Wednesday, November 30, 2011

Masyarakat Pelajar dan Mahasiswa Papua di Yogyakarta merayakan HUT Bangsa Papua Barat Yang ke-50 Tahun

Mypapua     11:27 PM   No comments

 Yogyakarta  Asrama Mahasiswa Papua “kamasan I” hari kamis 1/12,  tergabung dalam Aliansi Mahasiwa Papua Yogyakarta (AMP)-DIY  Masyarakat pelajar dan Mahasiswa Papua Jogya  bersama-sama merayakan hari ulang tahun kemerdekaan bangsa Papua barat yang ke 50 tahun, berada dalam cenkraman Penjajahan Kolonial NKRI. dengan Thema" REFERENDUM" - " BIRIHDAY FOR WEST PAPUA TO 50 YEARS 1 DESEMBER 1969-1 DESEMBER 2011" Terdiri dari ratusan Masyarakat pelajar dan Mahasiswa Papua yang berdomisili jogyakarta.. perkiran mencapai kurang lebih 300an orang. HUT West Papua dibuka dengan doa Oleh Pdt. Lewis K. T.H. M.

Dalam orasi mimbar bebas di Depan asrama mahasiswa Papua dengan melakukan merayakan hari ulang tahun kemerdekaan bangsa Papua barat,  pada tahun 1961-sampai detik ini, masing-masing  elemen/Organisasi pergerakan yang ada di Yogyakarta  menyampaikan orasi-orasi politik sesuai dengan pandangan mereka. Penjelasan umum di selebaran mimbar bebas  hari ulang tahun kemerdekaan bangsa Papua barat  Perjuangan kemerdekaan bangsa Papua tidak sekedar karena alasan perbedaan ras Melansia dan Melayu, bukan juga karena mayoritas orang Papua itu beragama Kristen dan mayoritas orang Indonesia beragama Islam, tidak juga karena pelanggaran HAM yang kebanyakan dilakukan oleh orang Indonesia dan bukan atas dasar ketidakseimbangan dalam kebijakan pembangunan seperti umumnya diperdebatkan dalam kampanye sejauh ini. Karena pokok-pokok sengketa yang ada dalam konteks perjuangan ini tidak sekedar masalah pelanggaran HAM, bukan sesempit persoalan perbedaan ras, tidak juga sekerdil karena orang Papua meminta sesuap nasi. Karena pokok-pokok sengketa dimaksud bersumber pada tingkah laku dan perbuatan badan dan negara yang mengkleim diri sebagai juara demokrasi, juara penegakan supremasi hukum dan juara dalam pemajuan demokrasi.
Dengan kata lain, perjuangan bangsa Papua secara langsung menyentuh prinsip dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai satu-satunya lembaga dunia yang dikleim sebagai wadah untuk mempromosikan demokrasi, HAM dan supremasi hukum; sekaligus menantang Belanda sebagai juara dalam penegakkan hukum, Amerika Serikat sebagai juara dalam penegakkan demokrasi, dan Indonesia sebagai negara yang mengaku diri  sebagai negara hukum.
Prinsip-prinsip ini telah mengatur terang benerang secara menyeluruh seantero penghuni bumi, namun pada proses penyelenggaraannya telah menciderai nilai-nilai kemanusiaan dan hubungan keharmonisan yang selama ini ada. Kita semua dapat melihat perkembanan akhir-akhir ini di West Papua, para pejabat pengambil kebijakan di negeri ini dengan enaknya menyatakan pendapat bahwa di West Papua selama ini tidak terjadi Pelanggaran yang mengarah ke pelanggaran Hak Asasi Manusia. Namun secara kasat mata dapat dilihat bahwa pernyataan pemerintah selama ini hanyalah melindungi para pelaku pelanggar HAM di West Papua. Oleh sebab itu, kami menyatakan sikap dengan tegas kepada pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan West Papua Merdeka:
