
SORABUT
4. EDISON KLADIUS
WAROMI,SH
5. FORKORUS
YABOISEMBUT, S.Pd
DIAJUKAN OLEH :
TIM PENASEHAT HUKUM
KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PENEGAKAN HUKUM DA HAM DI PAPUA
DI PENGADILAN NEGERI KLAS IA JAYAPURA
JAYAPURA 2012
E K S E P S I
Terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum
Nomor Register Perkara : PDM-457/JPR/Ep.2/12/2011
ATAS NAMA PARA TERDAKWA : 1.SELPIUS BOBII, 2. AUGUST MAKBRAWEN SANANAY
KRAAR, S.IP, 3. DOMINIKUS SORABUT, 4. EDISON KLADIUS WAROMI, SH, 5. FORKORUS YABOISEMBUT,
S.Pd
Di
Pengadilan Negeri Klas IA Jayapura
I.PENDAHULUAN
Majelis Hakim Yang Terhormat
Sdr. Penuntut Umum yang kami hormati,
Sdr. Panitera yang kami hormati, dan
Pengunjung Sidang yang juga kami hormati,
Setelah mendengar
dan mempelajari secara seksama Surat Dakwaan Saudara Penuntut Umum maka sesuai
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sekarang adalah giliran kami Penasehat
Hukum Para Terdakwa, untuk memberikan pendapat, apakah Surat Dakwaan Sdr. Jaksa
Penuntut Umum telah memenuhi azaz dan ketentuan hukum acara pidana untuk
mendudukan Para Terdakwa 1.SELPIUS BOBII, 2. AUGUST MAKBRAWEN
SANANAY KRAAR, S.IP, 3.DOMINIKUS SORABUT, 4.EDISON KLADIUS WAROMI, SH,
5.FORKORUS YABOISEMBUT, S.Pd, menjadi Para Terdakwa dan
sekaligus menjadi dasar satu-satunya sebagai pedoman untuk memeriksa dalam
persidangan nanti yakni apakah Para Terdakwa telah melakukan tindak pidana
sebagaimana diuraikan dalam Surat Dakwaan.
Dari Surat Dakwaan
yang sudah dibacakan pada pokoknya, Para Terdakwa di Dakwa : “Mencoba melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta
melakukan Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah Negara,
jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara.”, sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 KUHP jo.
Pasal 55 ayat (1) Ke-(1) KUHP Jo.Pasal 53 ayat (1) KUHP. Rangkaian dugaan
tindak pidana tersebut, menurut dakwaan dilakukan dari hari Minggu, tanggal 16 Oktober
2011 sampai dengan hari Rabu tanggal 19 Oktober 2011, bertempat dilapangan
Zakheus Padang Bulan Abepura, Kota Jayapura.
Acara yang oleh
Panitia dan masyarakat Papua diberi nama KONGRES RAKYAT PAPUA III (KRP III),
dengan Thema , “MARI
KITA MENEGAKAN HAK-HAK DASAR ORANG ASLI PAPUA DI MASA KINI DAN MASA DEPAN “, Sub Thema, “MEMBANGUN PEMAHAMAN SECARA JUJUR, ADIL, DAN
MENYELURUH DEMI PENEGAKAN HAK-HAK DASAR ORANG ASLI PAPUA, TERMASUK HAK POLITIK
DIMASA DEPAN YANG LEBIH BAIK, MAJU, ADIL, DEMOKRATIS, AMAN, DAMAI, SEJAHTERA
DAN BERMARTABAT”, sedangkan tujuan dari KRP III, adalah : 1).Mengemukakan
penilaian yang adil dan jujur terhadap realitas dalam berbagai bidang kehidupan
rakyat di Tanah Papua secara menyeluruh, dan lebih khusus perlindungan,
pemberdayaan dan keberpihakan (pengutamaan) hak-hak dasar orang asli Papua; 2) Mencari mekanisme dan langkah-langkah yang
tepat bagi penyelesaian masalah Papua yang lebih adil, demokratis, aman, damai,
sejahtera dan bermartabat dalam kerangka masyarakat global yang lebih maju dan
lebih baik. Dinamakan Kongres Rakyat Papua III, karena Kongres ini
merupakan yang ketiga kali dilaksanakan dan melibatkan Seluruh Komponen Rakyat
Papua, yang pesertanya terdiri dari masyarakat di 7 (tujuh) Wilayah Adat,
Peninjau, Pengamat, Simpatisan, Penjaga Tanah Papua (Petapa), yang keseluruhannya berjumlah
kurang lebih 12.000 Orang, Kongres ini dilaksanakan dengan mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 09 Tahun 1998 Tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat, dimana terlebih dahulu panitia telah
mengajukan Surat Pemberitahuan Kepada Kepala Kepolisian Daerah Papua, Nomor
: 33-SPK/TKRNRPB/X/2011, tertanggal 07 Oktober 2011, selain surat
pemberitahuan kepada Kapolda Papua, Panitia juga telah mengajukan surat
undangan kepada Presiden Republik Indonesia DR. Susilo Bambang Yudoyono, Nomor
: 19-SU/TKRNRPB/IX/2011, surat panitia ke Kapolda Papua tidaklah ditindak
lanjuti dengan memberikan surat tanda terima pemberitahuan (STTP), sedangkan
oleh Presiden Republik Indonesia melalui Kementrian Koordinator Bidang Politik,
Hukum dan Keamanan Republik Indonesia ditindaklanjuti dengan Surat Nomor :
B.962/Ses/Polhulkam/10/2011 yang bersifat segera kepada Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia di Jakarta, perihal Penugasan Dirjen Otda Kepdagri untuk membuka
dan menjadi Keynote Speaker pada KRP-III, surat tersebut tembusannya juga
ditujukan kepada Yang Terhormat : 1) Menko Polhukham (Sebagai Laporan; 2)
Mensegneg RI; 3) Gubernur Papua 4) Pangdam XVII/Cenderawasih 5)Kapolda Papua.
