Dalam orasi mimbar bebas di Depan
asrama mahasiswa Papua dengan melakukan merayakan hari ulang tahun kemerdekaan
bangsa Papua barat, pada tahun 1961-sampai detik ini,
masing-masing elemen/Organisasi
pergerakan yang ada di Yogyakarta
menyampaikan orasi-orasi politik sesuai dengan pandangan mereka. Penjelasan umum di selebaran
mimbar bebas hari ulang tahun
kemerdekaan bangsa Papua barat Perjuangan kemerdekaan bangsa Papua tidak
sekedar karena alasan perbedaan ras Melansia dan Melayu, bukan juga karena
mayoritas orang Papua itu beragama Kristen dan mayoritas orang Indonesia
beragama Islam, tidak juga karena pelanggaran HAM yang kebanyakan dilakukan
oleh orang Indonesia
dan bukan atas dasar ketidakseimbangan dalam kebijakan pembangunan seperti
umumnya diperdebatkan dalam kampanye sejauh ini. Karena pokok-pokok sengketa
yang ada dalam konteks perjuangan ini tidak sekedar masalah pelanggaran HAM,
bukan sesempit persoalan perbedaan ras, tidak juga sekerdil karena orang Papua
meminta sesuap nasi. Karena pokok-pokok sengketa dimaksud bersumber pada
tingkah laku dan perbuatan badan dan negara yang mengkleim diri sebagai juara
demokrasi, juara penegakan supremasi hukum dan juara dalam pemajuan demokrasi.
Dengan
kata lain, perjuangan bangsa Papua secara langsung menyentuh prinsip dasar
Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai satu-satunya lembaga dunia yang dikleim
sebagai wadah untuk mempromosikan demokrasi, HAM dan supremasi hukum; sekaligus
menantang Belanda sebagai juara dalam penegakkan hukum, Amerika Serikat sebagai
juara dalam penegakkan demokrasi, dan Indonesia sebagai negara yang mengaku
diri sebagai negara hukum.
Prinsip-prinsip ini telah
mengatur terang benerang secara menyeluruh seantero penghuni bumi, namun pada
proses penyelenggaraannya telah menciderai nilai-nilai kemanusiaan dan hubungan
keharmonisan yang selama ini ada. Kita semua dapat melihat perkembanan
akhir-akhir ini di West Papua, para pejabat pengambil kebijakan di negeri ini dengan
enaknya menyatakan pendapat bahwa di West Papua selama ini tidak terjadi
Pelanggaran yang mengarah ke pelanggaran Hak Asasi Manusia. Namun secara kasat
mata dapat dilihat bahwa pernyataan pemerintah selama ini hanyalah melindungi
para pelaku pelanggar HAM di West Papua. Oleh sebab itu, kami menyatakan sikap
dengan tegas kepada pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan West Papua
Merdeka:
1. Pemerintah
Indonesia dan sekutunya segera mengakui atas Kemerdekaan West Papua pada
tanggal 1 Desember 1961;
2. Menolak
dengan tegas Produk Hukum Internasional (New
York Agreement dan Rome Agreement)
karena cacat secara Hukum dan Moral bagi rakyat West Papua;
3. PBB
segera bertanggung jawab dan mengembalikan atas penyerahan wilayah West Papua
ke dalam NKRI secara sepihak;
4. Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang melahirkan Resolusi Sidang Umum PBB No. 2504 (XXIV)
tentang pengesahan hasil Pepera merupakan penghianatan besar bagi rakyat West
Papua maka segera cabut karena tidak Demokratis dan Aspiratif;
5. Menolak
tegas dengan isu-isu (Otonomi Khusus, UP4B, Dialog Nasional, Perundingan Damai)
murahan yang ditawarkan oleh pemerintah kolonialisme indonesia melalui kaki
tangannya di West Papua;
6. Segera
tarik militer organik dan non organik dan hentikan kekerasan terhadap rakyat
West Papua;
7. Segerah
lakukan REFERENDUM bagi Rakyat West Papua.