1.      Pemerintah Indonesia dan sekutunya segera mengakui atas Kemerdekaan West Papua pada tanggal 1 Desember 1961;
2.      Menolak dengan tegas Produk Hukum Internasional (New York Agreement dan Rome Agreement) karena cacat secara Hukum dan Moral bagi rakyat West Papua;
3.      PBB segera bertanggung jawab dan mengembalikan atas penyerahan wilayah West Papua ke dalam NKRI secara sepihak;
4.      Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang melahirkan Resolusi Sidang Umum PBB No. 2504 (XXIV) tentang pengesahan hasil Pepera merupakan penghianatan besar bagi rakyat West Papua maka segera cabut karena tidak Demokratis dan Aspiratif;
5.      Menolak tegas dengan isu-isu (Otonomi Khusus, UP4B, Dialog Nasional, Perundingan Damai) murahan yang ditawarkan oleh pemerintah kolonialisme indonesia melalui kaki tangannya di West Papua;
6.      Segera tarik militer organik dan non organik dan hentikan kekerasan terhadap rakyat West Papua; 
7.      Segerah lakukan REFERENDUM bagi Rakyat West Papua.   
Adapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan yakni mimbar bebas selama 9:30 sampai 11"30 kemudian dilanjutkan dengan kegiatan lain seperti Pembacaan Puisi, Moob, penyanyi Lagu-lagu Papua, Yospan, Waita, Basee. sampai jam 1:30 makan siang bersama sambil seribu tanga-tangan mendukung papua merdeka, sesudah itu istirahat sampai jam 5, kamudian masuk kegiatan berikutnya yaitu Ibadah bersama-sama untuk memperingati Hari Ulang Tahun Bangsa Papua Barat dan sekaligus Ibadah Gerbang Natal dan Tahun Baru 2012 Aliansi Mahasiswa Papua Komite Yogyakarta. kegiatan berikutnya mengisih dengan Nonton Filem bersama di Aula asrama Papua sampai Jam 0.900 malam di tutup dengan doa.
Press Release
Menggugat keabsahan negara-negara yang selama ini melakukan penjajahan di West Papua dalam waktu 50 Tahun
Perjuangan kemerdekaan bangsa Papua tidak sekedar karena alasan perbedaan ras Melansia dan Melayu, bukan juga karena mayoritas orang Papua itu beragama Kristen dan mayoritas orang Indonesia beragama Islam, tidak juga karena pelanggaran HAM yang kebanyakan dilakukan oleh orang Indonesia dan bukan atas dasar ketidakseimbangan dalam kebijakan pembangunan seperti umumnya diperdebatkan dalam kampanye sejauh ini. Karena pokok-pokok sengketa yang ada dalam konteks perjuangan ini tidak sekedar masalah pelanggaran HAM, bukan sesempit persoalan perbedaan ras, tidak juga sekerdil karena orang Papua meminta sesuap nasi. Karena pokok-pokok sengketa dimaksud bersumber pada tingkah laku dan perbuatan badan dan negara yang mengkleim diri sebagai juara demokrasi, juara penegakan supremasi hukum dan juara dalam pemajuan demokrasi.
Dengan kata lain, perjuangan bangsa Papua secara langsung menyentuh prinsip dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai satu-satunya lembaga dunia yang dikleim sebagai wadah untuk mempromosikan demokrasi, HAM dan supremasi hukum; sekaligus menantang Belanda sebagai juara dalam penegakkan hukum, Amerika Serikat sebagai juara dalam penegakkan demokrasi, dan Indonesia sebagai negara yang mengaku diri  sebagai negara hukum.