Persidangan yang
terhormat,
Dengan dakwaan seperti diatas maka memungkinkan
Majelis Hakim untuk menghukum Para Terdakwa selama 15 Tahun atau 6 Tahun 6
bulan (vide, pasal 106 jo 53 ayat 1, 2 dan 3). Jadi dilihat dari ancaman
hukuman ini mestinya perbuatan yang dituduhkan Sdr. Penuntut Umum ini dari
perspektif ancaman kepentingan umum sangatlah serius, dengan penerapan dakwaan seperti ini seolah-olah apa yang
dilakukan oleh Para Terdakwa dengan melaksanakan Kongres Rakyat Papua III bukan
merupakan Hak-Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Deklarasi Umum Hak
Asasi Manusia (DUHAM), Pasal 2, yang berbunyi : “Setiap orang berhak
atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum didalam Deklarasi ini
tidak ada kekecualiaan apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, politik, hukum atau pandangan lain, asal-usul
kebangsaan atau ke masyarakatan, hak milik, kelahiran atau kedudukan lain.
Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum
atau kedudukan internasional dari Negara atau daerah darimana seseorang
berasal, baik dari Negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah
perwalian, jajahan atau berada di bawah batasan kedaulatan yang lain”, ketentuan ini juga berkaitan dengan Konvenan Hak-Hak Sipil Dan
Politik, Pasal 1, yang berbunyi : “Semua bangsa berhak untuk
menentukan nasibnya sendiri.Berdasarkan hak tersebut mereka bebas menentukan
status politik mereka dan bebas mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya
mereka”. Selain dianggap oleh Negara bukan merupakan hak-hak yang di
Jamin dalam DUHAM dan Konvensi Hak-Hak Sipil Politik tersebut, Perbuatan yang
dilakukan Para Terdakwa juga dianggap bukan hak-hak warga Negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945,
Pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat”, jo. Undang-Undang Nomor 09 Tahun 1998, Pasal 1 ayat
(1), yang berbunyi,
“Kemerdekaanmenyampaikan Pendapat
adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikirandengan lisan, tulisan,
dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuaidengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, Aturan-aturan
internasional dan nasional tersebut sangat jelas memberikan ruang demokrasi kepada Para Terdakwa dan Masyarakat Sipil
di Papua untuk menyampaikan aspirasinya.
Mengenai ketentuan
hukum yang diterapkan alangkah baiknya kita melihat sisi historisnya,
sebagaimana diketahui bahwa KUHPidana kita berasal dari KUHPidana Nederland
(Negeri Belanda). Melalui asas Korkodansi dalam pasal 131 I.S. KUH Pidana
Nederland tersebut diberlakukan/diterapkan di negara Jajahan di Hindia Belanda
termasuk ketentuan dalam Dalam Dakwaan: Pasal 106 KUHP, yang oleh Pemerintah
Hindia Belanda pemberlakuan pasal-pasal makar ini ditujukan untuk menjaga keutuhan wilayah jajahan Hindia
Belanda termasuk Indonesia.
Timbul pertanyaan sekarang, apakah pasal-pasal dalam dakwaan Pasal 106 KUHP yang dipakai oleh
penjajah Pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga keutuhan wilayah jajahannya,
masih dapat dipertahankan didalam Negara Republik Indonesia yang katanya Negara merdeka dan
berdaulat sekarang ini ? Dalam alam demokrasi saat
ini pemberlakuan pasal makar sebagaimana tersebut diatas telah membatasi
kehendak pasal 28 UUD 1945 dan secara tidak sadar kita telah mewarisi sistem
dan pola-pola yang diterapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pertanyaan apakah kita akan mengulang kesalahan penjajah Belanda
dahulu ? Selayaknya kita membaca dan bercermin pada sejarah untuk
lebih menghidupkan pengertian “merdeka” dalam pengertian yang lebih luas/tidak
sempit, karena itu penggunaan pasal makar tersebut
diatas seharusnya sudah tidak layak dipertahankan lagi dalam penegakan hukum di
negeri ini.
II.AKAR MASALAH
DI PAPUA
Majelis Hakim
yang terhormat,
Bila kita ingin
mencari solusi atas problem sosial politik yang terjadi di tanah Papua umumnya
dari akar masalahnya, maka harus ada ruang dialog untuk menyelesaikan akumulasi
masalah-masalah sosial politik, hal dialog yang paling mendasar adalah
menyelesaikan akar masalah di Papua yang disebut dengan, “PELURUSAN SEJARAH”, secara obyektif dan masing-masing pihak yang
terlibat dalam dialog harus sepakat menerima apapun hasilnya. Proses ini sangat
penting untuk dilakukan karena sangat menentukan realitas integritas bangsa
Papua hari ini, karena sampai saat ini mengenai sejarah integrasi Papua oleh
mayoritas masyarakat Papua masih dinilai kabur dan masyarakat tahu karena
politik sengaja dikaburkan. Klarifikasi perlu untuk dilakukan hari ini dengan
semangat “Keinginan baik” kita semua, baik pemerintah, masyarakat maupun aparat penegak
hukum yang terlibat dalam persidangan saat ini.
Adapun hal-hal
yang sangat urgent untuk diklasifikasikan serta menjadi penyebab timbulnya
pergolakan politik ditanah Papua menurut kami Tim Penasehat Hukum Para Terdakwa
antara lain :
1. Bahwa sampai saat ini sebagian besar masyarakat Papua membenarkan
bahwa Papua pernah berdaulat sejak tanggal 01 Desember 1961. Subtansinya jelas
butuh klarifikasi, sebab soal ini ada relevansinya dengan salah satu butir isi
Tri Komando Rakyat (TRIKORA) yang menyatakan : “Bubarkan Negara
Boneka Papua buatan Belanda”.
