Monday, May 20, 2013

PT. FREEPORT INDONESIA ILEGAL MASUK PAPUA, PAPUA HARUS MERDEKA!

Mypapua     8:10 AM  


FREEPORT ILEGAL
Tikus-tikus dan anjing-anjing mencium kearuman Emas dan kekayaan alam Papua. Pegunungan Papua sekitar Pada tahun 1904-1905 suatu lembaga swasta dari Belanda Koninklijke Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni Lembaga Geografi Kerajaan Belanda, menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya yang tujuan utamanya adalah mengunjungi Pegunungan Salju yang konon kabarnya ada di Tanah Papua. (baca: http://id.wikipedia.org/wiki/Freeport_Indonesia)

Perluh ketahui bahwa kontrak kerja yang dilakukan oleh Indonesia dan Amerika atas PT FREEPORT Indonesia masuk ke beroperasi ke papua. Saat mekalukan kesepakatan dan kontrak karya  Orang Papua tidak ikut sertakan dan belum ada orang yang mewakilinya.  Harus pelajari juga status admintrasi Pemerintahan Negara Papua Barat, belum secara Hak penuh di tangan Indonesia. Namun  Indonesia Amerika berani mengambil keputusan tanpa mempertingbangkan hak-hak dasar  warisan adat orang Papua. Memang mereka benar-benar keterlaluan mengadaikan Papua ketangan Amerika melalui Indonesia. Berarti PT Freeport Ilegal Masuk Papua. Lihat dan (baca: Versi Wikipedia) Pada Tahun 1936 – Jacques Dozy menemukan cadangan ‘Ertsberg’. 1960 – Ekspedisi Forbes Wilson untuk menemukan kembali ‘Ertsberg’. 1967 – Kontrak Karya I (Freeport Indonesia Inc.) berlaku selama 30 tahun sejak mulai beroperasi tahun 1973. 1988 – Freeport menemukan cadangan Grasberg. Investasi yang besar dan risiko tinggi, sehingga memerlukan jaminan investasi jangka panjang. 1991 – Kontrak Karya II (PT Freeport Indonesia) berlaku 30 tahun dengan periode produksi akan berakhir di tahun 2021, serta kemungkinan perpanjangan 2x 10 tahun (sampai tahun 2041).

Awalnya  masuknya PT. Freeport Pasca kepemimpinan Presiden Soekarno, di awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi. Namun dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967). Sebelum Pepera 1969. Sedangkan Pepera yang dilakukan Versi oleh Indonesia, PBB yang seharusnya dilajankan sesuai dengan mekanisme Internasionan One Man One Voice. Tapi tidak seperti itu, karena Kepentingan Amerika dan Indonesia yang terstruktur, mereka melindungi PT Freeport harus beroperasi di Timika Papua untuk Kepentingan Indonesia dan Amerika. Amerika mendukung Papua masuk dalam Indonesia untuk kepentingan Emas di Papua, sedangkan Indonesia membuka mata lebar-lebar memalui diplomasi ke Amerika untuk kepentinga Politik Papua tetap dalam Indonesia. Untuk  kepentingan  kekayaan alam dan Menindas dan membunuh orang Papua. Indonesia  di kuasai Papua, baca ini seorang Militer namanya Alii Murtopo ini kutipannya.

 “Bahwa Indonesia tidak menginginkan orang Papua, Indonesia hanya menginginkan tanah dan sumber daya alam yang terdapat di dalam pulau Papua. Kalau orang Papua ingin merdeka, silahkan cari pulau lain di Pasifik untuk merdeka. Atau meminta orang Amerika untuk menyediakan tempat di bulan untuk orang-orang Papua menempati di sana,” Pernyataan Ali Murtopo pada tahun 1966, dituliskan oleh Socratez Sofyan Yoman dalam bukunya “Pemusnahan Etnis Melanesia, tahun 2007 diterbitkan oleh Galang Press”

