Yan CH Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH, Manokwari, Papua Barat (Foto: Oktovianus Pogau/SP) |
PAPUA— Pelurusan Sejarah Integrasi
Tanah Papua dan Rakyat Papua menjadi bagian integral dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang hingga kini terus menjadi sumber
konflik pandangan dan pendapat antara Papua dan Jakarta seharusnya
segera dibicarakan secara terbuka.
Kenapa demikian? Hal ini disebabkan karena berdasarkan sejumlah studi
yang sudah dilakukan secara ilmiah oleh sejumlah kalangan akademisi
maupun studi investigasi oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil di
Tanah Papua sudah membuktikan fakta bahwa pada tahun 1969 telah terjadi
sejumlah tindakan kekerasan Negara terhadap rakyat sipil di Tanah ini
dengan satu tujuan untuk memenangkan PEPERA, baik dengan cara yang baik
maupun buruk.
Demikian penegasan Direktur Eksekutif LP3BH, Yan Christian Warinussy,
dalam siaran pers, yang dikirim kepada redaksi suarapapua.com, Minggu
(27/1/2013) siang tadi.
Menurut Warinussy, dalam salah satu studi yang dilakukan oleh LP3BH
Manokwari pada tahun 2000, menunjukkan data bahwa ada sekitar 53 orang
warga sipil orang asli Papua telah ditangkap dan dibawa oleh aparat TNI
dan dieksekusi secara kilat di Arfai-Manokwari pada tanggal 28 Juli
1969, atau satu hari sebelum dilaksanakannya Tindakan Pilihan Bebas (Act
of Free Choice) atau PEPERA di Manokwari pada tanggal 29 Juli 1969.
“Pertanyaannya adalah, mengapa tindakan seperti itu bisa terjadi?
Apakah mereka-mereka yang dieksekusi secara kilat itu diduga tersangkut
suatu tindak pidana (menghasut, membocorkan rahasia Negara atau
menghalang-halangi penyelenggaraan PEPERA?).
Mengapa mereka tidak ditahan dan diproses hingga ke pengadilan untk
memperetanggung-jawabkan perbuatannya di depan hukum? Mengapa juga
mereka ditangkap dan ditahan lalu diekskusi seara kilat pada satu malam
hari [28/7/1969] atau satu malam sebelum berlangsungnya PEPERA di
Manokwari?,” ujar Warinussy.
Dikatakan, LP3BH juga menemukan dalam studinya tentang bagaimana para
anggota Dewan Musyawarah PEPERA (DMP) di Manokwari, Sorong, Merauke,
Fakfak dan Biak maupun Wamena telah direkrut secara sangat rahasia dan
di “kurung” dalam tangsi-tangsi militer dan dilatih bahkan
diindoktrinasi untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan
konsep-konsep pendapat yang sudah disusun oleh anggota TNI pada saat
itu.
Kemudian dengan ancaman agar tidak berkata lain apabila ingin kembali
ke rumahnya dengan slamat.
“Beberapa saksi mata telah mengungkapkan kesaksiannya dan kami
berpendapat bahwa masalah kebenaran sejarah penyelenggaraan PEPERA ini
harus segera dikaji dan dibahas secara akademik dan terbuka untuk umum.
Sehingga dapat diketahui bagaimana fakta-fakta yang benar di balik
penyelenggaraan PEPERA itu sendiri, guna dirumuskan langkah-langkah
pengungkapan kebenaran oleh para pihak yang berkompeten dan menjadi
dasar untuk membangun rekonsiliasi diantara rakyat Papua dan Pemerintah
Indonesia ke depan,” ujar Warinussy, yang juga salah satu pengacara
senior di tanah Papua ini.
OKTOVIANUS POGAU
sumber: suarapapua.com
0 SILAKAN BERKOMENTAR :
silakan komentar anda!