Pemekaran provinsi, kabupaten/kota di Indonesia dibentuk
dengan tujuan baik demi meningkatkan pelayanan untuk masyarakat setempat.
Dengan adanya pemekaran daerah diharapkan setiap kebutuhan masyarakat yang
harus dipenuhi oleh pemerintah dapat diidentifikasi dan terkoordinir dengan
baik sesuai dengan potensi masing-masing. Namun, jika dilihat dari konsepnya,
peran pemerintah kabupaten Mimika adalah memberikan pelayanan masyarakat,
karena pemerintah merupakan unit yang terdekat dengan masyarakat Mimika dan
kesalahan bukan terletak dari kebijakan yang ada, namun lebih kepada kinerja
para aparatur yang tidak melaksanakan tugasnya sesuai dengan ketentuannya di
kabupaten Mimika.
Mahasiswa asal Distrik Agimuga
kabupaten Mimika Papua menolak distrik Agimuga dimekarkan jadi kabupaten.
Penolakan ini dilakukan Karena dikeluarkannya surat oleh Presiden Republik
Indonesia tertanggal: Jakarta, 27 Februari 2014 dengan nomor surat: R13/Pres/02/2014
tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembentukan 22 kabupaten/kota. 22
kabupaten/kota itu salah satunya adalah distrik Agimuga termasuk yang disetujui
oleh presiden untuk dimekarkan. Surat tersebut ditujukan kepada DPRI agar RUU
tentang pembentukan kabupaten/kota bisa disidangkan kemudian disahkan yang
sifatnya sangat segera.
Kami melihat kasus perencanaan
pembentukan pemekaran distrik Agimuga menjadi wilayah pemekaran dari Kabupaten induk Mimika
telah menimbulkan
sikap pro dan kontra di berbagai kalangan politisi, tokoh masyarakat,
toko perempuan,
pejabat pemerintah, kaum intelektual (mahasiswa) Amungme. Mereka hanya memperdebatkan manfaat
ataupun kerugian dan daerah adat yang timbul dari banyaknya
contoh wilayah yang
dimekarkan di Provinsi Papua. Berbagai pandangan dan opini disampaikan untuk mendukung
sikap masing-masing pihak. Tim pemekaran menyatakan bahwa pemekaran akan
membuka peluang terjadinya bureaucratic
and political rent-seeking, yakni kesempatan untuk memperoleh
keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan daerah
sendiri (elit pemerintah, politis dan ekonomi). Hal ini menyebabkan terjadinya
suatu perekonomian daerah berbiaya tinggi. Lebih jauh lagi dipandang dari pihak
kontra (Mahasiswa Agimuga) pemekaran distrik Agimuga menjadi kabupaten
dipandang merupakan bisnis kelompok elit di daerah yang sekedar menginginkan
jabatan dan posisi tanpa memperhatikan dan memperdulikan nasib rakyat.
Kami beralasan bahwa
untuk pemekaran wilayah perlu dilihat dari berbagai aspek. Aspek-aspek yang
perlu menjadi perhatian adalah jumlah penduduk, sumber daya manusia (SDM), luas
wilayah, kepadatan penduduk, pendapatan penduduk, sumber daya alam (SDA), dan
aspek lainnya yang bisa mendukung dimekarkannya suatu wilayah menjadi kabupaten.
Dilihat dari aspek-aspek di atas, Agimuga tidak dimungkinkan atau tidak layak
untuk dimekarkan menjadi kabupaten karena jumlah penduduknya sebesar 701, luas
wilayahnya 1772 km2,
kepadatan penduduk 0,4 jiwa/km2 dan jarak antar Ibu kota
distrik ke Ibu kota kabupaten adalah 87,5 km.
Sumber daya manusia
di distrik Agimuga rata-rata lulusan SMP dan sebagian kecil lulusan SMA.
Sedangkan lulusan perguruan tinggi atau sarjana jumlahnya pun sangat sedikit.
Mata pencarian masyarakat setempat
adalah petani dan nelayan dengan rata-rata pendapatan per hari Rp.
5.000,- - Rp. 15.000,-. (lima ribu rupiah – lima belas ribu rupiah). Mahasiswa juga mengatakan bahwa kabupaten
induk Mimika saja tidak mengakomodir putra-putri asli Timika untuk duduk di
pemerintahan dan mengatur daerahnya. Malah sebagian besar pegawai negeri sipil
di lingkup pemerintahan kabupaten Mimika adalah orang non-Papua dan sebagian
lagi saudara-saudara se-Papua yang lain. Sedangkan pribumi Kabupaten Mimika
hanya menjadi penonton di atas tanahnya sendiri. Jika demikian, distrik Agimuga
dimekarkan menjadi kabupaten untuk siapa
kalau kabupaten induk saja sudah seperti ini? Semua kebijakan dalam pembangunan
di kabupaten Mimika saja tidak pernah berpihak kepada pribumi setempat, yaitu
suku Amungme dan Kamoro. Malah pribumi Amungme dan Kamoro dijadikan objek oleh
para elit lokal, provinsi, dan pusat untuk kepentingan pribadi dan kelompok
semata. Lebih parahnya lagi, kabupaten Mimika dijadikan arena perebutan
kekuasaan dengan mengadu domba masyarakat kecil yang tidak tahu dengan
konflik-konflik kepentingan yang dibangun oleh elit-elit lokal, provinsi dan
pusat. Melihat berbagai persoalan di atas, kami Mahasiswa asal Distrik Agimuga
kabupaten Mimika Papua menolak dengan tegas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang
Pembentukan Kabupaten Agimuga disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR-RI).
Tim pemekaran distrik
Agimuga mati-matian
melobi DPR-RI, karena
bila lewat pemerintah, jalannya cukup panjang. Ada kemungkinan tidak lolos di
tingkat Departemen Dalam Negeri atau Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Tapi,
kalau lewat DPR-RI, pasti lolos karena langsung masuk RUU, dan pemerintah dalam
posisi tidak gampang untuk mengatakan tidak. Di samping itu, Bila distrik
Agimuga dimekarkan maka cenderungnya akan memicu terjadinya konflik sosial atau
adu kekuasaan. Fakta ini telah terbukti terjadi di Kabupaten induk Mimika, misalnya kasus konflik antara
kelompok
dan berbagai konflik lainnya di seluruh tanah Papua khususnya dan pada umumnya
di penjuru tanah air. Melihat fenomena tersebut, maka kami Mahasiswa Agimuga
menolak Rencana Pemekaran distrik Agimuga menjadi kabupaten.
Thomas Edison Pigai-Mahasiswa di Univ. Udaya Bandung