Pernyataan dari Ali Murtopo tersebut bukanlah suatu hal yang menjadi alasan orang Papua ingin merdeka. Merdeka dari ketidakadilan Pemerintah Indonesia dan merdeka dari segala bentuk kekerasan, diskriminasi dan intimidasi aparat militer di Papua. Jauh dari itu, tuntutan untuk merdeka bukan sebagai akibat dari terakumulasi kekecewaan terhadap pembangunan di tanah Papua sejak Papua dimasukan ke dalam wilayah Indonesia. Tuntutan penentuan nasib sendiri itu lahir dengan beberapa alasan yang mendasar dan krusial. Pertama, Sejarah terutama Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 yang manipulatif; kedua, Pelanggaran Hak Asasi Manusia; ketiga, Masalah diskriminasi dan pembangunan selama empat dekade; keempat, Masalah eksploitasi Sumber Daya Alam dan penghancuran lingkungan hidup, gunung dan hutan di Papua; kelima, perbedaan kebudayaan, ras dan etnis dan bahasa.

Sejarah Papua:  PEPERA 1969
Selasa, 2 Agustus 2011. Hampir di seluruh rakyat Papua menuntut kemerdekaan bagi tanah Papua.  Lalu harus saya mulai dari mana menjelaskan persoalan yang besar ini? Melihat dari persoalan di atas sudah pasti rakyat Indonesia yang berada di luar Papua bingung dan terus bertanya, mengapa penduduk asli Papua tidak pernah mengakui dan menerima PEPERA 1969 tapi sebaliknya secara konsisten dan terus-menerus melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia? Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat yang beretnis Melanesia ini keliru dalam memahami sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah Indonesia? Apakah benar PEPERA 1969 manipulatif? Pertanyaan ini akan menjadi analisis awal saya sebelum menawarkan konsep menyelesaikan persoalan Papua secara damai dan menjawab pertanyaan, haruskah tanah Papua tetap “Menjadi Indonesia”? atau kapan Indonesia kasih Papua Merdeka?

Pertanyaan-pertanyaan diatas tidaklah mudah untuk dijawab, tapi dibutuhkan pergumulan dan perjalanan panjang. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) meluncurkan buku Papua Road Map atau Peta Perjalanan Papua. Tim Peneliti LIPI mencoba menemukan akar masalah yang sesungguhnya dialami dan dipertanyakan rakyat dan bangsa Papua selama ini. Buku ini menemukan dan merumuskan empat masalah pokok di Papua, yaitu: (1) sejarah dan status politik Papua; (2) kekerasan Negara dan pelanggaran HAM; (3) marjinalisasi; (4) pembangunan yang diskriminatif. Temuan ini telah memberikan ruang dan kesempatan kepada rakyat Papua dan pemerintah Indonesia duduk bersama-sama untuk negosiasi, mediasi dan komunikasi serta berdialog secara damai untuk memberikan pilihan-pilihan jawaban yang elegan, bermartabat dan setara.