2. Bahwa lahirnya New York Agreement (Perjanjian New York) tanggal 15
Agustus 1962 oleh Mayoritas Rakyat Papua dipertanyakan dasar hukumnya, karena
rakyat Papua menganggap itu sebagai pelecehan terhadap integritasnya, karena
sebagai anak negeri yang hidup diatas tanah ini tidak pernah diikut sertakan
dalam perundingan-perundingan antara Indonesia, Belanda dengan fasilitator Mr.
Elswort Bunker sebagai wakil Perserikatan Bangsa-Bangsa padahal sangat disadari
bahwa konsep Elwort Bunker itulah cikal bakal isi Perjanjian New York 1962 yang
menentukan masa depan bangsa dan tanah ini.
3. Bahwa Penyerahan Kedaulatan dari Belanda ke UNTEA dan UNTEA ke
Indonesia menurut Perjanjian New York dilakukan dengan dua tahap dengan
mekanisme tahap pertama Belanda menyerahkan kedaulatan
tanah ini ke UNTEA dan tahap kedua UNTEA akan menyerahkan kepada Indonesia
dengan syarat setelah diserahkan kepada Indonesia akan dilakukan self
determination, plebisit atau lebih dikenal dengan PEPERA ( Penentuan Pendapat
Rakyat ) dengan batas waktu akhir tahun 1969.
4. Bahwa Rezim Orde Baru telah mengingkari perjanjian New York 1962
yang pada dasarnya menyatakan bahwa dalam semangat Perjanjian New York 1962
dan Statuta Roma 20-21 Mei 1969 dilakukan untuk
kepentingan dan kesejahteraan rakyat Papua namun kenyataan yang diterima oleh
masyarakat Papua sejak Penentuan Pendapat Rakyat sampai adanya Kabinet
Pembangunan dibawah rezim Suharto justru tidak menunjukan realisasi semangat
tersebut;
5. Bahwa di Era Reformasi sejak tumbangnya Rezim Orde Baru, baik masa
pemerintahan Presiden Habibie, Gusdur, Megawati dan kini dibawah Pemerintahan
Susilo Bambang Yudoyono, persoalan “PELURUSAN SEJARAH”, belum mendapat respon
penyelesaikan secara bermartabat.
Hal inilah yang
masih dipertanyakan menyangkut keabsahan dan faliditas Putusan Para Orang Tua
mereka dalam PEPERA Tahun 1969, masalah ini yang sampai saat sekarang belum
pernah dikomunikasikan dalam sebuah tataran sejajar antara para tokoh daerah
Papua dengan Pemerintah, bahkan ada kecendurungan untuk ditutupi, sehingga
beberapa kali meletus apa yang oleh pihak keamanan dinamakan sebagai Makar atau
Gerakan Separatis OPM. Bahkan ada kecendurungan mempolitisir dengan melatenkan
situasi demikian untuk kepentingan-kepentingan pribadi para oknum aparat negara
dan aparat penegak hukum yang akhirnya menyebabkan meluasnya
kesenjangan-kesenjangan sosial yang terakumulasi terus menerus dalam perjalanan
sejarah daerah ini.
Contoh konkret
yang telah terjadi seperti eksploitasi sumber daya alam yang melimpah didaerah
ini tanpa ada upaya untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya, menumpuknya
pelanggaran HAM (Kasus Biak Berdarah, 06 Juli 1998; Kasus Sorong, 05 Juli 1999;
Kasus Timika, 02 Desember 1999; Kasus Merauke, 16 Februari 2000; Kasus Nabire,
28 Februari sampai dengan 4 Maret 2000; Kasus, Abepura, 07 Desember 2000, Kasus
Wasior Berdarah tahun 2001, Kasus Penyerangan Aparat Pasca KRP III, 19 Oktober
2011) dan kasus pelanggaran HAM lainnya yang hampir merata diseluruh wilayah
Papua, tanpa upaya mengadili pelakunya oleh Negara dan kesemuanya terakumulasi
tanpa jalan keluar yang pasti.
Pemberlakuan
otonomi khusus yang oleh Pemerintah dianggap sebagai solusi terbaik dalam
implementasinya ternyata masih jauh dari harapan masyarakat Papua, hal ini
disebabkan oleh Kebijakan Pemerintah yang sangat tidak konsisten memberlakukan
Undang-Undang tersebut misalnya soal lambang daerah sampai saat ini masih menjadi perdebatan
karena yang dianggap sebagai simbol dan lambang daerah oleh masyarakat Papua
yang diamanatkan oleh Undang – Undang Otonomi tersebut oleh Pemerintah dianggap
sebagai simbol-simbol separatis kemudian dianulir dengan hadirnya PP 77 Tahun
2007 tentang Pelarangan simbol dan lambang daerah termasuk keberadaan bendera
Bintang Kejora, selain itu untuk menyelesaikan persoalan sejarah masa lalu dan
Pelanggaran Ham telah diamanatkan oleh Undang-Undang Otonomi Khusus soal
hadirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengadilan HAM untuk Propinsi Papua, hingga kini kehadiran
kedua lembaga belum diseriusi oleh Pemerintah sendiri. Hal ini ditambah dengan
belum adanya keseriusan Pemerintah menyelesaikan produk-produk pelaksanaan dari
Undang-Undang Otonomi Khusus yang tujuannya memproteksi penduduk asli Papua,
ada 13 (Tiga Belas) Peraturan Daerah Khusus dan 21 (Dua puluh satu) Peraturan
Daerah Propinsi (Perdasi) yang sebagian besar sampai saat ini belum di
selesaikan pembahasan drafnya oleh Pemerintah, apa yang dilakukan diatas
merupakan upaya pembiaran atau kesengajaan yang menggunakan hukum sebagai alat
untuk mempertahankan kekuasaan dan menekan eksistensi penduduk asli di Tanah
Papua ini guna melegitimasi berbagai ketidakadilan. Para Terdakwa yang saat ini
menjalani proses hukum adalah korban dari pemikiran semacam ini.
