Oleh: Alves Fonataba
Satu tema propaganda Pemerintah Indonesia terhadap Rakyat Papua
yang terus-menerus ada selama ini adalah “keterbelakangan” (termasuk
infrastruktur) yang dikatakan merupakan salah satu hambatan dalam upaya
mensejahterakan Rakyat Papua. Dalam hal yang dikemukakan di atas, pemerintah
Indonesia nyata sekali gagal membuktikan pengakuannya bahwa yang menjadi
perhatian utama mereka adalah kesejahteraan rakyat Papua. Gelombang-gelombang
kekerasan dan represi serta pengendalian politik dan sosial yang ekstrim oleh militer
Indonesia adalah sangat menjadi hambatan utama bagi kegiatan hidup sehari-hari,
termasuk kebebasan bergerak, bertani, mencari ikan dan kemampuan untuk
mengangkut dan memasarkan barang-barang.
Bahkan pada saat-saat yang keadaannya relatif normal, kekhawatiran
mengenai keamanan, yang kadang-kadang bercampur dengan kepentingan pribadi dan
perusahaan, lebih diutamakan daripada kesejahteraan rakyat Papua Pendidikan
yang secara terang-terangan digunakan sebagai alat propaganda dan bukan untuk
pemenuhan kebutuhan dasar.
Pengambilan sumber alam dengan cara yang merusak dan tidak menjaga
kelangsungannya oleh para pejabat pemerintah dan rekanan usaha mereka
menghancurkan strategi kelangsungan hidup dan menguras “modal alam” yang
diharapkan oleh rakyat Papua untuk bisa dipergunakan dalam jangka panjang.
Terpusatnya perhatian pada keamanan cenderung mengalihkan dana investasi negara
ke bidang-bidang seperti pembangunan jalan dan perluasan aparat pemerintah
dengan mengorbankan hak-hak dasar bagi rakyat Papua.
Hak-hak ekonomi dan sosial dikemukakan dengan jelas dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHSEB).
Ketentuan-ketentuan di dalamnya memberikan standar dengan apa tindakan
Indonesia terhadap rakyat Papua bisa dinilai. Di dalam Kovenan itu sendiri dan
dalam penjelasan yang diuraikan oleh Komisi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
diakui bahwa karena tahap perkembangan ekonomi setiap negara tidak sama maka
tidak semua negara bisa memenuhi semua hak yang tercantum dalam Kovenan itu. Oleh
karena itu kewajiban negara- negara adalah mengambil tindakan-tindakan untuk
mencapai tingkat pemenuhan hak-hak tersebut secara bertahap sesuai kemampuan
masing-masing negara. Namun demikian, pada saat yang sama, setiap negara
mempunyai tanggung jawab inti yang harus selalu dipenuhi. Ini termasuk tanggung
jawab untuk menyediakan kebutuhan dasar tertentu, seperti makanan, tempat
tinggal, obat-obatan dasar, dan pendidikan dasar. Ketentuan-ketentuan tersebut
juga mengharuskan negara-negara dalam pemenuhan jaminan sosial dan ekonomi
tidak melakukannya secara diskriminatif dan tidak melakukan langkah mundur yang
dapat memperburuk pemenuhan hak-hak yang sudah dinikmati rakyat.
Pemerintah Indonesia telah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial di
setiap tingkatan di atas. Dalam banyak hal, negara mengambil langkah keamanan
yang ekstrem yang bertolak belakang dengan tanggung jawab inti yang semestinya
dipenuhi. Dalam keadaan demikian, negara gagal memenuhi kebutuhan dasar
penduduk, dan justru sering mengambil langkah mundur dan diskriminatif. Bahwa
negara Indonesia tidak mengupayakan setinggi mungkin pemenuhan hak-hak ekonomi
dan sosial rakyat Papua, dan sampai dengan sekarang, pembangunan di Papua masih
jauh tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia
Tingkat investasi Indonesia (termasuk modal asing) sangat besar
dan tingkat pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) yang dihasilkan cukup
tinggi. Namun demikian, alokasi investasi, distribusi PDB dan pemberian layanan
sosial, termasuk kesehatan dan pendidikan, semuanya dinihilkan oleh kesibukan
berlebihan pemerintah Indonesia dengan masalah keamanan, oleh gaya pemerintahan
yang otoriter, dan oleh persekongkolannya dengan kepentingan-kepentingan Modal
Besar (asing). Hal tersebut jelas menunjukkan kaitan yang erat antara
pelanggaran berat hak-hak sipil dan politik dengan pengabaian hak-hak sosial
dan ekonomi.