Akan tetapi, sa pu pendapat lain to, empat masalah yang Tim LIPI temukan sesungguhnya bersumber dari satu akar masalah saja yaitu: sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 yang manipulatif, atau orang Papua bilang ini tipu–tipu toh. Pada Juli–Agustus 1969, dengan total 1025 orang Papua diminta menentukan suara mereka, mau integrasi dengan Indonesia atau jadi negara sendiri. Musyawarah diadakan di beberapa kota, Merauke (14 Juli), Wamena (15 Juli), Nabire (19 Juli), Fak-Fak (23 Juli), Sorong (27 Juli), Manokwari (29 Juli), Biak (31 Juli) dan Jayapura (2 Agustus). PEPERA 1969 telah dilaksanakan di Tanah Papua Barat sesuai dengan sistem Indonesia, yaitu musyawarah. Pelaksanaan dengan cara Indonesia ini sangat berlawanan dengan isi Perjanjian New York, 15 Agustus 1962 yang disetujui oleh PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia, bahwa PEPERA 1969 dilaksanakan dengan sistem dan mekanisme Internasional, yaitu one man one vote (satu orang satu suara). Tetapi perjanjian itu diabaikan bahkan dihancurkan oleh Pemerintah Indonesia melalui kekuatan militernya. Bahkan pemerintah Indonesia melarang wartawan internasional memantau pelaksanaan PEPERA di Papua. Ironisnya sampai saat ini, wartawan internasional masih dilarang masuk ke tanah Papua. Kenapa ? Hanya pemerintah Indonesia yang bisa menjawab.
Untuk itu saya kira penting untuk memaparkan betapa besarnya peran militer Indonesia sebelum, saat pelaksanaan dan sesudah PEPERA 1969. Ini terlihat dari Surat Telegram resmi yang dikeluarkan oleh Kol. Inf. Soepomo. Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20 Februari 1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No: TR-228/1967 TBT tertanggal 7 Februari 1967. Inti dari isi telegram tersebut adalah memerintahkan semua personil tentara mengerahkan kekuatannya untuk memenangkan PEPERA 1969 dengan cara apapun. Orang-orang Papua yang memberikan suara dalam PEPERA 1969 itu ditentukan oleh pejabat Indonesia dan sementara orang-orang yang dipilih itu semua berada di dalam ruangan dan dijaga ketat oleh militer dan polisi Indonesia.
Tulisan berjudul Sebuah Renungan Merauke, dalam buku Agama Saya Adalah Jurnalisme karya Andreas Harsono dituliskan, seorang diplomat internasional, dalam buku John Saltford, The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua 1962–1969, mengamati bagaimana seorang wakil Papua dalam musyawarah di Mulia, Puncak Jaya, bertanya kepada wakil pemerintah Indonesia apa yang akan terjadi bila dia memilih merdeka. Jawabnya sederhana. Dia akan ditembak!

Dari uraian diatas, saya berpendapat, bahwa hasil PEPERA 1969 hingga saat ini menuai hujan kritik dan protes yang keras bukan tanpa alasan, bahkan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB. Anggota PBB mempersoalkan pelaksanaan PEPERA yang penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional. Dari hasil yang dianggap melanggar hukum internasional ini, maka dalam Sidang Umum PBB hanya mencatat “take note”. Dan harus di pahami istilah “take note” itu tidak sama dengan disahkan. Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat. Manipulasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan dukungan militer inilah yang selalu menjadi persoalan penduduk Papua, untuk terus mempertanyakan keabsahan PEPERA 1969 dan menggugatnya. Jadi, pemaparan saya ini hanya ingin mencoba menjawab alasan tentang manipulasi sejarah pelaksanaan PEPERA 1969. Apabila pemaparan diatas benar, lalu kapan Indonesia kasih Papua Merdeka?

STOP SUDAH ! Pelanggaran HAM di Papua
Kondisi penegakan hak asasi manusia dari tahun sampai saat ini masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah, terutama menyangkut kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang belum terselesaikan. Contoh kecil saja, kasus Abepura dan Wasior-Wamena, kasus ini mandeg di Kejaksaan Agung. Potret buram berbagai penanganan kasus-kasus masa lalu di Papua tidak saja dibaluti oleh beban sejarah, namun juga berbenturan dengan kemauan politik penguasa. Sejak awal, pada saat menjalankan administrasi pemerintahan sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969, maupun sesudah secara resmi. Pemerintah Indonesia memilih dan menggunakan pendekatan keamanan atau militer dengan dalih menegakan keadulatan negara, mengikis habis gerakan yang di cap separatisme yang telah dipupuk sebelum Belanda hengkang dari Papua.
Pada saat reformasi, kendati ada sejumlah perubahan kebijakan terhadap situasi keamanan di  Papua namun keadaanya tidak berubah total, kekerasan masih terus terjadi. Memang pada tahun 1998 Panglima TNI yang waku itu dijabat oleh Jenderal Wiranto menyatakan peryataan formal berupa permintaan maaf dan pencabutan status Papua sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), akan tetapi kenyataan pola dan karakteristiknya tetap tidak berubah. Idealnya pernyataan Wiranto saat itu dibarengi dengan upaya penarikan pasukan TNI yang sifatnya non-organik. Namun, yang terjadi sebaliknya, kebijakan militer yang mulai dijalankan sejak integrasi Papua terus berlanjut dengan alasan menumpas kelompok pro-kemerdekaan. Hal ini bukannya tidak menimbulkan ekses negatif di Papua, karena dengan implementasi model kebijakan ini terjadi berbagai kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia hingga kini.
Penyelesaian secara damai di tanah Papua belakangan ini dikhawatirkan akan semakin sulit terwujud. Dalam analisisis LSM Imparsial, setidaknya ada tiga hal yang menjadi dasar kekhawatiran tersebut;pertama, meningkatnya ekskalasi kekerasan yang memperkeruh Papua, kedua nihilnya akuntabilitas penyelenggaraan akitivitas keamanan di Papua oleh TNI dan Polri dan ketiga; ambivalensi sikap Presiden dalam memandang persoalan Papua. Dibiarkannya ketiga hal ini akan memicu tindakan-tindakan yang justru kontraproduktif bagi penyelesaian Papua yang bermartabat, terlebih dalam penegakan pelanggaran hak asasi manusia. Lalu, mana janji Presiden Susilo Bambang Yudhoyo, pada pidato kenegaraan, 16 Agutus 2011, untuk menyelesaikan persoalan Papua dengan hati. Ah, saya kira Presiden Indonesia ini hanya ingin tipu lagi orang Papua dengan janji to. Pertanyaan lainnya, mau atau tidak pemerintah Indonesia segera menyelesaikan persoalan Papua, atau serahkan saja “kemerdekaan” kepada orang Papua. Itu sudah.