III.UPAYA PENYELESAIAN KONFLIK YANG BELUM DIRESPON PEMERINTAH
Dalam kurun waktu
sekitar tahun 2004-2006, telah ada upaya dari Lembaga Penelitian Indonesia
untuk melakukan penelitian tentang Konflik di Papua, kemudian pada tahun 2008
Tim dari LIPI ditugaskan untuk membuat Papua Road MAP (Model Penyelesaian
Konflik Papua secara mendasar dan konprehensif), dari hasil penelitian tersebut
telah dikelompokan empat isu sumber konfik di Papua dan solusinya :
1. Isu Pertama : Masalah marginalisasi dan
efek diskriminatif terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi,
konflik politik, dan migrasi massal ke Papua sejak tahun 1970. Untuk menjawab
ini, kebijakan afirmatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang
asli Papua;
2. Isu
Kedua : Kegagalan Pembangunan terutama di Bidang Pendidikan,
Kesehatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Untuk menjawab ini di perlukan
semacam paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan
publik demi kesejahteraan orang asli Papua di Kampung-Kampung;
3.
Isu Ketiga : Adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara
Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa dilakukan dengan dialog yang
bermartabat dengan melibatkan semua komponen masyarakat Papua.
4. Isu
Keempat : Pertanggung jawaban atas kekerasan Negara di
masa lalu terhadap Masyarakat Papua. Untuk itu perlu, penegakan hukum melalui
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pengungkapan Kebenaran melalui Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua, hal ini merupakan pilihan-pilihan terbaik
untuk keadilan bagi masyarakat Papua, terutama korban dan keluarganya.
Selain LIPI,
solusi-solusi untuk memecahkan problem tersebut juga dilakukan oleh Jaringan
Damai Papua (JDP), yang terbentuk pada tanggal 06 Januari 2010, di koordinir
oleh Dr. Neles Tebay telah melakukan konsultasi publik di 19 Kabupaten yang ada di Papua, dengan
melibatkan 50 Orang/perwakilan tiap kabupaten dan pada tanggal 5-7 Juli 2011,
JDP telah melakukan Konferensi Damai Papua sebagai Konsultasi Publik tertinggi
yang melibatkan 500 Perwakilan dari 19 Kabupaten tersebut, yang masing-masing
utusan terdiri dari : Unsur Faksi Politik, Unsur Pemuda, serta melibatkan
pengamat dari DPRP, MRP, Pemerintah, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Dewan Adat
Papua, NGO dan lain-lain, hasil dari Konferensi tersebut intinya dideklarasikan
bahwa; Dialog merupakan sarana terbaik untuk mencari solusi bagi
penyelesaian konflik antara Masyarakat Papua dan Pemerintah
Indonesia; Terdapat Tekad untuk mencari solusi atas berbagai persoalan politik,
keamanan, Hukum, HAM, Ekonomi, Lingkungan Hidup serta sosial budaya di Tanah
Papua melalui Dialog antara Rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia yang
difasilisasi oleh pihak ketiga yang netral; telah ditetapkan juru runding orang
Papua yang akan berdialog dengan Pemerintah Indonesia.
Menjadi pertanyaan
mengapa telah ada upaya-upaya damai untuk menyelesaikan akar persoalan Papua,
tetapi masih saja terjadi pembungkaman terhadap setiap gerakan masyarakat sipil
di Papua dengan stigma separatis dan “jerat” hukum pasal Makar yang hampir
setiap dialami secara bergantian oleh mereka yang memperjuangkan hak-hak dasar
Masyarakat Papua, dalam tahun ini Para Terdakwa yang mengalami “stigma” dan
“jerat” Makar tersebut ketika melakukan Kongres Rakyat Papua III yang kemudian
direspon dengan penangkapan, penahanan dan proses hukum yang saat ini sedang mereka
hadapi.
Hari ini dihadapan
Pengadilan yang terhormat, kita yang hadir beserta semua orang yang prihatin
terhadap ketidakadilan berharap inilah proses hukum untuk menyatakan kepada
Rakyat Papua keadilan masih ada ditanah ini.
IV. TANGGAPAN/KEBERATAN TERHADAP
PROSES PENANGKAPAN, PEMERIKSAAN AWAL DAN SYARAT MATERIL SURAT DAKWAAN
Persidangan yang
kami muliakan,
Apa
yang hendak kami sampaikan dengan indikasi dan harapan diatas tidak lain dan
tidak bukan agar sejak awal kita sudah dengan cermat dan seksama bisa memahami
dan menanggapi Surat Dakwaan yang serius ini. Oleh karena itu, selanjutnya kami
mulai keberatan (eksepsi) ini dengan mempertanyakan secara yuridis penerapan
ketentuan perundang-undangan dalam memeriksa dan mengajukan Para Terdakwa pada
persidangan ini dan kemudian apakah perbuatan yang dilakukan mereka berupa
Pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
Makar ? Dengan paparan ini kita berharap Majelis Hakim dapat melihat, menelaah dengan
seksama dan bijaksana, dan selanjutnya mengambil keputusan yang tepat dan
benar.