1.      Fakta Kongres Papua I 1961 (1 Desember 1961)[1]

Persoalannya mulai nampak sejak 1 Desember 1961,  dalam Kongres Nasional West Papua I, 1961, peristiwa bersejarah dalam sejarah Papua sebagai sebuah bangsa, dan sebagai sebuah entitas negara yang terlepas dan berbeda dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dimana telah terjadi peristiwa penting yang memperkenalkan, mengumumkan dan mensahkan:
Pertama, West Papua sebagai nama negara,
Kedua, Papua sebagai nama bangsa
Ketiga, Bintang Kejora sebagai nama Bendera negara (bukan bendera kebudayaan)
Keempat, Burung Mambruk sebgai lambang negara (bukan lambang kebudayaan)
Dengan batas negara wilayah laut, darat dan udara, (bukan sebagai sebuah provinsi NKRI)
Kelima, lagu Hai Tanahku Papua, sebagai Lagu Kebangsaan (bukan lagu kebudayaan)
sah sebagai sebuah negara, (atas nama demokrasi, HAM, dan hukum universal)
dan diakui oleh Belanda (yaitu pemerintah yang sudah merdeka dan yang kebetulan ada di West Papua waktu itu)
Sejarahnya seperti ini:
… the Dutch Government in 1957 began a cooperation with Australia for the DEOLONISATION of their respective colonies, namely The Territory of Papua & New Guinea (Australia) and The Netherlands New Guinea (Dutch).[2]
[Artinya: Pemerintah Belanda pada 1957 mulai bekerjasama dengan Australia untuk men-dekolonisasi wilayah koloni mereka masing-masing, namanya Wilayah Papua dan New Guinea (Australia) dan Nederland Nieu Guinea (Belanda)]

2.      Pengakuan Sukarno dalam Butir Trikora (19 Desember 1961)

Secara terbuka di Alun-Alun Utara kota Yogyakarta, tanggal 19 Desember 1961, setelah Indonesia mendengar bahwa West Papua sudah dalam persiapan mengumumkan kemerdekaannya tanggal 1 Juli 1970, Soekarno yang ekspansionis-kolonialis itu mengumumkan apa yang disebutnya Trikora (yaitu Tiga Komando Rakyat). Tiga buah komando itu berbunyi:
o   Bubarkan Negara Boneka Papua buatan Belanda
o   Kibarkan Bendera Merah Putih di seluruh Irian Barat, dan
o   Bersiaplah untuk mobilisasi umum[3]

Tiga butir Trikora berkata begini:
Pertama: Negara Papua sudah ada, tetapi Indonesia harus membubarkannya, karena Indonesia menganggapnya sebagai negara boneka.
Dan, kedua: pembubaran itu dilakukan dengan sebuah invasi militer alias dengan paksa.
Jadi, Soekarno dengan jelas mengakui sudah ada negara saat maklumat Trikora tanggal 19 Desember 1961 itu. Ia dengan jelas mengatakan bahwa ada negara yang hendak diinvasi NKRI secara militer, dengan perintah pengibaran bendera NKRI dan persiapan perang semesta dan negara itu bernama Papua.
Artinya West Papua sudah diakui sebagai negara secara de jure. Bangsa Papua sudah mengakui, Belanda sudah mengakui dan Soekarno sebagai presiden RI juga sudah mengakui fakta hukum itu.

Lalu mengapa Soekarno memakai istilah negara "Boneka" Papua?

Jawabannya jelas klasik. Pertama, karena Soekarno sebagai pejuang kemerdekaan NKRI punya "dendam" dan kebencian politik terhadap Belanda dan apa saja yang Belanda perbuat karena dipandangnya sebaga kekuatan imperialisme dan kolonialisme. Itu pandangan secara obyektif. Kedua, secara subyektif, Sukarno juga melihat Belanda yang tidak mau mempersiapkan kemerdekaan Indonesia itu sedang mempersiapkan dan mengakui persiapan kemerdekaan negara lain (West Papua).
Mengapa wilayah jajahan Belanda yang bernama Indonesia harus mengorbankan jutaan nyawa dengan dana dan tenaga yang tidak sedikit, dalam tempo waktu 350 tahun, sedangkan West Papua hanya mau dikasih seenaknya saja tanpa pengorbanan apa-apa?

Jadi, apa saja yang dibuat Belanda dipandang secara negatif, termasuk negara Papua  Barat disebutnya sebagai "Negara Boneka".
Entah boneka atau benaran tidaklah mengapa, karena nama itu diberikan Sukarno, bukan oleh Belanda ataupun orang Papua sendiri. "Intinya adalah Soekarno sudah mengakui ada negara yang bernama Papua (Barat)".

