Dialog dengan rakyat Papua harus segera diwujudkan.
VIVAnews - Wakil Ketua II Konferensi Waligereja
Indonesia (KWI) Leo Labalajar mengatakan persoalan Papua tidak akan
tuntas jika kekerasan masih saja terjadi. Kesejahteraan masyarakat dapat
dibangun jika suasana damai terwujud.
"Kami mendorong Pemerintah
Pusat untuk mewujudkan dialog dengan masyarakat Papua. Niat Presiden
SBY untuk menyelesaikan masalah Papua hendaknya diwujudkan," katanya
dalam jumpa pers di kantor KWI, Jalan Cut Meutia, Menteng, Jakarta
Pusat, Kamis 17 November 2011.
Menurut Leo, satu-satunya jalan
yang harus dipakai oleh pemerintah untuk membangun Papua adalah dialog.
Jika kekerasan dilawan dengan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan
baru dan menambah masalah.
Terlebih jika ungkapan pendapat dan pernyataan politik sekelompok
masyarakat Papua yang disampaikan secara terbuka dan damai ditanggapi
dengan gertak senjata, penangkapan, penganiayaan atau pembunuhan.
"Ucapan-ucapan indah seperti 'membangun Papua dengan hati' hendaknya dimulai dengan dialog dari hati. Dengan hati lapang, tanpa stigmatisasi apapun, hendaknya Pemerintah mendengarkan jeritan hati orang-orang Papua dan kisah penderitaan yang dialami sejak integrasi dengan NKRI," ujarnya.
Leo menuturkan pemerintah perlu mempertemukan berbagai komponen masyarakat Papua, seperti, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Majelis Rakyat Papua untuk mengakomodasi keinginan mereka mengenai cara dan materi dialog. Dia juga mewanti-wanti pemerintah untuk tidak mendiskreditkan kelompok-kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Papua.
"Entah OPM atau apapun namanya, baik yang berada di dalam negeri maupun luar negeri, harus mendapat tempat utama dalam dialog," terangnya.
Untuk menjamin terjadinya dialog yang bermartabat, adil dan benar serta saling menghormati, harus ada pihak ketiga yang terpercaya untuk menjadi penengah. Selain itu, Leo menuntut pemerintah untuk meminta maaf, mengganti rugi, memulihkan hak-hak orang Papua dan menegakkan keadilan atas segala pelanggaran HAM yang dialami oleh mereka.
Otsus dan TNI
Leo Labalajar yang juga seorang Uskup di Jayapura menuturkan Undang-undang Otonomi Khusus sampai saat ini belum terlaksana secara efisien. Dengan banyaknya uang yang beredar di Papua, dia mengakui banyak pula oknum-oknum pejabat daerah Papua yang melakukan korupsi.
"Penggunaan uang itu tidak efisien, dihambur-hamburkan oleh pejabat pemerintah. Pendidikan untuk masyarakat juga tidak baik sehingga orang tidak dapat menyerap (dana otsus tersebut) secara produktif," katanya.
Dia menambahkan kehadiran TNI di tanah Papua terlalu banyak. Kondisi itu bukan membuat masyarakat aman atau terlindungi melainkan menimbulkan permusuhan.
"Mereka tidak mempunyai kegiatan yang secara positif mengisi waktunya, banyak yang hanya bermain kartu saja. Kami mendorong pemerintah untuk mengurangi jumlah TNI di Papua," ucapnya. (sj)
"Ucapan-ucapan indah seperti 'membangun Papua dengan hati' hendaknya dimulai dengan dialog dari hati. Dengan hati lapang, tanpa stigmatisasi apapun, hendaknya Pemerintah mendengarkan jeritan hati orang-orang Papua dan kisah penderitaan yang dialami sejak integrasi dengan NKRI," ujarnya.
Leo menuturkan pemerintah perlu mempertemukan berbagai komponen masyarakat Papua, seperti, Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Majelis Rakyat Papua untuk mengakomodasi keinginan mereka mengenai cara dan materi dialog. Dia juga mewanti-wanti pemerintah untuk tidak mendiskreditkan kelompok-kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Papua.
"Entah OPM atau apapun namanya, baik yang berada di dalam negeri maupun luar negeri, harus mendapat tempat utama dalam dialog," terangnya.
Untuk menjamin terjadinya dialog yang bermartabat, adil dan benar serta saling menghormati, harus ada pihak ketiga yang terpercaya untuk menjadi penengah. Selain itu, Leo menuntut pemerintah untuk meminta maaf, mengganti rugi, memulihkan hak-hak orang Papua dan menegakkan keadilan atas segala pelanggaran HAM yang dialami oleh mereka.
Otsus dan TNI
Leo Labalajar yang juga seorang Uskup di Jayapura menuturkan Undang-undang Otonomi Khusus sampai saat ini belum terlaksana secara efisien. Dengan banyaknya uang yang beredar di Papua, dia mengakui banyak pula oknum-oknum pejabat daerah Papua yang melakukan korupsi.
"Penggunaan uang itu tidak efisien, dihambur-hamburkan oleh pejabat pemerintah. Pendidikan untuk masyarakat juga tidak baik sehingga orang tidak dapat menyerap (dana otsus tersebut) secara produktif," katanya.
Dia menambahkan kehadiran TNI di tanah Papua terlalu banyak. Kondisi itu bukan membuat masyarakat aman atau terlindungi melainkan menimbulkan permusuhan.
"Mereka tidak mempunyai kegiatan yang secara positif mengisi waktunya, banyak yang hanya bermain kartu saja. Kami mendorong pemerintah untuk mengurangi jumlah TNI di Papua," ucapnya. (sj)
• VIVAnews
0 SILAKAN BERKOMENTAR :
silakan komentar anda!