Kegiatan politik kolonial
Indonesia diatas tanah Papua merupakan aktivitas illegal dan asing. West
Papua
yang melingkupi Numbai sampai ke Merauke, dari Raja Ampat sampai ke
Balim
(Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi adalah sebuah
wilayah koloni
baru dari Indonesia, yang keabsaannya belum final dibawah hukum
internasional.
Demokrasi (prosedural)
ala neo-kolonialisme Indonesia hanya mampu menghipnotis rakyat West
Papua dalam
setiap Pemilihan Umum (Pemilu), tetapi tidak berhasil menjamin kebebasan
politik rakyat West Papua dalam menentukan nasibnya sendiri. Jargon
“Pesta
Demokrasi” Indonesia di West Papua, sangat jelas bertujuan untuk: (a)
Melahirkan agen-agen kolonialisme; (b) Memperkokoh sistem kolonialisme
Indonesia; (c) dan hegemoni neo-kolonialisme Indonesia.
Sistem Demokrasi kolonial yang
demikian telah menciptakan tatanan hidup rakyat Papua yang
tercerai-berai, tata
kehidupan yang diskriminatif, Gaya hidup yang Konsumeristik, Kesehatan
dan
Pendidikan yang Materialistik, Sosial yang Individualistik, Budaya yang
Hedonistik, Politik yang Oportunistik, Ekonomi yang Liberalistik, Agama
yang
exploitatif.
Dalam kondisi yang tidak menentu
itu, rakyat West Papua digiring dalam perspektif demokrasi kolonial yang
menghendaki -dan praktis membuat rakyat West Papua sebagian, khususnya
para
elit politik partai menjadi budak yang tunduk menerima praktek
kolonialisme.
Mereka hanya menjadi – dan dijadikan – boneka kolonial yang tidak
berdaya dan
pasrah menerima semua paket politisasi kebijakan Jakarta.
Kita sedang menyaksikan Otonomi Khusus (Otsus) yang dipaksakan sebagai solusi, lalu dibenturkan dan digagalkan Jakarta dengan kebijakan lain, lalu saat ini mencoba “ditambal sulam” lagi dengan Otsus Plus (Pemerintahan Papua). Pada saat yang sama, harga diri orang Papua dipermainkan ketika MRP, DPRP, dan Gubernur di Papua tidak memiliki kewenangan apapun, tidak berdaya, tidak dihiraukan, atau kasarnya hanya dijadikan boneka penguasa yang tunduk pada perintah Jakarta.
Kita sedang menyaksikan Otonomi Khusus (Otsus) yang dipaksakan sebagai solusi, lalu dibenturkan dan digagalkan Jakarta dengan kebijakan lain, lalu saat ini mencoba “ditambal sulam” lagi dengan Otsus Plus (Pemerintahan Papua). Pada saat yang sama, harga diri orang Papua dipermainkan ketika MRP, DPRP, dan Gubernur di Papua tidak memiliki kewenangan apapun, tidak berdaya, tidak dihiraukan, atau kasarnya hanya dijadikan boneka penguasa yang tunduk pada perintah Jakarta.
Mental “nurut” dan mental “budak”
tidak ada dalam sejarah dan budaya orang Papua. Itu hanya ada dalam
sejarah
Indonesia vs Belanda dan kini praktek kolonialisme ini diterapkan di
West Papua
sebagai wilayah koloninya. Pemerintahan sipil di Papua hanya menjadi
boneka
Jakarta dan tata kendali diambil oleh pemerintahan militer Indonesia di
Papua.
Pemilu 2014 akan menjadi ajang
perburuan neo-kolonialisme dan kapitalisme di West Papua. Kepentingan
neokolim
akan menempatkan agen-agen penguasa lokal dan nasional dalam mengamankan
kepentingnya. Yang tersisa dari agenda kolonial hanya konflik berdarah
demi
keutuhan kolonialisme dan kapitalisme. Rakyat hanya puas dengan janji
utopis
dari para kandidat caleg dan capres Kolonial. Selanjutnya penjajahan
berlanjut,
penindasan berlanjut, pemusnahan berlanjut.
Kolonialisme Indonesia tidak akan
peduli pada hak berdemokrasi, yaitu hak memilih dan dipilih. Sebab,
cara-cara
represif, rekayasa dan manipulasi hak suara sudah pernah dimulai sejak
pelaksanaan Pepera 1969 di West Papua, dan praktek berdemokrasi yang
bobrok
itulah yang masih terus diterapkan. Oligarki kekuasaan menjadi nyata
tatkala
resim kolonialisme Indonesia dipegang oleh para Jendral militer yang
punya
record pelanggaran HAM di Papua nanti.