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan yakni mimbar bebas selama 9:30 sampai 11"30 kemudian dilanjutkan dengan kegiatan lain seperti Pembacaan Puisi, Moob, penyanyi Lagu-lagu Papua, Yospan, Waita, Basee. sampai jam 1:30 makan siang bersama sambil seribu tanga-tangan mendukung papua merdeka, sesudah itu istirahat sampai jam 5, kamudian masuk kegiatan berikutnya yaitu Ibadah bersama-sama untuk memperingati Hari Ulang Tahun Bangsa Papua Barat dan sekaligus Ibadah Gerbang Natal dan Tahun Baru 2012 Aliansi Mahasiswa Papua Komite Yogyakarta. kegiatan berikutnya mengisih dengan Nonton Filem bersama di Aula asrama Papua sampai Jam 0.900 malam di tutup dengan doa.
Press Release
Menggugat keabsahan
negara-negara yang selama ini melakukan penjajahan di West Papua dalam waktu 50
Tahun
Perjuangan
kemerdekaan bangsa Papua tidak sekedar karena alasan perbedaan ras Melansia dan
Melayu, bukan juga karena mayoritas orang Papua itu beragama Kristen dan
mayoritas orang Indonesia beragama Islam, tidak juga karena pelanggaran HAM
yang kebanyakan dilakukan oleh orang Indonesia dan bukan atas dasar ketidakseimbangan dalam
kebijakan pembangunan seperti umumnya diperdebatkan dalam kampanye sejauh ini.
Karena pokok-pokok sengketa yang ada dalam konteks perjuangan ini tidak sekedar
masalah pelanggaran HAM, bukan sesempit persoalan perbedaan ras, tidak juga
sekerdil karena orang Papua meminta sesuap nasi. Karena pokok-pokok sengketa
dimaksud bersumber pada tingkah laku dan perbuatan badan dan negara yang
mengkleim diri sebagai juara demokrasi, juara penegakan supremasi hukum dan
juara dalam pemajuan demokrasi.
Dengan
kata lain, perjuangan bangsa Papua secara langsung menyentuh prinsip dasar
Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai satu-satunya lembaga dunia yang dikleim
sebagai wadah untuk mempromosikan demokrasi, HAM dan supremasi hukum; sekaligus
menantang Belanda sebagai juara dalam penegakkan hukum, Amerika Serikat sebagai
juara dalam penegakkan demokrasi, dan Indonesia sebagai negara yang mengaku
diri sebagai negara hukum.
1.
Fakta Kongres Papua I 1961 (1 Desember 1961)[1]
Persoalannya mulai nampak sejak 1 Desember
1961, dalam Kongres Nasional West Papua
I, 1961, peristiwa bersejarah dalam sejarah Papua sebagai sebuah bangsa, dan
sebagai sebuah entitas negara yang terlepas dan berbeda dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dimana telah terjadi peristiwa penting yang
memperkenalkan, mengumumkan dan mensahkan:
Pertama, West Papua sebagai nama negara,
Kedua, Papua sebagai nama bangsa
Ketiga, Bintang Kejora sebagai nama Bendera negara (bukan bendera kebudayaan)
Keempat, Burung Mambruk sebgai lambang negara (bukan lambang kebudayaan)
Dengan batas negara wilayah laut, darat dan udara, (bukan sebagai sebuah provinsi
NKRI)
Kelima, lagu Hai Tanahku Papua, sebagai Lagu
Kebangsaan (bukan
lagu kebudayaan)
sah sebagai sebuah negara, (atas nama demokrasi, HAM, dan
hukum universal)
dan diakui oleh Belanda (yaitu pemerintah yang sudah
merdeka dan yang kebetulan ada di West Papua waktu itu)
Sejarahnya seperti
ini:
… the Dutch Government in 1957 began a
cooperation with Australia for the DEOLONISATION of their respective colonies,
namely The Territory of Papua & New Guinea (Australia) and The Netherlands
New Guinea (Dutch).[2]
[Artinya: Pemerintah
Belanda pada 1957 mulai bekerjasama dengan Australia untuk men-dekolonisasi
wilayah koloni mereka masing-masing, namanya Wilayah Papua dan New Guinea
(Australia) dan Nederland Nieu Guinea (Belanda)]
2.
