Thursday, November 10, 2011

puisi Bintang Kejora Kendera kebangsaan Papua barat

Mypapua     9:55 AM   No comments

BAGI orang Papua, bendera Bintang Kejora punya arti khusus. Kibarannya menjadi simbol panggilan suci pada leluhur untuk membebaskan mereka dari kehidupan fana di dunia yang penuh derita. Kibaran Bintang Kejora adalah rangkaian puisi pengharapan.
“Datanglah kerajaan-Mu. Bebaskanlah kami dari peluru, sangkur, dan bayonet. Suburkanlah kebunku dengan batatas dan keladi. Kembalikan hutan-hutanku agar sagu dan babi tersedia untukku dan kerabatku. Bersihkan sungai-sungaiku agar ikan dan udang kembali melompat ke perahuku”.

Jika pembebasan tidak kunjung datang pada saat bendera sudah dikibarkan, mereka lalu berintrospeksi, adakah sesuatu yang salah dalam proses sehingga ritus tidak berhasil. Maka, pada saat lain mereka akan mencoba mengibarkannya kembali.
Fenomena ritual pengibaran bendera ini, kata antropolog dan teolog, ada hubungannya dengan kargoisme. Suatu gerakan keagamaan yang pelakunya percaya bahwa akan datang zaman baru yang penuh kemakmuran, yang ditandai dengan datangnya pemimpin baru kiriman nenek moyang mereka, dan pengibaran Bintang Kejora itulah ritus untuk memanggil sang pemimpin.
Di Papua, gerakan kargoisme ini–tentu dalam format yang berbeda-beda–telah ada sejak 1860. Pada tahun itu saja, kata John Strelan (1977) tercatat 200 gerakan. Di kalangan orang Papua yang terdiri dari 250 kelompok bahasa, persebaran gerakan kargoisme dapat dikatakan merata dan bertahan hingga hari ini.
Roh gerakan Koreri di Biak, misalnya, masih terasa jelas pada saat pengibaran bendera pada Juli 1998. Selama lima hari orang Papua “berperang” menghadapi TNI dan polisi. Sejumlah orang tewas demi Bintang Kejora. Selama lima hari itu mereka menari dan menyanyi mengelilingi lokasi bendera, seakan-akan sedang membuat ritus penyambutan. Di sana beredar cerita bahwa “ipar mereka”, Sekjen PBB Kofi Annan, akan segera datang untuk mengesahkan kemerdekaan Papua.
Tentu, tidak semua orang Papua menempatkan isu Papua Merdeka dan pengibaran bendera dalam ideologi kargoistis. Bagi elite-elite Papua yang terdidik, setidaknya terdapat tiga cara pandang dalam gerakan pengibaran Bintang Kejora.
Pertama, sebagai strategi untuk meningkatkan posisi tawar pemimpin-pemimpin Papua terhadap pemerintah pusat. Dengan cara ini, soal hak asasi, politik, dan ekonomi Papua mendapatkan prioritas ketimbang sebelumnya.
Kedua, untuk positioning dan rehabilitasi dosa-dosa keterlibatan politik selama Orde Baru. Ketiga, sebagai prakondisi gerakan politik untuk memperoleh kemerdekaan sebagai negara-bangsa baru, sebagaimana terlihat dalam upaya sungguh-sungguh mereka mempersoalkan status Papua sebagai bagian integral dari Republik Indonesia.
Kenyataan kompleks yang merupakan kombinasi produk sejarah, budaya, kegagalan ekonomi dan politik itu kemudian disederhanakan oleh pemerintah baru RI–tidak bedanya dengan Orde Baru–dengan stigma separatisme.
Bendera memang simbol kedaulatan negara, tetapi apakah artinya simbol itu jika tidak ada gerakan politik yang bersifat struktural yang mendukungnya? Tidak ada tentara pelopor yang dilatih untuk mengambil alih kekuasaan.
Tidak ada partai politik pelopor yang mempersiapkan diri untuk menggantikan kepemimpinan formal di Papua. Apakah, misalnya, dengan mengibarkan ratusan ribu bendera di seantero Papua, lantas mereka dengan sendirinya lepas dari Republik Indonesia?
Strategi Gus Dur sebelumnya yang mentolerir pengibaran bendera Papua dan perubahan nama Irianjaya menjadi Papua, dalam ukuran tertentu, sebenarnya telah mampu meredakan ketegangan dan menciptakan prakondisi menuju dialog.
Sayangnya, wacana politik nasional kemudian berkembang memojokkan Gus Dur, dan strateginya tidak diikuti dengan proses lanjutan ke arah dialog dan rekonsiliasi. Gerakan Papua Merdeka kali ini, meskipun warna kultural mistiknya sangat kuat dan belum menunjukkan diri sebagai gerakan politik yang kuat secara kelembagaan, sangat berpotensi untuk berkembang menjadi gerakan politik yang signifikan.
Konsolidasi di tingkat rakyat bawah dan lobi-lobi untuk mendapatkan simpati internasional akan terus berkembang selama pemerintah RI tidak segera memulai dialog dan polisi tetap dengan pola pendekatan yang represif.
Dalam situasi semacam ini, pertentangan wacana politik yang melingkar di sekitar tuduhan separatisme dan fenomena pengibaran bendera tidaklah produktif dan cenderung mengundang kekerasan baru.
Isu politiknya harus segera digeser ke arah kemungkinan dialog. Sebagian besar orang Papua, terutama tradisi masyarakat pegunungan, memiliki kemampuan negosiasi yang tinggi. Tidak perlu terkejut jika pemimpin Papua memulai perundingan dengan tuntutan dan tawaran tertinggi.
Segala hal bagi mereka dapat diselesaikan dengan duduk bersama, merokok bersama dari api yang sama, yang bisa berlangsung selama berminggu-minggu bahkan–kalau perlu–bertahun-tahun untuk sampai pada resolusi yang disepakati bersama. Keputusan-keputusan yang dihasilkan pun adalah kontrak sosial sejati yang dipatuhi bersama.
Kini masa depan Papua bergantung pada kapasitas elite pemerintah pusat untuk segera belajar berunding dengan para pemimpin Papua.
Pelajaran pertama yang perlu dikejar adalah memahami karakter dan bahasa politik yang simbolis dari pemimpin Papua.
Kedua adalah pelajaran mendengarkan dan memahami dengan sabar dan mempersiapkan mental untuk mengelola perundingan selama, barangkali, berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
Ketiga, para perunding pihak pemerintah harus dapat diterima oleh pemimpin Papua dan mendapat otoritas memadai dari pemerintah pusat, dan siap dengan konsep tawar-menawar politik dan ekonomi yang konkret yang dapat dilaksanakan tidak lama setelah perundingan usai.

Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

0 SILAKAN BERKOMENTAR :

silakan komentar anda!

Translate

Followers

NEWS