Kongres Rakyat Papua III ‘Bukan’ Makar

Masyarakat adat Papua yang tergabung dalam 7 wilayah adat membantah adanya tudingan makar terhadap Kongres Rakyat Papua (KRP III) Rabu pekan lalu.  Menurut mereka, KRP III merupakan salah satu kebebasan demokrasi yang dilindungi undang-undang di Negara Indonesia.

“Tunggu pengadilan yang memvonis itu makar,” kata Ketua Dewan Adat Papua (DAP) wilayah Mamberamo Tami, Ones Banundi kepada wartawan di Waena, Jayapura, Kamis, 27 Oktober 2011.

Dalam konferensi pers yang dilakukan DAP dari tujuh wilaya adat itu, KRP III, menurut mereka, merupakan salah satu bentuk kegiatan demokrasi yang seharusnya dilindungi Negara. Bukan malah menuding sebagai separatis.

Kebebasan untuk berkumpul, mengemukakan pendapat dan menyebarkan gagasan merupakan hak sipil dan politik setiap manusia, yang dilindungi oleh Dasar Konstitusi Indonesia, Konvensi Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dan disahkan implementasinya melalui Undang-Undang nomor 12 Tahun 2005.

Mereka membantah tudingan pemerintah dan aparat di sejumlah media massa bahwa KRP III makar. Pasalnya, dalam surat bernomor B.962/Ses/Polhukam/10/2011, Menkopolhukam menulis surat kepada Mendagri untuk menunjuk utusannya menjadi salah satu pembicara kunci dan membuka KRP III di Auditorium Uncen.

Namun, dalam KRP III yang dilaksanakan di lapangan Zakeus, Padang Bulan, Abepura itu tak ada perwakilan dari pemerintah. DAP menyesalkan KRP III yang berujung pada kericuhan dan kematian 3 warga sipil dan mengalami luka-luka. Karena itu DAP 7 wilayah mendesak pemerintah untuk mengusut tuntas masalah di Papua secara menyeluruh.

“Presiden Indonesia harus bertindak tegas untuk menyelesaikan persoalan Papua secara bijak dan bermartabat demi membawa Papua ke arah lebih baik,” kata Ketua DAP Yoli Y. Hisage dari DAP Hubula, Lembah Baliem.

Selain itu, DAP meminta Komnas HAM, Gereja-gereja di Papua, LSM-LSM, dan DPR Papua untuk memfasilitasi masyarakat adat dalam melakukan dialog dengan pemerintah pusat di Jakarta.