Hubungan hak sosial dan ekonomi dengan hak-hak lainnya
Adanya dua kovenan internasional, yaitu Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Sosial,
Ekonomi, dan Budaya, tampak mempertegas pemisahan antara kedua jenis hak
tersebut. Tetapi sebenarnya, pembukaan kedua Kovenan tersebut mengakui bahwa
kedua hak tersebut tidak terpisahkan. Kovenan Internasional tentang Hak Sosial,
Ekonomi, dan Budaya menyebutkan:
“Cita-cita mengenai manusia merdeka yang menikmati kebebasan sipil
dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan lapar hanya dapat dicapai bila
tercipta kondisi dimana setiap orang bisa menikmati hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya serta hak-hak sipil dan politik”.
Hubungan erat ini dipertegas oleh Deklarasi Vienna yang dicetuskan
pada tahun 1993dalam Konferensi Dunia PBB tentang Hak Asasi Manusia:
“Demokrasi, pembangunan, dan penghormatan kepada hak asasi dan
kebebasan hakiki manusia saling terkait dan saling menguatkan. Demokrasi
didasarkan pada kehendak rakyat yang diungkapkan dengan bebas untuk menentukan
sistem-sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya mereka sendiri dan
partisipasi penuh mereka di segala bidang kehidupan”.
Penting diperhatikan dampak kurangnya perhatian kepada hak-hak
sosial dan ekonomi oleh pengamat luar dan pengamat Indonesia, dibandingkan
perhatian kepada hak-hak sipil dan politik. Gabungan pelanggaran hak sosial dan
hak ekonomi dalam kondisi kemiskinan yang parah, seperti yang dialami rakyat
Papua, sering digunakan menjadi penjelasan mengapa pelanggaran tersebut tidak
mendapat perhatian tersendiri. Memang luas dan mendalamnya pelanggaran hak-hak
sosial dan ekonomi sering membuat kita lupa akan beratnya pelanggaran tersebut
dan sifat hakikinya sebagai suatu hak asasi manusia.
Lebih jauh, rendahnya nilai uang dari aset penduduk miskin yang
hilang sering menjadi sebab tidak adanya perhatian pada pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi ketika aset tersebut dirusak. mengenai dampak dari operasi militer
Indonesia misalnya mengecilkan nilai kerusakan harta benda, seringkali kita
dengar ....Di wilayah pedalaman banyak rumah penduduk/desa yang dibakar “ Tidak
ada kerusakan material yang parah...,
Nilai uang untuk membangun gubuk-gubuk sederhana ini mungkin tidak
besar, dan bahan-bahan untuk membangunnya kembali memang tersedia. Namun
demikian, masalah mendasarnya adalah bahwa semakin sedikit milik seseorang,
maka akan semakin besar dampak dari kehilangan rumah, harta benda, dan ternak.
Perusakan dan perampasan harta benda penduduk miskin yang terjadi
berulang-ulang membuat pemulihan berjalan lambat, dan sangat berat dari segi
ekonomi maupun emosional. Orang-orang yang berada di pinggir jurang penyakit,
kelaparan, dan ketidaktahuan karena kemiskinan yang parah adalah yang sangat
memerlukan perlindungan untuk hak-hak ini. Memang tidak adanya pemantauan yang
ketat pada hak-hak mereka itu sendiri merupakan indikasi dari diabaikannya
kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat Papua.