Di
hadapan kita duduk Para Terdakwa 1.SELPIUS
BOBII, 2..AUGUST MAKBRAWEN SANANAY KRAAR, S.IP, 3. DOMINIKUS SORABUT, 4. EDISON
KLADIUS WAROMI, SH, 5. FORKORUS YABOISEMBUT, S.Pd, yang pada hari Senin, tanggal 30 Januari
2012 telah menjalani sidang perdana dan kemudian pada hari ini Rabu. 08 Februari 2012 kami akan menyampaikan
Eksepsi atau Keberatan atas Dakwaan Sdr. Penuntut Umum tersebut yang mencakup
sebagai berikut:
A.PELANGGARAN TERHADAP KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM ACARA PIDANA
Bahwa Para Terdakwa oleh Sdr.Penuntut Umum telah
didakwa dengan beberapa pasal yang tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia dan “aturan main” untuk menegakkan pidana materiil tersebut
satu-satunya adalah Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 tahun 1981).
Bahwa walaupun ternyata Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana Indonesia yang katanya merupakan suatu karya agung anak bangsa
namun dalam perjalanannya yang boleh dikata telah mencapai lebih dua dasawarsa
telah pula diabaikan dan dilanggar oleh mereka yang mengklaim dirinya sebagai
aparat penegak hukum yang diharapkan oleh masyarakat dapat memberikan kepastian
hukum.
Penerapan hukum acara yang telah jelas-jelas dan tegas
diatur secara tertulis dalam KUHAP telah jelas dan
tegas-tegas pula dilanggar oleh aparat penegak hukum ditingkat proses
penyidikan dan penuntutan. Pelanggaran tersebut antara lain :
1. PENANGKAPAN PARA TERSANGKA/TERDAKWA TIDAK SESUAI PROSEDUR KUHAP
Bahwa proses penangkapan terhadap Para Terdakwa, dilakukan
sewenang-wenang tanpa prosedur hukum yang benar, dimana Kongres Rakyat Papua
III, telah berakhir tanggal 19 Oktober 2011, sekitar pukul 13.00 WIT, aparat
kepolisian melakukan penangkapan terhadap Para Terdakwa sekitar Jam 15.00 WIT (Jeda
waktu sekitar 2 Jam), dengan demikian dalam kasus ini Para Terdakwa bukanlah
tertangkap tangan, sehingga seharusnya prosedur yang dilakukan oleh aparat
kepolisian bukanlah proses penangkapan yang pelakunya“tertangkap tangan” namun
haruslah melakukan prosedur sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) KUHAP
yang berbunyi “Pelaksanaan tugas penangkapan yang dilakukan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta
memberikan kepada Tersangka Surat Perintah Penangkapan yang mencantumkan
identitas Tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat
perkara kejahatan yang disangkakan serta tempat ia diperiksa. Disamping itu,
menurut pasal 18 ayat (3) KUHAP tembusan surat perintah penangkapan harus
diberikan kepada keluarga segera setelah penangkapan dilakukan ”. Namun kenyataannya, Para
Terdakwa saat dilakukan penangkapan oleh aparat Kepolisian, sama sekali tidak
berlandaskan KUHAP, sehingga tindakan kekerasan mewarnai penangkapan terhadap Para Terdakwa, antara lain 1). Forkorus Yaboisembut, ditendang
oleh Aparat Polisi dibagian Ulu Hati, dibagian kaki dan dipukul dengan popor
senjata dibagian belakang, diseret secara paksa ke dalam mobil Baracuda oleh
anggota Polisi, dalam keadaan tertindih dan ditodong dengan senjata dibawah Ke
Mapolda Papua; 2).Edison waromi, ditangkap secara paksa ketika hendak pulang,
mobil miliknya di rusak/dihancurkan kaca mobilnya oleh anggota polisi;
3).Dominikus Sorabut, mengalami pukulan dengan pistol dibagian kepala,
dibagian dagu dengan balok, dipukul dengan menggunakan popor senjata M-16,
pukulan rotan berkali-kali di bagian belakang badan dan sejumlah pukulan lain
di sekujur tubuh saat dikumpulkan dilapangan Zakheus 4).August M. Sananai Krar, dipukul dengan pistol dibagian kepala sebanyak 2
(dua) kali; 5).Selpius Bobbi ; Dikejar oleh aparat
kepolisian kearah gunung Abe, keesokan harinya menyerahkan diri ke Mapoda
Papua. Selain terhadap Para Terdakwa aparat Kepolisian juga melakukan tindakan yang sama/penangkapan dan penyiksaan terhadap sekitar
kurang lebih 360 Massa yang terlibat dalam acara KRP III tersebut dan yang
lebih sadis lagi terjadi pembunuhan terhadap 3 (tiga) warga sipil atas nama
Yakob Samonsabra, Max Aseyeuw dan Daniel Kadepa, ketiga warga sipil ini
ditemukan disekitar lokasi KRP III,bukti bahwa terjadi kesalahan aparat
kepolisian saat pembubaran Kongres Rakyat Papua III adalah telah disidangkannya
7 (tujuh) Perwira dalam sidang disiplin di Mapolresta Jayapura dan Mapolda Papua, pada tanggal 22 November
2011, yang kemudian divonis bersalah hanya dengan teguran tertulis dan mutasi,
vonis yang sangat ringan dibanding perbuatan yang mereka lakukan terhadap Para
Terdakwa dan masyarakat sipil. Tindakan aparat tersebut selain telah melanggar
ketentuan pasal 18 KUHAP, juga melanggar Pasal 4 huruf a dan Pasal 5 huruf a
Peraturan Pemerintah Nomor : 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin
Kepolisian, dimana aparat kepolisian tersebut tidak memberikan perlindungan,
mengayomi masyarakat sesuai fungsi pokok sebagai anggota Polri. Dari pelanggaran terhadap aturan tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa pertama, Hukum telah diabaikan oleh penegak hukum sendiri dan tidak sesuai
dengan aturan sebagaimana dalam penjelasan UUD 1945 yang menyatakan bahwa
Indonesia adalah negara hukum (rechstaats) dan bukan negara kekuasaan
(Machtstaats); kedua bahwa telah terjadi perlakuan
sewenang-wenang aparat terhadap rakyat, tidak sesuai dengan azas pemerintahan
yang baik dan telah terjadi pelanggaran HAM terhadap kebebasan seseorang.
