JAYAPURA — Sebagaimana direncanakan sebelumnya, akhirnya ribuan massa dari sejumlah elemen yang dikoordini KNPB, menggelar aksi demo di pelataran Taman Imbi Jayapura Senin (14/11), dengan mengusung aspirasi menolak dialog dan meminta referendum. “Dialog NO, Referendum Yes,” demikian tulisan pamplet yang dibawa massa. Perjuangan ‘bangsa Papua Barat’ bukan menuntut Otonomi Khusus, kesejahteraan, dialog atau komunikasi konstruktif melalui Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (UP4B) yang kini makin digembar gemborkan atau bentuk bentuk tawaran politik apapun dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tapi, solusi final sebagai penyelesaian masalah bangsa Papua Barat adalah melaksanakan referendum ulang untuk memberikan kebebasan pilihan bagi bangsa Papua Barat untuk tetap bersama NKRI atau merdeka. “Perjuangan rakyat Papua Barat sejatinya adalah menuntut kemerdekaan penuh dari bangsa Indonesia,” demikian Pernyataan Sikap Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat yang dibacakan Koordinator Lapangan Sracky Yalli Asso ketika menggelar aksi unjukrasa damai di Taman Imbi, Jayapura, Senin (14/11) yang diikuti ribuan elemen rakyat Papua Barat sekaligus mengusung bendera Bintang Kejora serta atribut rakyat bangsa Papua Barat lainnya.
Pernyataan Sikap Komite KNPB ini masing masing ditandatangani Ketua UmumKNPB/Penanggungjawab Aksi Buchtar Tabuni, Koordinator Umum Victor Kogoya dan Koordinator Lapangan Sracky Yalli Asso.
Menyikapi situasi terakhir Presiden RI, fasis militeristik SBY-Budiono tetap keras kepala mempertahankan Papua sebagai wilayah integral NKRI, dia menegaskam, sebaiknya SBY-Budiono menawarkan dilakukannya Dialog atau Komunikasi Konstruktif untuk melanggengkan UP4B.
Ironisnya, tegasnya, pemerintah Indonesia terus mengklaim bahwa gejolak yang sering terjadi di Papua akibat kurangnya tingkat kesejahteraan ekonomi, menyikapi pernyataan pemerintah ini, pemerintah Indonesia benar benar telah bodoh, buta dan tuli.
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 digelar tak relevan dengan perjanjian The New York Agreement dan The Roma Agreement yang menyatakan one man one vote (satu orang satu suara) tapi dalam pelaksanaannya penguasa pemerintah Indonesia menggunakan sistim perwakilan.
Dia menegaskan, Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat tak konsisten dan melanggar The New York Agreement dan The Roma Agreement tentang satu orang satu suara, sebaliknya PEPERA dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat ala demokrasi pemerintah Indonesia.
“PEPERA gagal total dan cacat demi hukum internasional, suka atau tak suka, senang tak senang bangsa Papua Barat dengan serta merta diseret takluk dibawah ancaman hegemoni NKRI dan pemerintahan asing demi kepentingan ekonomi politik,”ujarnya.
Situasi gejolak politik, kekerasan, teror, intimidasi, penyiksaan dan kematian warga sipil bangsa Papua Barat akhir akhir ini harus dituntaskan pemerintahan Indonesia (SBY-Budiono) serta seluruh jajaran aparatur negaranya tak harus serta merta menjawab persoalan bangsa Papua Barat dengan isu ekonomi, kesejahteraan dengan dialog atau komunikasi konstruktif.
Rentetan peristiwa berdarah yang terjadi akhir akhir ini merupakan akumulasi dari persoalan sejarah politik rekayasa PEPERA yang belum tuntas. Sejarah PEPERA merupakan akar persoalan dari seluruh rentetan peristiwa berdarah yang terjadi di Tanah Papua sejak tahun1960-an sampai kini, perjuangan rakyat Papua Barat sejatinya adalah menuntut kemerdekaan penuh dari bangsa Indonesia.
KNPB sebagai media nasional Papua Barat menyatakan sikap.
Pertama, mengutuk dan mengancam praktek praktek militerisme dalam bentuk bentuk kekerasan, intimidasi, penyiksaan, pembunuhan dan penangapan sewenang wenang yang dilakukan aparat gabunganTNI/Polri diseluruh wilayah tanah air Papua Barat dengan dalil separatis, makar dan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) sebab perjuangan bangsa Papua Barat adalah menegakan hak kedaulatan politik HAM.
Kedua, hapuskan stigma hukum separatis, makar dan GPK yang selama ini distigmakan oleh pemerintah pusat untuk membungkam aspirasi perjuangan Papua merdeka.