 

3.      The New York Agreement (15 Augustus 1962)[4]

Setelah perdebatan yang alot antara elit politik NKRI, terutama antara pihak nasionalis-ekspansionis pimpinan Soekarno dengan pihak realis-humanis di bawah pimpinan Moh. Hatta, akhirnya Bung Hatta mengundurkan diri karena politik Soekarno berbau kolonialis, tidak sama dengan cita-cita kemerdekaan NKRI.
Walaupun Moh. Hatta memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan awal menyangkut West Papua, Moh. Hatta mengundurkan diri karena politik Sukarno tidak sehat. Setelah itu, Soekarno melanjutkan perundingan-perundingan dengan Belanda menyangkut status West Papua karena Indonesia mengkleim bahwa West Papua adalah bagian integral Indonesia.
Ini salah satu bukti sikap Moh. Hatta itu:
In 1949, the Round Table Conference was held in The Hague, the Netherlands. In that conference the Dutch were determined not to cede sovereignty over West Papua. The Indonesian Nationalists simply claimed West Papua as PART OF INDONESIA, based on the Dutch Colonial Map. The claim was strictly opposed by the leader of the Indonesian delegation, Dr. Mohammad Hatta (then the Vice President of the Republic of Indonesia and the Delegation Leader). Such opposition later cooled off his relation with Soekarno.[5]
[Artinya: Tahun 1949, diselenggarakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Dalam konferensi ini Belanda bersikeras tidak melepaskan West Papua. Nasionalis Indonesia mengkleim West Papua sebagai bagian dari Indonesia, berdasarkan peta Kolonial Belanda. Kleim Indonesia ini ditolak tegas oleh Ketua Delegasi Indonesia Dr. Moh. Hatta (kemudian Wapres NKRI pertama dan Pemimpin Delegasi). Sikap oposisinya seperti inilah yang mendinginkan hubungan dekatnya dengan Sukarno.]
Selanjutnya Hatta menyatakan:
"PERSOONLIJK WENS IK TE VERKLAREN DAT WEST IRIAN MIJ NIETS KAN SCHELEN. IK ERKEN DAT OOK HET PAPOEA-VOLK HET RECHT HEEFT EEN VRIJE NATIE TE WORDEN"
[Artinya: Secara pribadi, saya mau menyatakan bahwa saya tidak punya urusan apa-apa dengan Irian Barat. Saya menyadari bahwa orang Papua sebagai sebuah bangsa mempunyai hak untuk menjadi sebuah bangsa yang merdeka.]

4.      The "Secret"  Memmorandum of Rome (30 September 1962) dan The Rome Joint Statement (20 – 21 Mei 1969)

a)       The ‘Secret’ Memorandum of Rome[6]

Dalam buku WestPaC-AMP[7] tertulis isi dari Memorandum ini :
Possibility to delay or to cancel The Act of Free Choice set for 1969 by the New York Agreement.
(Artinya : Kemungkinan menunda atau membatalkan Pepera 1969 sesuai Perjanjian New York)
Indonesia to occupy West Papua for 25 (twenty five years only, commencing May 01, 1963)
[Artinya : Indonesia akan menduduki West Papua selaam 25 tahun (duapuluh lima tahun saja, mulai dari 1 Mei, 1963]
The execution of the 1969 Act of Free Choice would be carried out based on the Indonesian parliamentary 'musyawarah' (deliberation) practices.
[Artinya : Pelaksanaan 1969 Penentuan Pendapat akan dijalankan berdasarkan cara Indonesia ‘musyawarah’.]
U.N.'s final report on the implementation of The Act of Free Choice to the UN General Assembly had to be accepted without open debate.
[Artinya : Laporan akhir PBB atas implementasi Pepera kepada SU PBB harus diterima tanpa perdebatan terbuka]
The USA to make investment through Indonesia state-owned companies for the exploitation of Natural Resources in West Papua.
[Artinya : AS membuat investasi melalui BUMN Indonesia untuk eksploitasi sumberdaya alam di West Papua]
USA guaranteed Asian Development Bank US$ 30 Million to UNDP for the development of West Papua for 25 years.
[Artinya : AS menjamin lewat Bank Pembangunan Asia dana sebesar US$20 Juta kepada UNDP untuk pembangunan di West Papua selama 25 tahun].
USA to guarantee the World Bank plan and implement Transmigration of Indonesians to West Papua.
[Artinya : AS menjamin rencana Bank Dunia dan menerapkan Transmigrasi orang Indonesia ke West Papua].
Rancangan ini kemudian menjadi sebuah Pernyataan Bersama, dengan nama The Rome Joint Statement. Menarik untuk dilihat bahwa apa yang dirancang itu akhirnya dimaklumkan kepada dunia dan dengan demikian secara hakiki merobah prinsip-prinsip fundamental dari The New York Agreement.