SUMBER: GROUP JARINGAN DAMAI PAPUA (FB)
Oleh: Alves Fonataba
Satu tema propaganda Pemerintah Indonesia terhadap Rakyat Papua
yang terus-menerus ada selama ini adalah “keterbelakangan” (termasuk
infrastruktur) yang dikatakan merupakan salah satu hambatan dalam upaya
mensejahterakan Rakyat Papua. Dalam hal yang dikemukakan di atas, pemerintah
Indonesia nyata sekali gagal membuktikan pengakuannya bahwa yang menjadi
perhatian utama mereka adalah kesejahteraan rakyat Papua. Gelombang-gelombang
kekerasan dan represi serta pengendalian politik dan sosial yang ekstrim oleh militer
Indonesia adalah sangat menjadi hambatan utama bagi kegiatan hidup sehari-hari,
termasuk kebebasan bergerak, bertani, mencari ikan dan kemampuan untuk
mengangkut dan memasarkan barang-barang.
Bahkan pada saat-saat yang keadaannya relatif normal, kekhawatiran
mengenai keamanan, yang kadang-kadang bercampur dengan kepentingan pribadi dan
perusahaan, lebih diutamakan daripada kesejahteraan rakyat Papua Pendidikan
yang secara terang-terangan digunakan sebagai alat propaganda dan bukan untuk
pemenuhan kebutuhan dasar.
Pengambilan sumber alam dengan cara yang merusak dan tidak menjaga
kelangsungannya oleh para pejabat pemerintah dan rekanan usaha mereka
menghancurkan strategi kelangsungan hidup dan menguras “modal alam” yang
diharapkan oleh rakyat Papua untuk bisa dipergunakan dalam jangka panjang.
Terpusatnya perhatian pada keamanan cenderung mengalihkan dana investasi negara
ke bidang-bidang seperti pembangunan jalan dan perluasan aparat pemerintah
dengan mengorbankan hak-hak dasar bagi rakyat Papua.
Hak-hak ekonomi dan sosial dikemukakan dengan jelas dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHSEB).
Ketentuan-ketentuan di dalamnya memberikan standar dengan apa tindakan
Indonesia terhadap rakyat Papua bisa dinilai. Di dalam Kovenan itu sendiri dan
dalam penjelasan yang diuraikan oleh Komisi Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
diakui bahwa karena tahap perkembangan ekonomi setiap negara tidak sama maka
tidak semua negara bisa memenuhi semua hak yang tercantum dalam Kovenan itu. Oleh
karena itu kewajiban negara- negara adalah mengambil tindakan-tindakan untuk
mencapai tingkat pemenuhan hak-hak tersebut secara bertahap sesuai kemampuan
masing-masing negara. Namun demikian, pada saat yang sama, setiap negara
mempunyai tanggung jawab inti yang harus selalu dipenuhi. Ini termasuk tanggung
jawab untuk menyediakan kebutuhan dasar tertentu, seperti makanan, tempat
tinggal, obat-obatan dasar, dan pendidikan dasar. Ketentuan-ketentuan tersebut
juga mengharuskan negara-negara dalam pemenuhan jaminan sosial dan ekonomi
tidak melakukannya secara diskriminatif dan tidak melakukan langkah mundur yang
dapat memperburuk pemenuhan hak-hak yang sudah dinikmati rakyat.
Pemerintah Indonesia telah melanggar hak-hak ekonomi dan sosial di
setiap tingkatan di atas. Dalam banyak hal, negara mengambil langkah keamanan
yang ekstrem yang bertolak belakang dengan tanggung jawab inti yang semestinya
dipenuhi. Dalam keadaan demikian, negara gagal memenuhi kebutuhan dasar
penduduk, dan justru sering mengambil langkah mundur dan diskriminatif. Bahwa
negara Indonesia tidak mengupayakan setinggi mungkin pemenuhan hak-hak ekonomi
dan sosial rakyat Papua, dan sampai dengan sekarang, pembangunan di Papua masih
jauh tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia
Tingkat investasi Indonesia (termasuk modal asing) sangat besar
dan tingkat pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) yang dihasilkan cukup
tinggi. Namun demikian, alokasi investasi, distribusi PDB dan pemberian layanan
sosial, termasuk kesehatan dan pendidikan, semuanya dinihilkan oleh kesibukan
berlebihan pemerintah Indonesia dengan masalah keamanan, oleh gaya pemerintahan
yang otoriter, dan oleh persekongkolannya dengan kepentingan-kepentingan Modal
Besar (asing). Hal tersebut jelas menunjukkan kaitan yang erat antara
pelanggaran berat hak-hak sipil dan politik dengan pengabaian hak-hak sosial
dan ekonomi.