Ketiga, tutup total PT Freeport sebab perusahaan emas kepunyaan Amerika Serikat merupakan dalang sumber kejahatan HAM dan lingkungan serta seret dan adili James Moffet dan kroni kroninya ke Mahkamah Internasional
Keempat, Komisi Hak Hak Asasi Manusia (HAM) PBB segera lakukan rapat darurat untuk membahas situasi terakhir HAM di Papua Barat sebab kondisi Papua Barat dalam Zona Darurat.
Kelima, Pemerintah Indonesia(SBY-Budiono) segera membuka ruang kebebasan seluas luasnya bagi Jurnalis Independen dan Pekerja HAM Internasional di Papua Barat untuk kepentingan investigasi dan informasi. (mdc/don/l03)
Pernyataan Sikap Komite KNPB ini masing masing ditandatangani Ketua UmumKNPB/Penanggungjawab Aksi Buchtar Tabuni, Koordinator Umum Victor Kogoya dan Koordinator Lapangan Sracky Yalli Asso.
Menyikapi situasi terakhir Presiden RI, fasis militeristik SBY-Budiono tetap keras kepala mempertahankan Papua sebagai wilayah integral NKRI, dia menegaskam, sebaiknya SBY-Budiono menawarkan dilakukannya Dialog atau Komunikasi Konstruktif untuk melanggengkan UP4B.
Ironisnya, tegasnya, pemerintah Indonesia terus mengklaim bahwa gejolak yang sering terjadi di Papua akibat kurangnya tingkat kesejahteraan ekonomi, menyikapi pernyataan pemerintah ini, pemerintah Indonesia benar benar telah bodoh, buta dan tuli.
Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 digelar tak relevan dengan perjanjian The New York Agreement dan The Roma Agreement yang menyatakan one man one vote (satu orang satu suara) tapi dalam pelaksanaannya penguasa pemerintah Indonesia menggunakan sistim perwakilan.
Dia menegaskan, Indonesia, Belanda dan Amerika Serikat tak konsisten dan melanggar The New York Agreement dan The Roma Agreement tentang satu orang satu suara, sebaliknya PEPERA dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat ala demokrasi pemerintah Indonesia.
“PEPERA gagal total dan cacat demi hukum internasional, suka atau tak suka, senang tak senang bangsa Papua Barat dengan serta merta diseret takluk dibawah ancaman hegemoni NKRI dan pemerintahan asing demi kepentingan ekonomi politik,”ujarnya.
Situasi gejolak politik, kekerasan, teror, intimidasi, penyiksaan dan kematian warga sipil bangsa Papua Barat akhir akhir ini harus dituntaskan pemerintahan Indonesia (SBY-Budiono) serta seluruh jajaran aparatur negaranya tak harus serta merta menjawab persoalan bangsa Papua Barat dengan isu ekonomi, kesejahteraan dengan dialog atau komunikasi konstruktif.
Rentetan peristiwa berdarah yang terjadi akhir akhir ini merupakan akumulasi dari persoalan sejarah politik rekayasa PEPERA yang belum tuntas. Sejarah PEPERA merupakan akar persoalan dari seluruh rentetan peristiwa berdarah yang terjadi di Tanah Papua sejak tahun1960-an sampai kini, perjuangan rakyat Papua Barat sejatinya adalah menuntut kemerdekaan penuh dari bangsa Indonesia.
KNPB sebagai media nasional Papua Barat menyatakan sikap.
Pertama, mengutuk dan mengancam praktek praktek militerisme dalam bentuk bentuk kekerasan, intimidasi, penyiksaan, pembunuhan dan penangapan sewenang wenang yang dilakukan aparat gabunganTNI/Polri diseluruh wilayah tanah air Papua Barat dengan dalil separatis, makar dan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) sebab perjuangan bangsa Papua Barat adalah menegakan hak kedaulatan politik HAM.
Kedua, hapuskan stigma hukum separatis, makar dan GPK yang selama ini distigmakan oleh pemerintah pusat untuk membungkam aspirasi perjuangan Papua merdeka.
Ketiga, tutup total PT Freeport sebab perusahaan emas kepunyaan Amerika Serikat merupakan dalang sumber kejahatan HAM dan lingkungan serta seret dan adili James Moffet dan kroni kroninya ke Mahkamah Internasional
Keempat, Komisi Hak Hak Asasi Manusia (HAM) PBB segera lakukan rapat darurat untuk membahas situasi terakhir HAM di Papua Barat sebab kondisi Papua Barat dalam Zona Darurat.
Kelima, Pemerintah Indonesia(SBY-Budiono) segera membuka ruang kebebasan seluas luasnya bagi Jurnalis Independen dan Pekerja HAM Internasional di Papua Barat untuk kepentingan investigasi dan informasi. (mdc/don/l03)
0 SILAKAN BERKOMENTAR :
silakan komentar anda!