Pengakuan Sukarno dalam Butir
Trikora (19 Desember 1961)
Secara
terbuka di Alun-Alun Utara kota Yogyakarta, tanggal 19 Desember 1961, setelah
Indonesia mendengar bahwa West Papua sudah dalam persiapan mengumumkan
kemerdekaannya tanggal 1 Juli 1970, Soekarno yang ekspansionis-kolonialis itu
mengumumkan apa yang disebutnya Trikora (yaitu Tiga Komando Rakyat).
Tiga buah komando itu berbunyi:
o
Bubarkan
Negara Boneka Papua buatan Belanda
o
Kibarkan
Bendera Merah Putih di seluruh Irian Barat, dan
Tiga
butir Trikora berkata begini:
Pertama:
Negara Papua sudah ada, tetapi Indonesia harus membubarkannya, karena
Indonesia menganggapnya sebagai negara boneka.
Dan,
kedua: pembubaran itu dilakukan dengan sebuah invasi militer alias
dengan paksa.
Jadi,
Soekarno dengan jelas mengakui sudah ada negara saat maklumat Trikora tanggal
19 Desember 1961 itu. Ia dengan jelas mengatakan bahwa ada negara yang hendak
diinvasi NKRI secara militer, dengan perintah pengibaran bendera NKRI dan
persiapan perang semesta dan negara itu bernama Papua.
Artinya
West Papua sudah diakui sebagai negara secara de jure. Bangsa
Papua sudah mengakui, Belanda sudah mengakui dan Soekarno sebagai presiden RI
juga sudah mengakui fakta hukum itu.
Lalu mengapa Soekarno memakai istilah negara
"Boneka" Papua?
Jawabannya
jelas klasik. Pertama, karena Soekarno sebagai pejuang kemerdekaan NKRI
punya "dendam" dan kebencian politik terhadap Belanda dan apa saja
yang Belanda perbuat karena dipandangnya sebaga kekuatan imperialisme dan
kolonialisme. Itu pandangan secara obyektif. Kedua, secara subyektif,
Sukarno juga melihat Belanda yang tidak mau mempersiapkan kemerdekaan Indonesia
itu sedang mempersiapkan dan mengakui persiapan kemerdekaan negara lain (West
Papua).
Mengapa wilayah jajahan Belanda yang bernama
Indonesia harus mengorbankan jutaan nyawa dengan dana dan tenaga yang tidak
sedikit, dalam tempo waktu 350 tahun, sedangkan West Papua hanya mau dikasih
seenaknya saja tanpa pengorbanan apa-apa?
Jadi,
apa saja yang dibuat Belanda dipandang secara negatif, termasuk negara
Papua Barat disebutnya sebagai
"Negara Boneka".
Entah boneka atau benaran tidaklah mengapa,
karena nama itu diberikan Sukarno, bukan oleh Belanda ataupun orang Papua
sendiri. "Intinya adalah Soekarno sudah mengakui ada negara yang bernama
Papua (Barat)".
3.
The New York Agreement (15
Augustus 1962)[4]
Setelah
perdebatan yang alot antara elit politik NKRI, terutama antara pihak
nasionalis-ekspansionis pimpinan Soekarno dengan pihak realis-humanis di bawah
pimpinan Moh. Hatta, akhirnya Bung Hatta mengundurkan diri karena politik
Soekarno berbau kolonialis, tidak sama dengan cita-cita kemerdekaan NKRI.
Walaupun
Moh. Hatta memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan awal menyangkut West
Papua, Moh. Hatta mengundurkan diri karena politik Sukarno tidak sehat. Setelah
itu, Soekarno melanjutkan perundingan-perundingan dengan Belanda menyangkut
status West Papua karena Indonesia mengkleim bahwa West Papua adalah bagian
integral Indonesia.
