Monday, April 30, 2012

ANEKSASI LAWAN INTEGRASI AWAL “MALAPETAKA” BAGI ORANG PAPUA

Mypapua     11:43 AM   No comments

Oleh :Andy U. Gobay
Pada tanggal 1 Mei 1963 adalah memiliki sejarah tersendiri dimana Negara Indonesia merencanakan digagaskan Tentang Integrasi (versi Indonesia) Papua kedalam Negara Indonesia dengan ancaman keterpaksaan menggunakan  kekuatan Militer (Tni-Polri). Kondisi  ril, sedang terjadi orang Papua di Papua barat mulai  di Aneksasikan-nya (versi Papua)  Wilayah Papua ke dalam wilayah Indonesia dengan Paksa penuh Intimidasi kekuatan Militer sejak  1 Mei 1963, memulai status Papua Barat mengalami kondisi darurat (malapetaka)  hingga sampai detik ini,  dengan adanya  konflik di Papua Barat  yang terjadi selama puluhan tahun terakhir tidak akan selesai selama pemerintah menyelesaikan masalah di Papua dengan pendekatan operasi militer.


Integrasi menurut versi  Indonesia, tetapi menurut rakyat Bangsa Papua  adalah "ANEKSASI". Dalam media harian Bintang Papua, pada Selasa, 03 Mei 2011,  Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Erfi Triassunu, menyatakan: Integrasi Papua ke NKRI Sudah Final. Dan Pemerintah Indonesia dan orang Indonesia sering mengatakan Integrasi Papua sudah Selesai sejak 1 mei 1963,  Pernyataan  Pangdam ini dari perspektif militer dan pemerintah Indonesia dan orang Indonesia dapat dibenarkan.  Tetapi dari perspektif  Aktifis Pemuda, Aktifis Mahasiswa, Aktifis Ham, Aktifis Gereja, Lsm dan rakyat Papua(orang asli Papua), Akar rumput (kulit hitam dan rambut kriting) runpun malanesia, pemilik tanah, dan negeri ini dan sejarah tidak dapat dibenarkan.  

Karena itu, dalam opini ini akan diulas secara singkat sejarah dimasukkannya (dianeksasikannya)  Papua ke dalam wilayah  Indonesia sejak 1 Mei 1963.  Mengapa  mengatakan dari perspektif Aktifis Pemuda, Aktifis Mahasiswa, Aktifis Ham, Aktifis Gereja, Perempuan, Lsm  dan rakyat Papua(orang asli Papua)Akar rumput dan sejarah bahwa pengintegrasian Papua ke dalam wilayah Indonesia belum selesai (belum final)?  mengajukan pertanyaan yang sama dalam buku (Socratez Sofyan Yoman) yang berjudul: “INTEGRASI BELUM SELESAI”, diterbitkan oleh Cendrawasih Press, (2010:hal.8).“Mengapa rakyat dan bangsa Papua Barat tidak pernah mengakui dan menerima PEPERA 1969, tetapi secara konsisten dan terus-menerus melakukan perlawanan terhadap sejarah diintegrasikannya Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia?Apakah rakyat dan bangsa Papua Barat yang beretnis Melanesia ini keliru dalam memahami sejarah tersebut?” Jawaban pertanyaan-pertanyaan ini diuraikan secara singkat sebagai berikut: 1 Mei 1963  adalah awal dimulai malapetaka dan penjajahan penduduk asli Papua Status Papua dalam Sona darurat.

Tanggal 1 Mei 1963 adalah sejarah kemenangan bagi  Indonesia. Sementara bagi orang Papua tanggal 1 Mei 1963 adalah awal malapetaka dan pemusnahan etnis Papua dan ras Melanesia.   Mengapa dikatakan awal malapetaka dan pemusnahan etnis Papua?  Sebelum orang-orang Papua menyatakan pilihannya dalam PEPERA 1969, Indonesia sudah mengirimkan pasukan militer Indonesia dan menerapkan peraturan-peraturan Indonesia di Papua dan militer melaksanakan tugasnya dengan lebih kejam dalam menghadapi orang-orang Papua. 