Pembangunan, diskriminasi dan Kekayaan Alam
Mendefinisikan Pembangunan di tanah Papua maka saya harus melihatnya dari dua sudut pandang, yaitu pembangunan dari sudut pandang Pemerintah Indonesia dan sudut pandang orang Papua. Kemudian, pertanyaannya adalah, apa arti sesungguhnya kata “pembangunan” dari masing–masing sudut pandang tersebut? Menurut Socratez Sofyan Yoman, tentang arti pembangunan dari etnis melanesia adalah memiliki hidup yang lebih baik dan bermartabat. Sedangkan pemerintah Indonesia selama ini mengukur pembangunan di Papua dengan membentuk stigma orang Papua itu, belum maju, terbelakang, tertinggal, terbodoh dan separatis. Sungguh, ini adalah suatu bentuk diskriminasi.
Sampai hari ini, saya mengamati negara masih mengabaikan perlindungan kesetaraan warga, penghormatan martabat manusia serta supremasi hukum di Papua. Akibatnya kesejahteraan, pembangunan dan keadilan makin jauh dirasakan orang Papua. Persoalan marjinalisasi dan diskriminasi terhadap warga asli Papua sebagai akibat dari politik pembangunan ekonomi, konflik politik dan migrasi massal yang dipraktikkan sejak tahun 1970 masih menjadi corak khas yang memenuhi daftar persoalan Papua hingga kini. Bahkan, jumlah warga pendatang di Papua saat ini, hampir seimbang dengan jumlah warga asli Papua.
Kemudian, berbicara tentang sumber daya alam di Papua sungguh ironis, tapi kenyataannya ini terjadi. Orang Papua saat ini harus merasakan pahitnya hidup di tanah sendiri. Warga Papua ingin membeli kayu, tanah dan pasirnya sendiri saja harus kepada warga pendatang. Bahkan untuk membeli makanan Pinang, Sagu, Pisang di pasar-pun kepada pendatang yang berjualan di Pasar. Tetapi, ini hanya persoalan kecil saja. Persoalan besarnya adalah eksploitasi besar–besaran sumber daya alam di Papua. Sebut saja PT. Freeport dengan eksploitasi tambang emasnya dan Mega Proyek Merauke Integrated Food Energy and Estate (MIFEE). Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu alasan terkuat tidak akan dilepaskannya Papua dari Indonesia karena sumber saya alam yang melimpah. Alasan ini menjadi pembenar peryataan Ali Murtopo, bahwa Indonesia hanya butuh kekayaan alam Papua.
Lihat saja, setiap hari dihasilkan sekitar 300 kilogram emas dari perut tanah Papua! Emas 300 kilogram per hari senilai Rp 90 miliar per hari atau Rp 2,7 triliun per bulan dengan asumsi harga emas Rp 300.000 per gram. Artinya, besarnya jumlah rupiah ini berbanding terbalik bukan dengan pembangunan bagi kesejahteraan, akses pendidikan, akses kesehatan, fasilitas jalan dan lainnya yang tidak dirasakan oleh orang Papua, namun pemerintah Indonesia di Pusat yang merasakannya. Bahkan, Menurut dokumen perusahaan, dari laporan investigatif wartawan New York Times, Jane Perlez, Raymond Bonner dan kontributor Evelyn Rusli, “Below a Mountain of Wealth, a River of Waste”, 27 Desember 2005, Freeport membayar paling sedikit 20 juta dolar (sekitar Rp 184 miliar) kepada