Ini
salah satu bukti sikap Moh. Hatta itu:
In 1949, the Round Table Conference was held in
The Hague, the Netherlands. In that conference the Dutch were determined not to
cede sovereignty over West Papua. The Indonesian Nationalists simply claimed
West Papua as PART OF INDONESIA, based on the Dutch Colonial Map. The claim was
strictly opposed by the leader of the Indonesian delegation, Dr. Mohammad Hatta
(then the Vice President of the Republic of Indonesia and the Delegation
Leader). Such opposition later cooled off his relation with Soekarno.[5]
[Artinya:
Tahun 1949, diselenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Dalam
konferensi ini Belanda bersikeras tidak melepaskan West Papua. Nasionalis
Indonesia mengkleim West Papua sebagai bagian dari Indonesia, berdasarkan peta
Kolonial Belanda. Kleim Indonesia ini ditolak tegas oleh Ketua Delegasi
Indonesia Dr. Moh. Hatta (kemudian Wapres NKRI pertama dan Pemimpin Delegasi).
Sikap oposisinya seperti inilah yang mendinginkan hubungan dekatnya dengan
Sukarno.]
Selanjutnya
Hatta menyatakan:
"PERSOONLIJK WENS IK TE VERKLAREN DAT WEST
IRIAN MIJ NIETS KAN SCHELEN. IK ERKEN DAT OOK HET PAPOEA-VOLK HET RECHT HEEFT
EEN VRIJE NATIE TE WORDEN"
[Artinya:
Secara pribadi, saya mau menyatakan bahwa saya tidak punya urusan apa-apa
dengan Irian Barat. Saya menyadari bahwa orang Papua sebagai sebuah bangsa
mempunyai hak untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka.]
4.
The "Secret" Memmorandum of Rome (30 September 1962) dan
The Rome Joint Statement (20 – 21 Mei 1969)
a)
The ‘Secret’ Memorandum of Rome[6]
Possibility to delay or to cancel The Act of
Free Choice set for 1969 by the New York Agreement.
(Artinya :
Kemungkinan menunda atau membatalkan Pepera 1969 sesuai Perjanjian New York)
Indonesia to occupy West Papua for 25 (twenty
five years only, commencing May 01, 1963)
[Artinya :
Indonesia akan menduduki West Papua selaam 25 tahun (duapuluh lima tahun saja,
mulai dari 1 Mei, 1963]
The execution of the 1969 Act of Free Choice
would be carried out based on the Indonesian parliamentary 'musyawarah'
(deliberation) practices.
[Artinya :
Pelaksanaan 1969 Penentuan Pendapat akan dijalankan berdasarkan cara Indonesia
‘musyawarah’.]
U.N.'s final report on the implementation of
The Act of Free Choice to the UN General Assembly had to be accepted without
open debate.
[Artinya :
Laporan akhir PBB atas implementasi Pepera kepada SU PBB harus diterima tanpa
perdebatan terbuka]
The USA to make investment through Indonesia
state-owned companies for the exploitation of Natural Resources in West Papua.
[Artinya :
AS membuat investasi melalui BUMN Indonesia untuk eksploitasi sumberdaya alam
di West Papua]
USA guaranteed Asian Development Bank US$ 30
Million to UNDP for the development of West Papua for 25 years.
[Artinya :
AS menjamin lewat Bank Pembangunan Asia dana sebesar US$20 Juta kepada UNDP
untuk pembangunan di West Papua selama 25 tahun].
USA to guarantee the World Bank plan and
implement Transmigration of Indonesians to West Papua.
[Artinya :
AS menjamin rencana Bank Dunia dan menerapkan Transmigrasi orang Indonesia ke
West Papua].