Pasal 13 dari Perjanjian New York 15 Agustus 1962 menyatakan, “pasukan-pasukan keamanan PBB akan digantikan oleh pasukan keamanan Indonesia setelah tahap pertama pemerintahan UNTEA.Seluruh pasukan keamaan PBB akan ditarik pada saat pasukan keamanan PBB akan digantikan oleh penyerahan pemerintah kepada Indonesia”. Lebih lanjut, Pasal 14  dari Perjanjian New York adalah, “pelaksanaan undang-undang dan peraturan-peraturan nasional Indonesia di Papua Barat” sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969.  

Pemerintah Indonesia selalu mengatakan bahwa rakyat Papua kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 1 Mei 1963.  Pernyataan ini sangat keliru karena penduduk asli Papua tidak pernah terlibat dalam perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda. Jika  dikaitkan dengan pembuangan para pejuang Kemerdekaan Indonesia oleh Belanda  ke Boven Digul dan Pulau Serui bukan merupakan alasan substansial.

Yang pasti adalah dalam proses pelaksanaan PEPERA 1969 setelah 7 (tujuh) tahun sejak 1963 penduduk asli Papua 95% mendukung Papua Merdeka.  Bagaimana Pemerintah Indonesia mengkleim bahwa 1 Mei 1963 adalah Papua kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi?  Seharusnya terjadi pada pelaksanaan PEPERA 1969 adalah 95% penduduk asli Papua mendukung integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia karena 1 Mei 1963 telah kembali ke pangkuan ibu pertiwi, bukan sebaliknya.

Dalam buku (Socratez Sofyan Yoman) berjudul: “OPM (Otonomi, Pemekaran dan Merdeka) yang  diterbitkan Cendrawasih Press, 2011: hal. 112, Sofyan Yoman  mengutip penyatataan Duta Besar Amerika dan Pemerintah Indonesia.  “Pada bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia): “bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua”.  Sudjarwo mewakili Pemerintah Indonesia mengkaui, “banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia”.PEPERA 1969 dan UU No. 21 Tahun 2001

Logikanya ialah kalau Integrasi Papua ke dalam NKRI sudah Final melalui PEPERA 1969 tidak perlu lagi Pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 21 Tahun 2001 sebagai solusi final tentang status politik Papua ke dalam wilayah Indonesia.  Yang jelas dan pasti ialah UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus ini adalah solusi politik.Tetapi, sangat disayangkan, solusi final yang kedua ini dinyatakan telah GAGAL TOTAL oleh rakyat dan bangsa Papua dan Negara-negara donor.

Dr. Fernando Ortiz Sanz,  menyatakan:  “…tanpa ragu-ragu penduduk Irian barat dengan pasti memegang teguh berkeinginan merdeka” ( Sumber: Laporan Resmi Hasil PEPERA 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260). Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “ Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka” (Sumber:  UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47). 

Berhubungan dengan kepalsuan sejarah pelaksanaan PEPERA 1969 dibawah tekanan militer Indonesia, anggota resmi PBB juga melakukan protes  keras dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969 oleh anggota resmi PBB.   Mereka (anggota PBB) mempersoalkan pelaksanaan PEPERA yang penuh dengan kebohongan dan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hukum internasional.  Karena, hasil PEPERA 1969  itu dianggap melanggar hukum internasional , maka dalam Sidang Umum PBB hanya  mencatat “take note”.  Istilah “take note” itu tidak sama dengan disahkan.

Hanya dicatat karena masih ada masalah yang serius dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat. Hasil PEPERA 1969 tidak disahkan tapi hanya dicatat karena  perlawanan sengit dari beberapa Negara anggota PBB yang dimotori oleh pemerintah Ghana.   Itu menjadi terbukti dalam arsip resmi di kantor PBB, New York,  Amerika Serikat, terbukti: “ …156  dari 179 pernyataan yang masih tersimpan, sesuai dengan semua yang diterima sampai tanggal 30 April 1969,  dari pernyataan-pernyataan ini, 95 pernyataan anti Indonesia, 59 pernyataan pro Indonesia, dan 2 pernyataan adalah  netral” (Sumber resmi:  Dok PBB di New York: Six lists of summaries of political communications from unidentified Papuans to Ortiz Sanz, August 1968 to April 1969: UN Series 100, Box 1, File 5). 