Hak politik bangsa Papua dalam
Pemilu kolonialisme Indonesia tidak berarti untuk melegitimasi Penguasa
Kolonial Indonesia diatas tanah West Papua. Keterlibatan rakyat dalam
pemilu
bukan merupakan kesadaran kolektif rakyat Papua. Tetapi secara real,
merupakan
manifestasi dari hegemoni Kolonial yang memaksa rakyat Papua untuk, mau
tidak
mau, suka tidak suka, ikut meramaikan dalam ketidakpastian harapan.
Cita-cita bangsa Papua harus
diuji dalam suatu proses demokrasi yang umum dan tuntas, khusus terhadap
bangsa
West Papua lewat referendum. Hal itu untuk menguji ideologi dan
nasionalisme
kebangsaan Papua dan Indonesia. Sebab legitimasi politik tanpa dilandasi
nilai
nasionalisme dan ideologi pada kakekatnya mubazir alias tiada arti.
Artinya,
orang Papua yang ikut Pemilu tetapi tidak berlandaskan pada cita-cita
ideologi dan
nasionalisme Indonesia itu percuma. Itu justru merupakan simbolisme
demokrasi.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia dan para elit lokal Papua yang sedang bergeming dalam Pemilu Indonesia harus berhenti memberikan harapan utopis, karena tidak mungkin penjajah dan yang terjajah hidup sejahtera bersama membangun wilayah koloni. Yang terjajah harus diberikan ruang dan hak untuk memilih nasibnya sendiri. Praktek demokrasi dalam negara-bangsa yang merdeka akan bermakna bila rakyat bangkit menentukan pilihan berlandaskan ideologi dan nasionalismenya sendiri.
Referendum bagi West Papua adalah satu-satunya jalur demokrasi tertinggi yang harus digelar. Indonesia harus paham dan dewasa untuk melakukan kehendak dekolonisasi terhadap wilayah koloni West Papua. Kolonialisme sudah harus ditinggalkan. Inggris membuktikan itu terhadap referendum di Skotlandia pada September 2014 nanti. Sudah bukan jamannya lagi untuk mempertahankan status quo ala kolonialisme barat abad-18.
Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia dan para elit lokal Papua yang sedang bergeming dalam Pemilu Indonesia harus berhenti memberikan harapan utopis, karena tidak mungkin penjajah dan yang terjajah hidup sejahtera bersama membangun wilayah koloni. Yang terjajah harus diberikan ruang dan hak untuk memilih nasibnya sendiri. Praktek demokrasi dalam negara-bangsa yang merdeka akan bermakna bila rakyat bangkit menentukan pilihan berlandaskan ideologi dan nasionalismenya sendiri.
Referendum bagi West Papua adalah satu-satunya jalur demokrasi tertinggi yang harus digelar. Indonesia harus paham dan dewasa untuk melakukan kehendak dekolonisasi terhadap wilayah koloni West Papua. Kolonialisme sudah harus ditinggalkan. Inggris membuktikan itu terhadap referendum di Skotlandia pada September 2014 nanti. Sudah bukan jamannya lagi untuk mempertahankan status quo ala kolonialisme barat abad-18.
- Pemilu Indonesia 2014, bagi rakyat West Papua adalah pesta kepentingan kolonialisme, kapitalisme dan militerisme Indonesia di West Papua.
- Pemilu Indonesia 2014, bagi rakyat West Papua adalah ilegal sebelum hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua dilakukan lewat referendum.
- Pemilu Indonesia 2014, bagi rakyat West Papua adalah sandiwara politik, dan simbolisme demokrasi yang tidak berarti bagi jaminan kehidupan bangsa Papua kedepan.
4.
Boikot Pemilu adalah hak universal yang dijamin oleh hukum internasional. Referendum adalah mekanisme demokrasi yang universal dalam praktek hak penentuan nasib sendiri yang dijamin oleh hukum internasional.
Boikot Pemilu adalah hak universal yang dijamin oleh hukum internasional. Referendum adalah mekanisme demokrasi yang universal dalam praktek hak penentuan nasib sendiri yang dijamin oleh hukum internasional.
“Kita Harus Mengakhiri”
Jayapura, 4 Februari 2014
Victor Yeimo
Ketua Umum KNPB
SUMBER: KNPBNEWS