Rancangan
ini kemudian menjadi sebuah Pernyataan Bersama, dengan nama The Rome Joint
Statement. Menarik untuk dilihat bahwa apa yang dirancang itu akhirnya
dimaklumkan kepada dunia dan dengan demikian secara hakiki merobah
prinsip-prinsip fundamental dari The New York Agreement.
b)
The Rome Joint Statement[8]
Cerita
pelanggaran hak sebuah bangsa dan negara tidak hanya sampai di New York, tetapi
berlanjut ke Eropa dengan nama The "Secret" Memmorandum of Rome
(atau NKRI dokumen itu berjudul The Rome Joint Statement), yang
kembali dirancang oleh AS lewat E. Bunker, dibicarakan antara NKRI, Belanda dan
AS. Sekali lagi, dari permulaan sampai akhir (penandatanganan) memorandum
rahasia ini TIDAK MELIBATKAN, tidak dikonsultasikan dan tidak dilakukan
bersama, di hadapan seorang Papua atau wakil orang Papua-pun.
Yang
mengherankan, isi The Rome Joint Statement (Pernyataan Bersama) ini
secara mendasar dan secara sepihak merubah hal yang sangat prinsipil dalam New
York Agreement, yaitu tatacara pelaksanaan Pepera.
Dalam
Pasal 22 The New York Agreement tentang Hak-Hak Penduduk Setempat
dinyatakan:
1. The UNTEA and Indonesia will guarantee fully
the rights, including the rights of free speech, freedom of movement and of
assembly, of the inhabitants of the area. …
[Artinya:
UNTEA dan Indonesia akan menjamin sepenuhnya hak-hak, termasuk hak untuk
kebebasan berbicara, kebebasan bergerak dan berkumpul dari penduduk wilayah
setempat.]
Menyangkut
hal ini, dalam Disertasi Doktoralnya, seorang akademisi Inggris, Dr. John
Saltford mengatakan:
A brief examination of the official November
1969 report is all that is needed to conclude that the Agreement was not
fulfilled. Under its terms, the Netherlands, Indonesia and the UN had an obligation
to protect the political rights and freedoms of the Papuans, and to ensure that
an act of self-determination took place, in accordance with international
practice. On both these points, the three parties failed, and they did so
deliberately since genuine Papuan self-determination was never seen as an
option by any of them once the Agreement was signed.[9]
[Artinya:
Hanya kajian singkat terhadap laporan pejabat PBB tahun 1969 sudahlah cukup
untuk tiba pada kesimpulan bahwa Agreement itu tidak dipenuhi.
Atas persyaratan yang ditandatanganinya sendiri, pihak Belanda, Indonesia dan
PBB bertugas untuk melindungi hak politik dan bebebasan orang Papua, dan untuk
memastikan bahwa hak penentuan nasib sendiri berjalan, sesuai dengan praktek
internasional. Dalam kedua pokok ini, ketiga belah pihak telah gagal, dan
mereka gagal dengan sengaja karena mereka tak pernah beranggapan bahwa
penentuan pendapat yang sesungguhnya adalah sebuah pilihan setelah mereka
membubuhkan tandatangan pada Agreement itu.]
5.
Penyerahan West Papua dari UNTEA
kepada NKRI (1 Mei 1963)
Salah
satu hasil The Joint Rome Agreement itu adalah penyerahan wilayah West
Papua dari Belanda kepada NKRI lewat UNTEA, dan dilaksanakan secepat-cepatnya.
Peristiwa itu terjadi 1 Mei 1963.[10]
Peristiwa
ini terjadi lima tahun lebih dulu daripada PEPERA 1969[11] yang akan menentukan keputusan
orang Papua apakah mau bergabung dengan NKRI atau mau berdiri sendiri sesuai
dengan deklarasi 1 Desember 1961.
Dalam
Perjanjian New York dijelaskan dua tahapan pengalihan kekuasaan, seperti
dilihat dalam Terjemahan Paper Indonesia di Pasal sebelumnya, yaitu bahwa
tahapan pertama dimulai
"dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963.
Dalam tahap ini, pegawai Belanda digantikan oleh non-Belanda dan non-Indonesia.