Duta Besar pemerintah Ghana, Mr. Akwei, memprotes dalam Sidang Umum PBB, dengan mengutip laporan Dr. Fernando Ortiz Sanz tentang sikap Menteri Dalam Negeri Indonesia yang tidak terpuji yang ditunjukkan kepada peserta PEPERA di Papua Barat. “ yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum  bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari sabang sampai Merauke…”. 

Sedangkan Duta Besar pemerintah Gabon, Mr. Davin, mengkritik sebagai berikut: “ Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibinggungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz  Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa.Kami harus menanyakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekreratis Jenderal. Contoh: kami dapat bertanya:

a. Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?

b. Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja?

c. Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?

d. Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?

e. Mengapa prinsip “one man, one vote” yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?

f. Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?

g. Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka bahwa, “hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?

h. Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkupul tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua?   Protes Negara-Negara Afrika ini, J.P. Drooglever  menggambarkansebagai berikut: “….Sekelompok negara-negara Afrika melancarkan kritiknya, yaitu mereka yang sejak tahun 1961 telah bersimpati terhadap persoalan-persoalan Papua” (hal. 784). 


Masalah Papua Adalah Persoalan Internasional Bukan Masalah Indonesia

Pdt. Dr. Phil. Karel Erari dengan tepat mengatakan bahwa “Bagi Papua, konstruksi konflik berdimensi lokal, nasional dan internasional.  Dengan konstruksi seperti itu, maka upaya melakukan perdamaian atau “peace building” agar tercipta keamanan yang utuh dan konprehensif, hendaknya melibatkan tiga komponen yang terkait dalam sejarah “perang dingin” di Papua.

Mengapa, karena upaya membangun perdamaian demi keamanan bagi rakyat Papua, hanya akan sementara dan rapuh jika akar persoalan dan pihak-pihak yang terlibat dalam sejarah “perang dingin” itu berada di luar konstruksi perdamaian yang hendak dibangun. Kelompok internasional itu termasuk Belanda, Amerika Serikat dan PBB.Ketiga pihak ini telah terlibat secara langsung dan terbukti dalam suatu konspirasi internasional yang mendukung suatu praktik Act of Free Choice yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional. 

Praktek pelaksanaan PEPERA dengan sistem perwakilan, memperlihatkan kebohongan publik, karena 1025 “wakil rakyat” dengan tekanan politik dan militer, dipaksa memilih Indonesia” (hal. 182).

Seorang cendikiawan dan kawakan yang dimiliki Indonesia, seperti Dr. Ikrar Nusa Bhakti menyatakan: “Sejak dulu hingga kini, persoalan Irian Jaya bukan hanya persoalan antara Indonesia dan penduduk Papua Barat, melainkan juga persoalan yang menyangkut internasional.  Ini bukan hanya mengaitkan hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dan Pemerintah, tetapi juga antar Gereja….” ( Yoman: Kita Meminum Air Dari Sumur Kita Sendiri, 2010, hal. 227).  LIPI dalam buku Papua Road Map dengan jelas memperlihatkan bahwa masalah tidak dilepaskan dari konteks Internasional.

 “Konflik Papua telah berlangsung selama 48 tahun dan tidak dapat dilepaskan dari konteks internasional karena sejak awal proses integrasi dengan Indonesia telah melibatkan peranan Belanda dan Amerika Serikat dalam Perjanjian New York 1962” (Papua Road Map: 2009,40). 

Persoalan Papua Adalah Persoalan Hukum 

Dekade sandiwara politik sudah berakhir di Tanah Papua dengan rekayasa PEPERA 1969 dan produk  UU RI  No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus. Sekarang adalah eranya kepastian hukum bersuara untuk tegaknya nilai kebenaran dan keadilan bagi penduduk asli Papua. 

Walaupun Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa peluncuran IPWP (International Parliamentarian  for West Papua) dan ILWP (Internaional Lowyer for West Papua) di London, Inggris, dinilai hanya pertemuan “kongkow-kongkow”  tetapi bagi  ILWP dan ILWP itu dengan pelan tapi dengan langkah yang pasti terus bertumbuh dan berkembang.

Pada bulan 2 Agustus 2011 telah diadakan seminar tentang PEPERA 1969 oleh para pakar hukum Internasional untuk melihat masalah PEPERA dari aspek hukum.  (Oktovianus Pogau) Menjelaskan  mengamati secara cermat Hasil KTTP ILWP tersebut, dan Pogau akan berusaha menjelaskan setiap bagian secara rinci hasil dari KTTP ILWP  dengan Thema “the Road to Freedom” Point pertama; kami telah mendengar sekarang atas situasi yang paling buruk dan serius di Papua Barat.