b)      The Rome Joint Statement[8]

Cerita pelanggaran hak sebuah bangsa dan negara tidak hanya sampai di New York, tetapi berlanjut ke Eropa dengan nama The "Secret" Memmorandum of Rome (atau NKRI dokumen itu berjudul The Rome Joint Statement), yang kembali dirancang oleh AS lewat E. Bunker, dibicarakan antara NKRI, Belanda dan AS. Sekali lagi, dari permulaan sampai akhir (penandatanganan) memorandum rahasia ini TIDAK MELIBATKAN, tidak dikonsultasikan dan tidak dilakukan bersama, di hadapan seorang Papua atau wakil orang Papua-pun.
Yang mengherankan, isi The Rome Joint Statement (Pernyataan Bersama) ini secara mendasar dan secara sepihak merubah hal yang sangat prinsipil dalam New York Agreement, yaitu tatacara pelaksanaan Pepera.
Dalam Pasal 22 The New York Agreement tentang Hak-Hak Penduduk Setempat dinyatakan:
1. The UNTEA and Indonesia will guarantee fully the rights, including the rights of free speech, freedom of movement and of assembly, of the inhabitants of the area. …
[Artinya: UNTEA dan Indonesia akan menjamin sepenuhnya hak-hak, termasuk hak untuk kebebasan berbicara, kebebasan bergerak dan berkumpul dari penduduk wilayah setempat.]
Menyangkut hal ini, dalam Disertasi Doktoralnya, seorang akademisi Inggris, Dr. John Saltford mengatakan:
A brief examination of the official November 1969 report is all that is needed to conclude that the Agreement was not fulfilled. Under its terms, the Netherlands, Indonesia and the UN had an obligation to protect the political rights and freedoms of the Papuans, and to ensure that an act of self-determination took place, in accordance with international practice. On both these points, the three parties failed, and they did so deliberately since genuine Papuan self-determination was never seen as an option by any of them once the Agreement was signed.[9]
[Artinya: Hanya kajian singkat terhadap laporan pejabat PBB tahun 1969 sudahlah cukup untuk tiba pada kesimpulan bahwa Agreement itu tidak dipenuhi. Atas persyaratan yang ditandatanganinya sendiri, pihak Belanda, Indonesia dan PBB bertugas untuk melindungi hak politik dan bebebasan orang Papua, dan untuk memastikan bahwa hak penentuan nasib sendiri berjalan, sesuai dengan praktek internasional. Dalam kedua pokok ini, ketiga belah pihak telah gagal, dan mereka gagal dengan sengaja karena mereka tak pernah beranggapan bahwa penentuan pendapat yang sesungguhnya adalah sebuah pilihan setelah mereka membubuhkan tandatangan pada Agreement itu.]