Pada tahap kedua, Administrasi UNTEA diimplementasikan dengan mempertimbangkan
perkembangan lokal dan waktu pemberlakuan tahap kedua ini tidak dibatasi. PBB
menemukan waktu yang tepat, UNTEA akan menjalankan transfer tanggungjawab
administrasi kepada Indonesia.
Padahal kalau kita
lihat, tanggal 1 Mei 1963 adalah waktu berakhirnya Tahap Pertama tadi. Tetapi
sebelum Tahap Kedua dijalankan, wilayah itu sudah diserahkan kepada NKRI.
Apakah mereka tidak mengerti redaksi The New York
Agreement?
Apakah mereka salah menghitung waktu?
Ataukah memang ada manuver-manuver politik NKRI
yang dikenal kotor itu?
Ini pokok persoalan utama kelima, yang
sampai detik ini masih diingat, masih dituntut dan masih disengketakan orang
Papua. Karena itu pemaksaan Otsus sebagai pengganti aspirasi "M"
dengan jelas-jelas tidak ada korelasi dan tidak ada relevansinya dengan skandal
perjanjian rahasia, di luar koridor hukum yang diadakan antara Belanda dan
Indonesia.
6.
KEENAM: Pepera (14 Juli – 2 August
1969)
Inilah
jangka waktu pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di West Papua.
Sengketa
pertama di sini adalah bahwa Pepera 1969 itu dilaksanakan atas dasar The New
York Agreement yang di dalamnya tidak ada konsultasi dalam bentuk apapun
dengan orang Papua atau wakil bangsa Papua. Ditambah lagi, pelaksanaan Pepera
itu sendiri tidak sesuai dengan seluruh bunyi dan pasal dalam perjanjian yang
mereka sendiri tandatangani itu. Contoh yang paling menonjol adalah prinsip
satu orang satu suara (one-man one-vote) seperti tertera dalam The
New York Agreement (15 Agustus1962), kemudian dirubah menjadi musyawarah
(dalam diskusi awal 1962) dan dalam penandatanganan The Rome Joint
Statement (20-21 Mei 1969).
Kemudian
orang yang dilibatkan dalam Pepera (termasuk Alm. Dortheys H. Eluay sebagai
orang kunci Dewan Musyawarah Pepera - DMP) bukanlah Wakil Rakyat Papua yang
sudah dipilih secara demokratis, yaitu anggota Nieuw Guinea Raad. NKRI
membentuk Dewan sendiri yang bernama DMP (Dewan Musyawarah Pepera) dan menunjuk
hanya 1,025 orang untuk secara paksa setuju untuk bergabung dengan NKRI.
Inilah
kleim NKRI dalam papernya menyankut Pepera:
The New York Agreement did not specifically stated the procedure and
method of the implementation of the act of free choice. Therefore, the
appropriate means that was suitable to the level of social, economic, and
cultural development and the geography of West Irian needed to be established.
This was due to the fact that the New York Agreement did not require the
implementation "one man, one vote" system on the act of self
determination. There was no engineering involved and no cause for suspicion,
for the reason that according to international law, there was no obligation
that an act of self determination had to apply a "one man, one vote"
system.
[Artinya: Perjanjian New York tidak
secara spesifik menyebutkan prosedur dan metode implementasi penentuan pendapat
rakyat. Oleh karena itu, cara yang tepat yang cocok mengingat tingkat
perkembangan sosial, ekonomi dan budaya dan geografi Irian Barat perlu
ditetapkan. Hal ini karena buktinya Perjanjian New York tidak membutuhkan
implementasi sistem "one-man, one-vote" dalam Pepera ini. Tidaka ada
rekayasa yang dilibatkan dan tidak ada alasan untuk curiga, atas alasan bahwa
sesuai dengan aturan internasional, tidak ada keharusan bahwa Pepera harus
dijalankan dengan sistem "one man, one vote]
Maka
dengan kleim itu, NKRI menganggap Pepera adalah solusi final buat status
politik West Papua.