Hubungan hak sosial dan ekonomi dengan hak-hak lainnya
Adanya dua kovenan internasional, yaitu Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Sosial,
Ekonomi, dan Budaya, tampak mempertegas pemisahan antara kedua jenis hak
tersebut. Tetapi sebenarnya, pembukaan kedua Kovenan tersebut mengakui bahwa
kedua hak tersebut tidak terpisahkan. Kovenan Internasional tentang Hak Sosial,
Ekonomi, dan Budaya menyebutkan:
“Cita-cita mengenai manusia merdeka yang menikmati kebebasan sipil
dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan lapar hanya dapat dicapai bila
tercipta kondisi dimana setiap orang bisa menikmati hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya serta hak-hak sipil dan politik”.
Hubungan erat ini dipertegas oleh Deklarasi Vienna yang dicetuskan
pada tahun 1993dalam Konferensi Dunia PBB tentang Hak Asasi Manusia:
“Demokrasi, pembangunan, dan penghormatan kepada hak asasi dan
kebebasan hakiki manusia saling terkait dan saling menguatkan. Demokrasi
didasarkan pada kehendak rakyat yang diungkapkan dengan bebas untuk menentukan
sistem-sistem politik, sosial, ekonomi, dan budaya mereka sendiri dan
partisipasi penuh mereka di segala bidang kehidupan”.
Penting diperhatikan dampak kurangnya perhatian kepada hak-hak
sosial dan ekonomi oleh pengamat luar dan pengamat Indonesia, dibandingkan
perhatian kepada hak-hak sipil dan politik. Gabungan pelanggaran hak sosial dan
hak ekonomi dalam kondisi kemiskinan yang parah, seperti yang dialami rakyat
Papua, sering digunakan menjadi penjelasan mengapa pelanggaran tersebut tidak
mendapat perhatian tersendiri. Memang luas dan mendalamnya pelanggaran hak-hak
sosial dan ekonomi sering membuat kita lupa akan beratnya pelanggaran tersebut
dan sifat hakikinya sebagai suatu hak asasi manusia.
Lebih jauh, rendahnya nilai uang dari aset penduduk miskin yang
hilang sering menjadi sebab tidak adanya perhatian pada pelanggaran-pelanggaran
yang terjadi ketika aset tersebut dirusak. mengenai dampak dari operasi militer
Indonesia misalnya mengecilkan nilai kerusakan harta benda, seringkali kita
dengar ....Di wilayah pedalaman banyak rumah penduduk/desa yang dibakar “ Tidak
ada kerusakan material yang parah...,
Nilai uang untuk membangun gubuk-gubuk sederhana ini mungkin tidak
besar, dan bahan-bahan untuk membangunnya kembali memang tersedia. Namun
demikian, masalah mendasarnya adalah bahwa semakin sedikit milik seseorang,
maka akan semakin besar dampak dari kehilangan rumah, harta benda, dan ternak.
Perusakan dan perampasan harta benda penduduk miskin yang terjadi
berulang-ulang membuat pemulihan berjalan lambat, dan sangat berat dari segi
ekonomi maupun emosional. Orang-orang yang berada di pinggir jurang penyakit,
kelaparan, dan ketidaktahuan karena kemiskinan yang parah adalah yang sangat
memerlukan perlindungan untuk hak-hak ini. Memang tidak adanya pemantauan yang
ketat pada hak-hak mereka itu sendiri merupakan indikasi dari diabaikannya
kesejahteraan sosial dan ekonomi rakyat Papua.
SUMBER: GROUP JARINGAN DAMAI PAPUA (FB)
0 SILAKAN BERKOMENTAR :
silakan komentar anda!