militer dan polisi di Papua dari tahun 1998 sampai bulan Mei 2004. Kemudian ada juga tambahan 10 juta dolar (sekitar Rp 92 miliar) yang juga dibayarkan kepada militer dan polisi pada jangka waktu itu sehingga totalnya sekitar Rp 276 miliar. Data ini seharusnya membukakan mata kita, bahwa keadaan militer di Indonesia hanya untuk memperkaya militer itu sendiri. Hanya sedikit saja, orang Papua menikmati hasil, dari besarnya keuntungan eksploitasi tambang yang dilakukan PT. Freeport yang diambil di tanah Papua.
Selain itu, dengan alasan untuk menjadikan Merauke sebagai lahan swasembada pangan di Indonesia menarik untuk di kaji. Pemerintah Indonesia memilih Merauke sebagai lokasi Mega Proyek Merauke Integrated Food Energy and Estate, bukan tanpa alasan. Pemerintah menyepakati untuk membuka 1,2 juta hektar lahan untuk mendukung proyek tersebut. Persoalannya, untuk membuka lahan seluas itu, maka yang dilakukan adalah dengan menggunduli hutan dan gunung di Merauke. Lalu, apa dampaknya, sudah bisa kita ketahui bersama, bencana alam seperti longsor dan global warming.
Awalnya, argumen pemerintah yang dimotori Menteri Perekonomian adalah bahwa MIFEE diperlukan untuk mempertahankan stok pangan dan bio-energi pertahanan pangan, akselesari pembangunan, peluang usaha, membuka lapangan kerja dan sebagainya. Namun, belakangan berjalan, proyek ini menjadi masalah besar, mulai dari pengalihan hak tanah yang penuh tipu–tipu, bahkan kepentingan dari keuntungan MIFEE yang seharusnya diperuntukan untuk kepentingan orang Papua menjadi salah arah, keuntungan itu hanya kepentingan investor dan pemerintah pusat. Untuk itu penghargaan Global Champion on Disaster Risk Reduction yang diberikan kepadaPresiden Susilo Bambang Yudhoyno dari Perserikatan Bangsa Bangsa, pada Mei 2011 sudah seharusnya di pertimbangan ulang, apabila melihat kemungkinan bencana alam mungkin akan terjadi di tanah Papua sebagai akibat rusaknya hutan dan gunung di Merauke akibat dari kegagalan Mega Proyek MIFEE.

PAPUA MERDEKA
Melihat akar permasalahan sejarah dianeksasikannya  wilayah Papua  Indonesia  Masuk yang penuh rekayasa dan kepalsuan seperti ini, pelanggaran HAM yang terus terjadi, diskriminasi dan pengerukan sumber daya alam secara terus-menurus di tanah Papua, maka penting sekali merumuskan jalan penyelesaian yang berprospek damai, bermartabat dan manusiawi harus ditemukan antara penduduk asli Papua dengan pemerintah Indonesia dimediasi pihak ketiga yang  netral, melakukan Referendum, dan Pengakuan Kedulatan Papua. Oleh karena itu, gagasan-gagasan  ini  antara Pemerintah Indonesia dan penduduk asli Papua harus didukung semua komponen. Untuk Papua merdeka. Papua merdeka karena 1. Hak, 2. Budaya, 3. atarbelakang sejarah 4. realitas sekarang.
Penulis : Peduli keadilan dan kebenaran
Sumber: beberapa Opini di media online

, ,

Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

Translate

Followers

NEWS