Kita
perlu tanya dua hal sekarang:
Dapatkah sebuah penentuan pendapat rakyat yang
seratus persen berpihak kepada satu
pihak itu disebut sebuah proses demokratis?
Dapatkah Suharto menjalankan sebuah proses Pepera
yang demokratis? Kalau orang Indonesia sekarang menganggapnya diktator, mengapa
mereka tidak bisa mengerti bahwa Pepera 1969 juga penuh dengan kekerasan
militer?
7.
Resolusi SU PBB No. 2504 (XXIV)
(19 November 1969)
Pepera
1969 menjadi dasar bagi NKRI untuk mengkleim keputusan bangsa Papua dan negara
West Papua ke dalam NKRI, dan Resolusi SU No. 2504 (XXIV) tanggal 19 November 1969 sebagai
alasan hukum untuk menduduki, mengeksploitasi, membunuh, memperkosa, menyiksa,
menangkap, menghukum dan apa saja atas bangsa dan Tanah Papua.
Proses yang penuh dengan rekayasa dan sarat dengan
skandal itu membuahkan skandal selanjutnya, yaitu secara sepihak SU PBB tidak
membahas, tidak menanyakan kepada wakil bangsa Papua ataupun kepada bangsa lain
dan menerima hasil Pepera 1969 di West Papua. Malahan amandemen 15 negara
Afrika yang dipimpin Ghana atas resolusi ini ditolak mentah-mentah.
MAKA JELASLAH DISINI, bahwa: Selain
Perjanjian New York, The Rome Joint Statement (Memorandum of Rome),
penyerahan West Papua ke tangan NKRI, Trikora yang penuh dengan skandal,
resolusi 2504 (XXIV) itupun secara de jure tidak pernah menghapus
status West Papua sebagai wilayah dekolonisasi dan mengakuinya sebagai bagian
dari NKRI. Walaupun secara de facto NKRI ada sampai hari ini, secara de jure sama
sekali tidak sah. Karena itu Indonesia
sedang menjajah bangsa dan negara yang masih dalam status dekolonisasi.
Itulah
sebabnya, orang Papua melihat kasus dan konflik NKRI-West Papua:
o
bukan
konflik antara menerima Otsus atau menolak,
o
bukan
masalah menerima “M” berarti “O” ditolak dan menerima “O” berarti “M” batal.
o
bukan
berarti mereka yang menerima “O” pro-integrasi, yaitu musuh orang Papua dan
yang menolak musuh NKRI
Sama
sekali tidak. Ini pertentangan yang dangkal, politik yang sempit, dan mandul.
Tetapi inilah dasar yang NKRI gunakan untuk menjajah dan mengatur West Papua
serta memaksakan Otsus dengan intimidasi, teror dan pembantaian.
Jelaslah
bahwa kasus pelanggaran HAM berupa pemerkosaan, penyiksaan, ketidak-adilan,
keterbelakangan, kekerasan militer era orde baru BUKAN POKOK SENGKETANYA.
Pokoknya jauh lebih parah dan lebih hakiki.
Jadi, pokok persoalannya adalah kasus
pelanggaran HAM, pelanggaran prinsip demokrasi dan hukum internasional yang
lebih parah, terarah di dunia, yaitu tragedi pembunuhan hak kebangsaan dan hak
bernegara bangsa Papua dan negara West Papua.
Jadi
apa yang mendasari atau menjadi patokan paksaan Otsus di West Papua adalah limbah
politik kotor tahun 1960-an dan politik kotor 2000-2001 sebagai hasil
konspirasi internasional yang sarat dengan skandal moral kemanusiaan, demokrasi
dan hukum.