5.      Penyerahan West Papua dari UNTEA kepada NKRI (1 Mei 1963)

Salah satu hasil The Joint Rome Agreement itu adalah penyerahan wilayah West Papua dari Belanda kepada NKRI lewat UNTEA, dan dilaksanakan secepat-cepatnya. Peristiwa itu terjadi 1 Mei 1963.[10]
Peristiwa ini terjadi lima tahun lebih dulu daripada PEPERA 1969[11] yang akan menentukan keputusan orang Papua apakah mau bergabung dengan NKRI atau mau berdiri sendiri sesuai dengan deklarasi 1 Desember 1961.
Dalam Perjanjian New York dijelaskan dua tahapan pengalihan kekuasaan, seperti dilihat dalam Terjemahan Paper Indonesia di Pasal sebelumnya, yaitu bahwa tahapan pertama dimulai
"dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963. Dalam tahap ini, pegawai Belanda digantikan oleh non-Belanda dan non-Indonesia. Pada tahap kedua, Administrasi UNTEA diimplementasikan dengan mempertimbangkan perkembangan lokal dan waktu pemberlakuan tahap kedua ini tidak dibatasi. PBB menemukan waktu yang tepat, UNTEA akan menjalankan transfer tanggungjawab administrasi kepada Indonesia.
Padahal kalau kita lihat, tanggal 1 Mei 1963 adalah waktu berakhirnya Tahap Pertama tadi. Tetapi sebelum Tahap Kedua dijalankan, wilayah itu sudah diserahkan kepada NKRI.

Apakah mereka tidak mengerti redaksi The New York Agreement?
Apakah mereka salah menghitung waktu?
Ataukah memang ada manuver-manuver politik NKRI yang dikenal kotor itu?

Ini pokok persoalan utama kelima, yang sampai detik ini masih diingat, masih dituntut dan masih disengketakan orang Papua. Karena itu pemaksaan Otsus sebagai pengganti aspirasi "M" dengan jelas-jelas tidak ada korelasi dan tidak ada relevansinya dengan skandal perjanjian rahasia, di luar koridor hukum yang diadakan antara Belanda dan Indonesia.

 

6.      KEENAM: Pepera (14 Juli – 2 August 1969)

Inilah jangka waktu pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di West Papua.
Sengketa pertama di sini adalah bahwa Pepera 1969 itu dilaksanakan atas dasar The New York Agreement yang di dalamnya tidak ada konsultasi dalam bentuk apapun dengan orang Papua atau wakil bangsa Papua. Ditambah lagi, pelaksanaan Pepera itu sendiri tidak sesuai dengan seluruh bunyi dan pasal dalam perjanjian yang mereka sendiri tandatangani itu. Contoh yang paling menonjol adalah prinsip satu orang satu suara (one-man one-vote) seperti tertera dalam The New York Agreement (15 Agustus1962), kemudian dirubah menjadi musyawarah (dalam diskusi awal 1962) dan dalam penandatanganan The Rome Joint Statement (20-21 Mei 1969).
Kemudian orang yang dilibatkan dalam Pepera (termasuk Alm. Dortheys H. Eluay sebagai orang kunci Dewan Musyawarah Pepera - DMP) bukanlah Wakil Rakyat Papua yang sudah dipilih secara demokratis, yaitu anggota Nieuw Guinea Raad. NKRI membentuk Dewan sendiri yang bernama DMP (Dewan Musyawarah Pepera) dan menunjuk hanya 1,025 orang untuk secara paksa setuju untuk bergabung dengan NKRI.
Inilah kleim NKRI dalam papernya menyankut Pepera:
The New York Agreement did not specifically stated the procedure and method of the implementation of the act of free choice. Therefore, the appropriate means that was suitable to the level of social, economic, and cultural development and the geography of West Irian needed to be established. This was due to the fact that the New York Agreement did not require the implementation "one man, one vote" system on the act of self determination. There was no engineering involved and no cause for suspicion, for the reason that according to international law, there was no obligation that an act of self determination had to apply a "one man, one vote" system.
[Artinya: Perjanjian New York tidak secara spesifik menyebutkan prosedur dan metode implementasi penentuan pendapat rakyat. Oleh karena itu, cara yang tepat yang cocok mengingat tingkat perkembangan sosial, ekonomi dan budaya dan geografi Irian Barat perlu ditetapkan. Hal ini karena buktinya Perjanjian New York tidak membutuhkan implementasi sistem "one-man, one-vote" dalam Pepera ini. Tidaka ada rekayasa yang dilibatkan dan tidak ada alasan untuk curiga, atas alasan bahwa sesuai dengan aturan internasional, tidak ada keharusan bahwa Pepera harus dijalankan dengan sistem "one man, one vote]
Maka dengan kleim itu, NKRI menganggap Pepera adalah solusi final buat status politik West Papua.
Kita perlu tanya dua hal sekarang:
Dapatkah sebuah penentuan pendapat rakyat yang seratus persen  berpihak kepada satu pihak itu disebut sebuah proses demokratis?
Dapatkah Suharto menjalankan sebuah proses Pepera yang demokratis? Kalau orang Indonesia sekarang menganggapnya diktator, mengapa mereka tidak bisa mengerti bahwa Pepera 1969 juga penuh dengan kekerasan militer?