Tindakan-tindakan ini tidak menghormati azas praduga tak bersalah (presumption
of inocence).
2. Pemeriksaan Awal Para Tedakwa (Tersangka saat di Kepolisian) tanpa
didampingi Penasehat HukumBahwa Para Terdakwa atas nama Forkorus Yaboisembut,
Edison Kladius Waromi, August Sananay Kraar dan Dominikus Sorabut, pada saat
setelah penangkapan tanggal 19 Oktober 2011, dilakukan pemeriksaan awal oleh
Penyidik Kepolisian Daerah Papua sekitar Jam 18.00 WIT sampai dengan 04.00 WIT
tanggal 20 Oktober 2011 tanpa didampingi Oleh Penasehat Hukum, pendampingan
Penasehat Hukum barulah dilakukan saat pemeriksaan tambahan, hal ini
bertentangan dengan ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai
berikut : "Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman lima belas
tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana
lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai Penasehat Hukum sendiri, pejabat
yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses pemeriksaan wajib
menunjuk penasihat hukum bagi mereka". Padahal diketahui bahwa ancaman
hukuman dalam pasal 106 dan 160 yang semula disangkakan pada Para Tersangka
adalah diatas 5 (lima) tahun/antara 6 tahun sampai dengan seumur hidup, dengan
demikian maka sesuai yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor :
1565/K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993 yang berbunyi : "Dengan tidak
ditaati pasal 56 KUHAP atau tidak ditunjuknya Penasihat Hukum untuk Terdakwa
ditingkat penyidikan dan tingkat penuntutan, maka dakwaan Jaksa batal demi
hukum".
Karena penyidikan
awal/pemeriksaan awal terhadap Para Tersangka (Terdakwa) tidak sah karena
dilakukan tanpa hadirnya Penasehat hukum, maka BAP penyidik menjadi cacat
yuridis sehingga surat dakwaan yang disusun berdasarkan hasil penyidikan yang
cacat yuridis tersebut mengakibatkan surat dakwaan menjadi tidak sah ".
Berkenaan dengan itu sudah selayaknya kami Penasehat Hukum Para Terdakwa sangat
berharap dan mohon agar Majelis Hakim memperhatikan yurisprudensi a quo dan
menyatakan bahwa dakwaan Sdr. Penuntut Umum tidak sah dan batal demi hukum.
B. Tanggapan Tentang Syarat Materiil Surat Dakwaan
Majelis Hakim yang terhormat,
Bahwa secara kongkret syarat materiil untuk menyusun
Surat Dakwaan ditentukan oleh Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP yang berbunyi: “…b Uraian secara cermat, jelas dan lengkap
mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat
tindak pidana itu dilakukan…”
Bahwa apabila waktu dan tempat tindak pidana dilakukan
oleh Terdakwa tidak cermat,tidak jelas dan tidak lengkap, maka menurut
ketentuan Pasal 143 ayat (3) KUHAP, dakwaan Sdr. Penuntut Umum batal demi
hukum, yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut : “…3. Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum…” Dalam Surat Dakwaan Sdr. Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara:
PDM-457/JPR/Ep.2/12/2011, terdapat hal-hal yang tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap sebagai berikut :
1. Bahwa Dalam Dakwaan JPU, Para Terdakwa didakwa dengan Dakwaan : “MENCOBA
MELAKUKAN, MENYURUH MELAKUKAN ATAU TURUT SERTA MELAKUKAN MAKAR DENGAN MAKSUD
SUPAYA SELURUH ATAU SEBAGIAN WILAYAH NEGARA, JATUH KETANGAN MUSUH ATAU
MEMISAHKAN SEBAGIAN DARI WILAYAH NEGARA”, namun dalam uraian fakta tidak
terlihat tindakan Para Terdakwa yang melakukan dugaan tindak pidana tersebut,
hal ini dapat dilihat dari uraian Sdr. Jaksa Penuntut Umum
dalam dakwaan hal.2, paragraph 1 (satu) sebagai berikut : “…yang dilakukan oleh
para terdakwa dengan cara, melakukan Kongres III Rakyat Papua, bahwa yang
menfasilisasi terlaksananya kegiatan Kongres Rakyat Papua III adalah Terdakwa 1
(Satu) Selpius Bobii selaku Ketua Panitia, Terdakwa 2 (Dua) August Makbrawen
Sananay Kraar, S.IP, selaku Koordinator Logistik dan Perlengkapan dalam
kepanitiaan, Terdakwa 3 (Tiga) Dominikus Sorabut selaku anggota panitia yang
membaca Profil Negara Papua Barat, Terdakwa 4 (Empat) Edison Kladius Waromi, SH
selaku penanggung jawab dalam Kepanitiaan KRP III (Tiga) yang juga sebagai
pimpinan kolektif, Terdakwa 5 (lima) Forkorus Yaboisembut, S.Pd selaku
penanggung-jawab dalam KRP III (Tiga) yang juga pemimpin kolektif.Bahwa peranan
masing-masing terdakwa dalam kepanitiaan penyelenggaraan Kongres III Rakyat
Papua tersebut diatas terlihat jelas kekompakan atau kebersamaan Para Terdakwa
dalam melakukan Kongres III Rakyat Papua tersebut”, selanjutnya pada bagian akhir surat dakwaan disebutkan “Karena para
Terdakwa menyadari bahwa Papua merupakan Wilayah yang tidak terpisahkan dalam
NKRI. Sebagaimana tertuang dalam surat dari Tim Kerja
Rekonsiliasi Nasional Rakyat Papua Barat No. 33-SPK/TKRNRPB/X/2011 tertanggal 7
Oktober 2011”.