Oleh sebab
itu, kami menyatakan sikap dengan tegas kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
persoalan West Papua Merdeka:
1. Pemerintah
Indonesia dan sekutunya segera mengakui atas Kemerdekaan West Papua pada
tanggal 1 Desember 1961;
2. Menolak
dengan tegas Produk Hukum Internasional (New
York Agreement dan Rome Agreement)
karena cacat secara Hukum dan Moral bagi rakyat West Papua;
3. PBB
segera bertanggung jawab dan mengembalikan atas penyerahan wilayah West Papua
ke dalam NKRI secara sepihak;
4. Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang melahirkan Resolusi Sidang Umum PBB No. 2504 (XXIV)
tentang pengesahan hasil Pepera merupakan penghianatan besar bagi rakyat West
Papua maka segera cabut karena tidak Demokratis dan Aspiratif;
5. Menolak
tegas dengan isu-isu (Otonomi Khusus, UP4B, Dialog Nasional, Perundingan Damai)
murahan yang ditawarkan oleh pemerintah kolonialisme indonesia melalui kaki
tangannya di West Papua;
6. Segera
tarik militer organik dan non organik dan hentikan kekerasan terhadap rakyat
West Papua;
7. Segerah
lakukan REFERENDUM bagi Rakyat West Papua.
Atas nama Rakyat West Papua
Pernyataan Sikap ini dapat kami sampaikan, akhirnya Panitia mengucapkan terima
kasih.
Yogyakarta, 01
Desember 2011
Hormat Kami,
Panitia Penyelenggara Kegiatan
Lanny Inoguma
[1] Baca sejarah singkat di: http://www.westpapua.net/about/wp/history.htm
[2] West Papua: from COLONISATION to RECOLONISATION, op.cit.
[http://www.westpapua.net/docs/books/book1/part03.htm]
[3] Dinas Sejarah Militer TNI-AD: 'Cuplikan Sejarah Perjuangan
TNI-AD, 1972:462.
[4] Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the
Netherlands Concerning West New Guinea (West Irian) (Signed at the
Headquarters of the United Nations, New York, on 15 August 1962)Isi New York
Agreement ada di [ Versi revisi setelah Rome Joint Statement:
http://www.westpapua.net/docs/nya.htm dan Versi aslinya sebelum revisi
di Roma: [http://www.westpapua.net/docs\books/book1/part09.htm]
[5] West Papua: from Colonisation to Decolonisation, op.cit.
[6] The Rome Agreement between the Republic of Indonesia and the
Kingdom of the Netherlands on West Irian, 30 September 1962,
[http://www.westpapua.net/docs/books/book1/part03.htm]
[7] West Papua: from Colonisation to Decolonisation, op.cit.
[http://www.westpapua.net/docs/books/book1/parto03.htm]
[8] The Rome Joint Statement, Text of the Joint Statement Following
the Discussions Held Between the Netherlands Minister of Foreign Affairs Mr.
Luns and the Netherlands Minister for Development Cooperation Mr. Udink with
the Indonesian Minister for Foreign Affairs Mr. Malik in Rome on 20th and 21st
May, 1969. [http://www.westpapua.net/docs/rome-agreement.htm]
[9] UNITED NATIONS INVOLVEMENT WITH THE ACT OF SELF- DETERMINATION IN WEST
IRIAN (INDONESIAN WEST NEW GUINEA) 1968 TO 1969, By John SaItford: 19. [http://www.westpapua.net/docs/books/book0/un_wp.doc]
[10] Ini patokan tanggal Megawati untuk mengumumkan pembunuh Theys H.
Eluay, tetapi beliau ingkar janji. Janji Mega 1 Mei 2002 itu mengingatkan kita
pada 39 tahun silam, yaitu tanpa sebuah proses demokratis, tanpa masa persiapan
yang memadai, tanpa konsultasi dengan orang Papua ataupun perwakilannya, dengan
resmi PBB menyerahkan West Papua ke tangan NKRI.
[11] Walaupun Pepera sarat dengan pelanggaran HAM, yang kami maksud adalah
peristiwa seperti itu belum terjadi, tetapi West Papua sudah jatuh ke tangan
NKRI karena hasil memorandum rahasia Roma itu.
0 SILAKAN BERKOMENTAR :
silakan komentar anda!