7.      Resolusi SU PBB No. 2504 (XXIV) (19 November 1969)

Pepera 1969 menjadi dasar bagi NKRI untuk mengkleim keputusan bangsa Papua dan negara West Papua ke dalam NKRI, dan Resolusi SU No. 2504  (XXIV) tanggal 19 November 1969 sebagai alasan hukum untuk menduduki, mengeksploitasi, membunuh, memperkosa, menyiksa, menangkap, menghukum dan apa saja atas bangsa dan Tanah Papua.
Proses yang penuh dengan rekayasa dan sarat dengan skandal itu membuahkan skandal selanjutnya, yaitu secara sepihak SU PBB tidak membahas, tidak menanyakan kepada wakil bangsa Papua ataupun kepada bangsa lain dan menerima hasil Pepera 1969 di West Papua. Malahan amandemen 15 negara Afrika yang dipimpin Ghana atas resolusi ini ditolak mentah-mentah.

MAKA JELASLAH DISINI, bahwa: Selain Perjanjian New York, The Rome Joint Statement (Memorandum of Rome), penyerahan West Papua ke tangan NKRI, Trikora yang penuh dengan skandal, resolusi 2504 (XXIV) itupun secara de jure tidak pernah menghapus status West Papua sebagai wilayah dekolonisasi dan mengakuinya sebagai bagian dari NKRI. Walaupun secara de facto NKRI ada sampai hari ini,  secara de jure sama sekali tidak sah. Karena  itu Indonesia sedang menjajah bangsa dan negara yang masih dalam status dekolonisasi.

Itulah sebabnya, orang Papua melihat kasus dan konflik NKRI-West Papua:
o   bukan konflik antara menerima Otsus atau menolak,
o   bukan masalah menerima “M” berarti “O” ditolak dan menerima “O” berarti “M” batal.
o   bukan berarti mereka yang menerima “O” pro-integrasi, yaitu musuh orang Papua dan yang menolak musuh NKRI
Sama sekali tidak. Ini pertentangan yang dangkal, politik yang sempit, dan mandul. Tetapi inilah dasar yang NKRI gunakan untuk menjajah dan mengatur West Papua serta memaksakan Otsus dengan intimidasi, teror dan pembantaian.
Jelaslah bahwa kasus pelanggaran HAM berupa pemerkosaan, penyiksaan, ketidak-adilan, keterbelakangan, kekerasan militer era orde baru BUKAN POKOK SENGKETANYA. Pokoknya jauh lebih parah dan lebih hakiki.
Jadi, pokok persoalannya adalah kasus pelanggaran HAM, pelanggaran prinsip demokrasi dan hukum internasional yang lebih parah, terarah di dunia, yaitu tragedi pembunuhan hak kebangsaan dan hak bernegara bangsa Papua dan negara West Papua.

Jadi apa yang mendasari atau menjadi patokan paksaan Otsus di West Papua adalah limbah politik kotor tahun 1960-an dan politik kotor 2000-2001 sebagai hasil konspirasi internasional yang sarat dengan skandal moral kemanusiaan, demokrasi dan hukum.