Disini jelas apa yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum sangat kabur, karena Para Terdakwa didakwa dengan dakwaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) Ke-(1) KUHP Jo. Pasal 53
Ayat (1) KUHP, tetapi dalam uraian fakta, Sdr. Penuntut Umum
menguraikan fakta kebebasan/kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum,
dan karenanya Dakwaan seharusnya menggunakan
Undang-Undang Nomor 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat
dimuka Umum, yang apabila terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat dibubarkan atau dikenai sanksi sesuai
Pasal 16, 17 dan 18 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat tersebut.
2. Bahwa kwalifikasi peran Para Terdakwa dalam surat dakwaan, sangat
kabur dan membingungkan karena dalam uraian fakta Sdr. JPU merumuskan peran Para Terdakwa adalah pelaksana dan
penanggungjawab kegiatan KRP III, selain itu dalam surat dakwaan diuraikan
profil Negara Papua Barat sebagai hasil dari KRP III, antara Peran Para
Terdakwa sebagai Panitia dan Penanggung Jawab KRP III dalam hubungannya dengan
Peran Para Terdakwa dalam pembuatan/perumusan profil Negara Papua Barat belum
nampak hubungannya. Misalnya dalam penyusunan profil negara siapa bertugas
membuat/merumuskan Nama, Bentuk Negara, Lambang,
Bendera, Lagu Kebangsaan, Mata Uang, Wilayah; Siapa yang bertugas merumuskan tata aturan hukum, struktur pemerintahan dan lain-lain,
apakah Para Terdakwa atau Peserta Kongres Rakyat Papua III yang
membuat/merumuskan profil tersebut, hal ini haruslah jelas dalam dakwaan Jaksa.
Dengan tidak uraikan peran Para Terdakwa dalam pembuatan/perumusan profil
negara sebagai “inti” tuduhan/dakwaan Sdr. JPU, maka dakwaan tersebut sangat
tidak jelas dan harus batal demi hukum.
3. Bahwa dalam Dakwaan oleh Sdr. Penuntut Umum
dikatakan, “…pada hari Minggu, tanggal 16
Oktober 2011 s/d hari Rabu tanggal 19 Oktober 2011…bertempat dilapangan Zakheus
Padang Bulan Abepura Kota Jayapura…, Para Terdakwa Bersama-sama MENCOBA MELAKUKAN, MENYURUH MELAKUKAN ATAU TURUT SERTA MELAKUKAN
MAKAR DENGAN MAKSUD SUPAYA SELURUH ATAU SEBAGIAN WILAYAH NEGARA, JATUH KETANGAN
MUSUH ATAU MEMISAHKAN SEBAGIAN DARI WILAYAH NEGARA yang
dilakukan Para Terdakwa dengan cara melakukan Kongres III Rakyat Papua…”, dalam uraian Sdr. Penuntut Umum terlihat jelas tanggal pelaksanaan Kongres, yakni tanggal 16 Oktober 2011
s/d tanggal 19 Oktober 2011 yang kemudian merupakan waktu aparat melakukan
penangkapan terhadap Para Terdakwa. Pertanyaannya dimana waktu terjadinya
tindak pidana yang sebenarnya ? Jika dakwaan Sdr. Penuntut Umum
telah menunjukkan bahwa rumusan tempus delicti terdapat beberapa waktu yakni;
tanggal 16 Oktober 2011, 17 Oktober 2011, 18 Oktober 2011 dan 19 Oktober 2011 adalah waktu-waktu dimana Para Terdakwa melakukan tindak
pidana sebagaimana didakwakan oleh Sdr.Penuntut Umum, maka seharusnya secara
yuridis rumusan surat dakwaan harus dijunctokan dengan ketentuan pasal 64 KUHP
Tentang Perbuatan Berlanjut, karena rumusan tersebut merupakan perbuatan berlanjut. Oleh karena pasal 64 KUHP
tidak dijunctokan dalam dakwaan, maka dakwaan jaksa sangat tidak cermat, tidak
jelas dan tidak lengkap dan harus dinyatakan batal demi hukum.
4.
Bahwa dalam Dakwaan Sdr.Jaksa Penuntut Umum, Perbuatan “Makar” Para
Terdakwa di Junctokan dengan Pasal 53 ayat (1), adapun bunyi selengkapnya dari
pasal 53 ayat (1), yaitu, “Mencoba melakukan kejahatan di pidana, jika niat
untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak
selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri”, dari ketentuan pasal ini, unsur-unsur perbuatan pidana percobaan
sebagai berikut :
1.Adanya niat/kehendak pelaku;
2.Adanya permulaan pelaksanaan
dari niat/kehendak itu;
3.Pelaksanaan tidak selesai semata-mata
bukan karena kehendaknya dari pelaku.
Penguraian fakta peristiwa tentang percobaan
dalam dakwaan ini tidaklah cermat, jelas dan lengkap dan terkesan Sdr.