Sejak 19 Desember 1961 –18 hari setelah deklarasi kemerdekaan Papua Barat dengan lagu hai tanahku Papua, burung mambruk sebagai lambang Negara, bintang kejora sebagai bendera Negara, Sorong sampai Samarai sebagai wilayah Negara Papua Barat, dan juga dibentuk pemerintahan oleh 70 orang terdidik Papua Barat yang disebut Komite Nasional Papua (KNP)–Indonesia telah masuk secara ilegal dengan tujuaan menggagalkan berdirinya Negara Papua Barat dan membunuh semua warga sipil di Papua Barat yang dianggap pro terhadap kemerdekaan, juga terhadap Belanda (Don Flassy, 2003). 

Sudah banyak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan militer Indonesia terhadap warga sipil sejak mereka menginjakan kaki di Bumi Cendrawasih.Wajah Indonesia dimata rakyat adalah pembunuh nyawa jutaan warga sipil tak berdosa. Kalau mau dihitung, sampai saat ini sudah hampir puluhan kali operasi militer diberlangsungkan –termasuk semenjak setelah reformasi, dan bahkan era Otonomi Khusus sekalipun– dengan sasaran warga sipil yang “dicurigai” sebagai anggota atau simpatisan Organisasi Papua Mereka (OPM) (Imparsial, 2011). Lembaga hak asasi manusia tingkat internasional seperti Amnesty International, Human Rights Watch (HRW) dan Tapol sering melansir kejahatan-kejahatan tersebut, dan meminta pertanggung jawaban pemerintah Indonesia. 

Ada yang menyebut jumlah korban berkisar 1 juta, ada lagi yang menyebutkan 2 juta, bahkan ada juga yang menyatakan hanya berkisar 100.000 orang saja (Yakobus Dumupa, 2008). Terlepas dari berapa jumlahnya, tapi yang perlu kita tahu adalah militer Indonesia telah, dan memang pernah bahkan sedang melakukan kejahatan kemanusiaan di Papua Barat.

Situasi memprihatinkan diatas, juga kejahatan kemanusia seperti inilah yang telah didengar oleh dunia internasional, terutama pasca konfrensi di Oxford, Inggris lalu. Artinya, masyarakat Internasional tentu akan memberikan dukungan setelah mendengar penderitaan dan situasi paling buruk yang terjadi di Papua Barat sejak Indonesia masuk secara ilegal. Indonesia tidak bisa menutupi kebobrokan mereka di mata masyarakat Internasional, terutama terkait kejahatan kemanusiaan. 

Point Kedua; akar masalah Papua Barat terletak pada hak penentuan nasib sendiri (PEPERA 1969).Setelah Indonesia masuk secara illegal, dan membunuh jutaan warga sipil yang dianggap pro kemerdekaan, juga berhasil “mengusir” Belanda, Amerika Serikat melalui duta besar mereka di PBB, Elswort Bunker mengajukan satu proposal penyelesaian masalah Papua Barat (Jhon Saltford, 2006).Ini yang diterjemahkan dalam sebuah perjanjian yang disebut dengan “New York Agreement 1962”. Di dalamnya disepakati bahwa seluruh rakyat Papua Barat akan menentukan nasib mereka sendiri, apakah ingin ikut dengan Indonesia, atau merdeka sebagai sebuah bangsa.

Lagi-lagi Indonesia melalui kekuatan aparat militer melakukan pengkondisian wilayah Papua Barat, juga melakukan teror, intimidasi, dan bahkan membunuh siapapun warga Papua Barat yang inginkan kemerdekaan.Ada beberapa point yang dilanggar Indonesia, dan inipula yang menjadi akar konflik di Papua Barat.Pertama, aturan one man, one vote tidak dilaksanakan. Indonesia dengan segala “kelicikan”  hanya memilih 1025 orang dari 800.000 jumlah penduduk Papua Barat, juga non-Papua untuk ikut dalam PEPERA (P.J Drooglever, 2005).