Oleh sebab itu, kami menyatakan sikap dengan tegas kepada pihak-pihak yang terlibat dalam persoalan West Papua Merdeka:
1.      Pemerintah Indonesia dan sekutunya segera mengakui atas Kemerdekaan West Papua pada tanggal 1 Desember 1961;
2.      Menolak dengan tegas Produk Hukum Internasional (New York Agreement dan Rome Agreement) karena cacat secara Hukum dan Moral bagi rakyat West Papua;
3.      PBB segera bertanggung jawab dan mengembalikan atas penyerahan wilayah West Papua ke dalam NKRI secara sepihak;
4.      Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang melahirkan Resolusi Sidang Umum PBB No. 2504 (XXIV) tentang pengesahan hasil Pepera merupakan penghianatan besar bagi rakyat West Papua maka segera cabut karena tidak Demokratis dan Aspiratif;
5.      Menolak tegas dengan isu-isu (Otonomi Khusus, UP4B, Dialog Nasional, Perundingan Damai) murahan yang ditawarkan oleh pemerintah kolonialisme indonesia melalui kaki tangannya di West Papua;
6.      Segera tarik militer organik dan non organik dan hentikan kekerasan terhadap rakyat West Papua; 
7.      Segerah lakukan REFERENDUM bagi Rakyat West Papua.    
Atas nama Rakyat West Papua Pernyataan Sikap ini dapat kami sampaikan, akhirnya Panitia mengucapkan terima kasih.
Yogyakarta, 01 Desember 2011
Hormat Kami,
Panitia Penyelenggara Kegiatan



Lanny Inoguma


[1] Baca sejarah singkat di: http://www.westpapua.net/about/wp/history.htm
[2] West Papua: from COLONISATION to RECOLONISATION, op.cit. [http://www.westpapua.net/docs/books/book1/part03.htm]
[3] Dinas Sejarah Militer TNI-AD: 'Cuplikan Sejarah Perjuangan TNI-AD, 1972:462.
[4] Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands Concerning West New Guinea (West Irian) (Signed at the Headquarters of the United Nations, New York, on 15 August 1962)Isi New York Agreement ada di [ Versi revisi setelah Rome Joint Statement: http://www.westpapua.net/docs/nya.htm dan Versi aslinya sebelum revisi di Roma: [http://www.westpapua.net/docs\books/book1/part09.htm]
[5] West Papua: from Colonisation to Decolonisation, op.cit.
[6] The Rome Agreement between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the Netherlands on West Irian, 30 September 1962, [http://www.westpapua.net/docs/books/book1/part03.htm]
[7] West Papua: from Colonisation to Decolonisation, op.cit. [http://www.westpapua.net/docs/books/book1/parto03.htm]
[8] The Rome Joint Statement, Text of the Joint Statement Following the Discussions Held Between the Netherlands Minister of Foreign Affairs Mr. Luns and the Netherlands Minister for Development Cooperation Mr. Udink with the Indonesian Minister for Foreign Affairs Mr. Malik in Rome on 20th and 21st May, 1969. [http://www.westpapua.net/docs/rome-agreement.htm]
[9] UNITED NATIONS INVOLVEMENT WITH THE ACT OF SELF- DETERMINATION IN WEST IRIAN (INDONESIAN WEST NEW GUINEA) 1968 TO 1969, By John SaItford: 19. [http://www.westpapua.net/docs/books/book0/un_wp.doc]
[10] Ini patokan tanggal Megawati untuk mengumumkan pembunuh Theys H. Eluay, tetapi beliau ingkar janji. Janji Mega 1 Mei 2002 itu mengingatkan kita pada 39 tahun silam, yaitu tanpa sebuah proses demokratis, tanpa masa persiapan yang memadai, tanpa konsultasi dengan orang Papua ataupun perwakilannya, dengan resmi PBB menyerahkan West Papua ke tangan NKRI.
[11] Walaupun Pepera sarat dengan pelanggaran HAM, yang kami maksud adalah peristiwa seperti itu belum terjadi, tetapi West Papua sudah jatuh ke tangan NKRI karena hasil memorandum rahasia Roma itu.
foto:

 


Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

0 SILAKAN BERKOMENTAR :

silakan komentar anda!

Translate

Followers

NEWS