Jaksa Penuntut Umum menguraikan fakta peristiwa secara tidak utuh, hal ini dapat
dilihat pada bagian akhir dari dakwaan yang menyatakan, “Bahwa keinginan Para
Terdakwa untuk memisahkan sebagian wilayah NKRI yaitu Wilayah Prov. Papua dan
Prov Papua Barat, merupakan permulaan pembentukan profil Negara Papua Barat
akan diusulkan kepada Sekjen PBB, sebagaimana tertulis dalam dokumen Deklarasi
Bangsa Papua di Negeri Papua No.6, “mengusulkan secara terhormat kepada
Sekretaris Jenderal (SEKJEN) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), karena Para
Terdakwa menyadari bahwa Papua merupakan wilayah yang tidak terpisahkan
dalam NKRI, sebagaimana tertuang dalam Surat dari Tim Kerja Rekonsiliasi
Nasional Rakyat Papua Barat No.33-SPK/TKRNRPB/X/2011, tanggal 07 Oktober 2011,
Perihal Pemberitahuan Kegiatan yang ditujukan kepada Kapolda Papua pada alinea
kedua tertulis, “Kongres III Rakyat Papua (KRP III) adalah bagian dari proses
demokrasi” Bahwa belum diusulkannya keinginan Para Terdakwa kepada Sekjen PBB
untuk memisahkan sebagian wilayah NKRI yaitu Wilayah Prov.Papua dan Prov Papua
Barat, karena Terdakwa ditahan oleh aparat Penegak Hukum “. Uraian Peristiwa sangat membingungkan karena Sdr. JPU hanya
mengutip satu point dari deklarasi yang dibacakan tertanggal 19 Oktober 2011,
kemudian mengutip sebagian lagi alinea dari surat Tim Kerja Rekonsiliasi Nasional Rakyat Papua Barat
No.33-SPK/TKRNRPB/X/2011, tanggal 07 Oktober 2011, selanjutnya menyimpulkan
belum diusulkannya keinginan Para Terdakwa kepada Sekjen PBB untuk memisahkan
sebagian Wilayah NKRI, yaitu Prov.Papua dan Papua Barat, karena Para Terdakwa telah
ditahan Aparat Penegak Hukum, dari uraian inimenunjukan tidak ada korelasi
antara niat/kehendak pelaku, permulaan pelaksanaan dan pelaksanaan tidak
selesai bukan kehendak dari pelaku, lebih membuat kabur lagi
dakwaan ini adalah Penuntut Umum telah menyimpulkan tindakan penahanan (Pro
Justicia) oleh Aparat Kepolisian merupakan sebab pelaksanaan itu tidak selesai,
sebenarnya uraian ini bukanlah maksud dari unsur pasal tersebut, maksud dari
unsur pasal tersebut adalah untuk perbuatan pidana diluar konteks penangkapan/penahanan
oleh Aparat Kepolisian (diluar konteks tindakan projusticia). Dengan demikian
dakwaan Sdr. Jaksa Penuntut Umum tidak jelas Patutlah dinyatakan Batal Demi
Hukum.
V. KESIMPULAN DAN PERMOHONAN
Dari seluruh uraian yang disampaikan di atas dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut ;
1. Prosedur-prosedur dilakukan dengan tidak sesuai aturan-aturan yang
ditetapkan oleh KUHAP, sehingga seluruh proses penyidikan yang dilakukan sampai
dengan terbitnya surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum menjadi tidak sah;
2. Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum tidak cermat, tidak jelas dan
tidak lengkap menguraikan tindak pidana yang didakwakan kepada Para Terdakwa;
Maka berdasarkan
kesimpulan-kesimpulan diatas, Kami Tim Penasehat Hukum Para Terdakwa mohon
kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara ini untuk:
1. Menerima
Eksepsi ini untuk seluruhnya;
2. Menyatakan
Proses Pemeriksaan Pendahuluan terhadap Para Terdakwa adalah Cacat Hukum;
3. Menyatakan
Surat Dakwaan tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap;
4. Menyatakan
Perbuatan Para Terdakwa Bukanlah Tindak Pidana “ Percobaan Turut Serta
Melakukan Makar”, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 KUHP Jo. Pasal 55 ayat
(1) Ke-(1) KUHP Jo.Pasal 53 ayat (1) KUHP;
5. Menyatakan “batal
demi hukum” atau “setidak-tidaknya tidak dapat diterima” Surat
Dakwaan Jaksa Penuntut Umum No. PDM-457/JPR/Ep.1/12/2011
6. Membebaskan
Para Terdakwa dari dalam tahanan dan merehabilitasi nama baik Para Terdakwa;
Demikianlah Eksepsi kami Penasehat Hukum Para
Terdakwa untuk dijadikan pertimbangan
Majelis Hakim dalam memutus perkara ini dengan jujur, adil, bijaksana, dan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jayapura, 08 Februari
2012
KOALISI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PENEGAKAN
HUKUM DAN HAM DI PAPUA
PENASEHAT HUKUM PARA
TERDAKWA
- GUSTAF R.KAWER, S.H,M.Si;
- JOHANIS H.MATURBONGS, S.H;
- ROBERT KORWA,
S.H;
- LATIFAH ANUM SIREGAR,S.H;
- PIETER ELL,
S.H;
- RAHMAN RAMLI,
S.H
- FREDY LATUNUSA,
S.H;
- BETZI PESIWARISA, S.H;
- OLGA H.HAMADI,
S.H,M.Sc;
- JIMMY ELL, S.H;
- YAN CHRISTIAN WARINUSSY, S.H;
- ELLY MURAFER, S.H;
- IVONIA SONYA TETJUARI, S.H;
- SIMON PATTIRAJAWANE, S.H;
- FRIDA T.KELASIN,
S.H;
- MELANIA KIRIHIO,
S.H;
- SINCE KOROMATH,
S.H;
- YUSMAN CONORAS, S.H;
- CORNELIA SILPA,S.H;
- YOHANIS GEWAB, S.H;
- HENDRI OKOKA,
S.H
====================================================