Dan mereka dikarantina selama dua bulan.Mereka diancam dibunuh, termasuk keluarga mereka jika tak memilih ikut dengan Indonesia.Kedua; pada saat Indonesia mempersiapkan PEPERA, diplomat asing, wartawan, bahkan utusan khusus PBB dilarang masuk, dan bahkan kunjungan mereka dipersulit.Indonesia tentu tidak mau kedok mereka diketahui masyarakat Internasional.Ketiga; dalam PEPERA tersebut Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM berat.Hasilnya memang Indonesia menang telak.Fokus persoalan ini juga yang menjadi sorotan saat konfrensi di Inggris.Dan saat ini masyarakat internasional telah tahu bahwa PEPERA adalah rekayasa, juga manipulasi pemerintah Indonesia untuk merebut tanah Papua Barat secara paksa.  

Point Ketiga; oleh karena itu kami kembali mendeklarasikan pengacara internasional Papua Barat secara khusus bahwa orang Papua Barat memiliki hak mendasar  untuk menentukan nasib sendiri dibawah hukum internasional dan bahwa hak ini masih ada dan belum dilakukan. Pengacara-pengacara internasional untuk Papua Barat yang tergabung dalam ILWP diketuai Melinda Janki, dengan salah satu anggota Jennifer Robinson –pengacara utama Julian Assanges, pendiri situs Wikileaks– adalah untuk menggugat Negara Indonesia secara hukum terkait masalah PEPERA 1969 yang memang penuh rekayasa dan manipulasi.

Konfrensi yang berlangsung pada 02 Agustus lalu juga telah memperlihatkan semangat, juga tekad mereka dalam membantu penyelesaian masalah Papua Barat secara hukum ditingkat mahkamah internasional. ILWP tidak akan menggugat Indonesia di PBB, tetapi Negara Vanuatu yang akan menjadi semacam kendaraan untuk ILWP bernaung, dan menggugat pemerintah Indonesia. Dalam aturan, memang sebuah lembaga atau organisasi tak bisa menggugat Negara. Komentar beberapa pengamat hukum internasional di Indonesia yang menyatakan ILWP atau OPM tak bisa gugat Indonesia di mahkamah internasional memang benar, tetapi sekali lagi saya ingin jelaskan, Negara Vanuatu yang akan mengajukan gugatan terhadap Indonesia ke Mahkamah Internasional.

Yang menjadi cita-cita dan tujuan utama perjuangan rakyat Papua Barat adalah menyatakan kepada dunia  internasional, termasuk Indonesia bahwa rakyat Papua Barat memunyai hak untuk menentukan nasib sendiri seperti yang tertera dalam Pasal 1 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, juga Kovenan  Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang berbunyi “Semua bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka dapat secara bebas menentukan status politik mereka dan secara bebas mengejar kemajuan ekonomi, social, dan budaya mereka”.Indonesia adalah salah satu anggota PBB, dan harus mematuhi ketetapan yang dibuat oleh PBB.Dalam konfrensi di Oxford, Inggris, hak rakyat Papua Barat untuk menentukan nasib sendiri tentu menjadi bahan pembicaraan yang cukup serius.

Point keempat; kami menyerukan kepada semua Negara untuk bertindak pada tingkatan yang lebih tinggi dan mendesak kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan menuntut agar orang-orang Papua Barat diberikan kesempatan yang benar untuk menentukan nasib sendiri. Setelah konfrensi di Oxford, Inggris, pada 02 Agustus lalu, tentu perhatian dunia internasional terhadap Papua Barat akan berbeda. Papua Barat akan dianggap sebagai wilayah koloni (jajahan) Negara Indonesia yang tentu harus diberikan dukungan agar dapat melepaskan diri. Jika Indonesia beranggapan Papua Barat bukan daerah koloni, kenapa sampai saat ini tidak ada kemajuan yang signifikan di tanah Papua Barat?Kenapa hak-hak hidup orang asli Papua tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh?Kenapa masih banyak operasi militer yang dilakukan untuk membunuh setiap warga sipil di Papua Barat.Saya kira pertanyaan-pertanyaan yang tak mungkin bisa dijawab pemerintah Indonesia.

Melihat keempat point KTT ILWP diatas, tentu telah sedikit memberikan harapan kepada rakyat Papua Barat, bahwa perjuangan kita selama ini tidak sia-sia. Bukan berarti, setelah KTT ILWP, masalah Papua Barat akan terselesaikan dengan secepatnya. Rakyat Papua Barat bersama media nasional saat ini (baca: KNPB) perlu bekerja lebih keras, juga meyakinkan dunia internasional tentang penderitaan rakyat Papua Barat. Dan terus menyatakan kepada pemerintah Indonesia, bahwa Papua Barat bukan bagian dari NKRI.Dengan catatan singkat ini saya berharap Pangdam XVII/Cenderawasih bisa mendapatkan gambaran pasti, bahwa hasil KTT ILWP telah memberikan hasil yang pasti bagi kemajuan perjuangan rakyat Papua Barat.


 Awal mulai Operasi Militer  Papua   Barat yang di sebut dengan operasi militer Operasi Trikora, juga disebut Pembebasan Irian Barat, adalah konflik 2 tahun yang dilancarkan Indonesia untuk menggabungkan wilayah Papua bagian barat. Pada tanggal 19 Desember 1961Soekarno (Presiden Indonesia) mengumumkan pelaksanaan Trikora di Alun-alun Utara Yogyakarta. Soekarno juga membentuk Komando MandalaMayor Jenderal Soeharto diangkat sebagai panglima. Tugas komando ini adalah merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer untuk menggabungkan Papua bagian barat dengan Indonesia.

Kesimpulan: Yang jelas dan pasti adalah Integrasi Papua ke dalam Indonesia Belum Final.  Karena,  masalah status politik Papua adalah masalah hukum dan pelanggaran HAM yang kejam sejak tahun 1963 sampai saat ini. Maka jalan penyelesaian menyeluruh masalah Papua harus ditemukan.  Gereja-gereja di Papua, Elemen-eleman gerakan Pro Kemerdekaan, Dewan adat, seluruh Rakyat Papua di Papua Barat, seluruh Rakyat Papua  sedunia,  dan Dewan Gereja-gereja Reformasi Se-Dunia   terus mendukungFererendum sebagai solusi akhir Bagi rakyat Papua barat. Dan damai antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral.seluruh Rakyat Papua di Papua Barat menilai bahwa PEPERA 1969 adalah palsu dan penuh kebohongan. Seluruh Rakyat Papua di Papua Barat mengakui bahwa  masalah status Papua adalah masalah hukum seluruh Rakyat Papua di Papua Barat juga mengakui bahwa masalah Papua adalah persoalan Internasional.

Rezim kolonil Indonesia harus mengakui, bahwa sudah tidak mampu, tidak bisa, dan bahkan telah gagal total membangun Papua Barat. Kenapa harus gagal, karena pemerintah Indonesia membangun Papua Barat lebih menggunakan pendekatan keamanan Aparat Militer Tni-Polri  dari Mengutip pernyataan Ali Murtopo, orang kepercayaan Suharto saat Papua Barat akan dipaksa berintegrasi “Jika orang Papua Barat mau merdeka, pergi saja ke bulan dan buat Negara disana. Atau mengemis ke Amerika Serikat agar orang Papua Barat dipindahkan ke pulau Hawai.Kami (Indonesia) hanya butuh tanah dan sumber daya alam kalian.

Kami sama sekali tidak butuh manusianya” (Socrates Sofyan Yoman, 2007).Pernyataan Ali Murtopo ini memperlihatkan betapa kejam dan jahatanya Rezim kolonil Indonesia terhadap warga Papua Barat, pemilik negeri Papua Barat Bumi cendrawasih yang telah dikaruniakan Tuhan.jangan ego dengan Elemen/fraksi  pergerakan tetapi Mari Kawan-kawan selamat Bangsa Kami yaitu Bangsa Malanesia Papua Barat dan Mari kita selamatkan Agenda-agenda perjungan Rakyat sama-sama. Untuk rakyat Papua Barat Runpun Malanesia, kita harus tetap dan terus berjuang sampai tujuan Kita “Medeka” Ingat Jumlah kita satu yaitu Papua dan Lawan kita juga satu Kolonial NKRI, mari satukan barisan Melawan Kolonial yang ada diatas daratan  Papua Barat.  (Andy U. Ogobay)

Sumber: TabloidJubi, Bintang Papua, Buku Yoman, Suarababtis

, ,

Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

0 SILAKAN BERKOMENTAR :

silakan komentar anda!

Translate

Followers

NEWS