Thursday, March 22, 2012

Pemerintah Indonesia Gagal Membangun dan Melindungi Penduduk Asli Papua

Mypapua     3:03 AM  

Oleh: Socratez Sofyan Yoman*      



Rev Socratez Sofyan Yoman (Foto: Ist)
“Menteri Dalam Negeri  Indonesia menyatakan….pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia” (Sumber:  United  Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN Assembly, agenda item 98,19 November 1969, paragraph 18, p.2).

Saya memberikan apresiasi dan rasa hormat kepada Sdr.  Mayor Inf Tri Ubaya, S.H. atas opini yang diulas dalam Bintang Papua, Senin, 19 Maret 1012, Selasa, 20 Maret 2012,  hal. 4.  Hemat saya, ulasan sejarah PEPERA 1969 dengan landasan berbagai Perjanjian-Perjanjian (Covenant) Internasional yang disajikan memang benar dari sudut pandang atau perspektif pemerintah dan aparat keamanan Indonesia.
Saya respek atas karya-karya yang elegan dan cerdas seperti ini.Terutama, pada Perjanjian-Perjanjian Internasional yang dikutip dalam opini ini.   Tulisan-tulisan seperti ini kita bersama-sama akan mencerdaskan kedua bangsa yang sedang bertikai selama ini, yaitu: bangsa Indonesia yang beretnis Melayu dan bangsa Papua Barat yang beretnis Melanesia yang sedang diduduki dan dijajah oleh Pemerintah Indonesia. Ulasan sejarah seperti ini juga membangun pemahaman sejarah kedua bangsa ini dan juga membawa pencerahan dan sekaligus perubahan paradigma kita yang salah selama ini.
Para pembaca dengan cerdas menilai mana yang benar dan mana yang bertolak belakang  dengan hati nurani. Apa yang disampaikan oleh Sdr. Mayor Inf Tri Ubaya yang berkaitan dengan sejarah PEPERA 1969 lebih akomodatif kalau dengan jujur melihat   laporan PBB Annex I dan laporan Pemerintah Indonesia Annex II.  Di sini ada jurang yang besar atau tebing yang sangat terjal yang sulit terjembatani. Kecuali dibutuhkan kerendahan hati dan kejujuran untuk mengakui kesalahan. Saya menghargai perdebatan yang cerdas dan  bermartabat ini. Kita telah memasuki era perabadan manusia yang menggunakan hati nurani, kecerdasan iman, logika sehat  sebagai anak-anak Tuhan yang saling menghormati dalam perbedaan. Karena perbedaan adalah kekayaan dan juga sekaligus kekuatan.
Saya juga yakin bahwa opini ini akan dinikmati oleh 2.000 sampai 2.500 orang sesuai dengan opla Bintang Papua di setiap pagi.  Saudara-saudara, para pembaca setia Bintang Papua, selamat membaca dan berdoa supaya kita diberkati dan dipelihara oleh Tuhan di atas tanah ini. Kita sebagai sesama manusia, jangan kita berdansa-dansa, menari-menari di atas penderitaan, tetesan darah dan cucuran air mata umat Tuhan yang dibantai selama ini atas kepentingan nasional atau atas nama NKRI.  Saudara-saudara yang terkasih, ikutilah ulasan saya sebagai berikut.   
1. Sejarah diintegrasikannya (aneksasi)  Papua ke dalam Indonesia

Proses pengintegrasian Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui cara-cara yang tidak beradab. Pemaksaan dengan kekerasan militer menjadi pilihan waktu itu.  Bukti-bukti sudah beberapa kali saya sampaikan dalam opini-opini saya sebelumnya.  Kalau dikatakan tidak ada Negara yang menolak,  itu patut kita pertanyakan. Memang dalam voting tidak ada yang menolak, seperti yang telah ditulis oleh Sdr. Mayor Tri yang disalin dari dokumen Sidang Umum PBB tahun 1969.  Tetapi Sdr. Tri lalai dalam melihat secara utuh dalam proses persidangan yang alot dan beberapa kali sidang ditunda.  
Perlawanan atau penolakan hasil PEPERA 1969 dalam Sidang Umum PBB ada Negara yang menolak. Itu terbukti dengan pernyataan resmi dari beberapa Negara.  Contoh yang tertulis dalam dokumen PBB itu ada. Duta Besar perwakilan tetap Pemerintah Gana di PBB, Mr. Akwei melawan dan menolak dengan pernyataan yang tegas sebagai berikut.
“…yang dilaporkan oleh perwakilan Sekretaris Umum PBB bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing, dimana Menteri Dalam Negeri naik di mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia, dia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideology, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari Sabang sampai Merauke. Dia menambahkan, pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia. Dia menyatakan atas sidang supaya Merauke sebagai kemenangan awal” ( Dok PBB A/7723 dan Corr.1, Annex 1, paragraf 195, dan United Nations Offical Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 28, p.42).

Sedangkan delegasi Pemerintah Gabon, Mr. Davin, dalam perlawanan dan penolakannya dengan tegas mengatakan ketidakjujuran dan penipuan pemerintah Indonesia terhadap orang Papua dalam pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat sebagai berikut: “ Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami menyatakan pendapat tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz  Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya luar biasa. Kami harus menanyakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumlah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekreratis Jenderal. Contoh: kami dapat bertanya:

a. Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?
b. Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20 persen wakil, beberapa dari mereka hanya sebentar saja?
c. Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh Gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?
d. Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
e. Mengapa prinsip “one man, one vote” yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal tidak dilaksanakan?
f. Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?
g. Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil di depan umum dengan menyampaikan mereka bahwa, “hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
h. Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkupul tidak dinikmati oleh seluruh penduduk asli Papua?  ( Sumber:  United Nations Offical Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p.42).
Pertanyaannya ialah (1) apakah kritik-kritik yang bernafaskan nilai kebenaran dan keadilan ini bukan disebut dengan menolak hasil PEPERA 1969?  (2) Apakah Negara Ghana dan Gabon berada dalam posisi blanko itu bukan menolak hasil PEPERA 1969?  Saya harap, supaya kita harus jujur bahwa PEPERA 1969 adalah cacat hukum, cacat moral dan juga cacat demokrasi.
Kita tidak usaha bertahan dengan perbuatan yang jelas-jelas jahat dan kejam yang mencederai hati nurani rakyat Papua.  Karena itu, dengan tepat pernyataan ini dikutip kembali.  ”Tinggal soal waktu saja kita senang atau tidak, mau atau tidak akan kehilangan Papua karena kita gagal merebut hati orang Papua dan itu kesalahan bangsa sendiri dari awal,” (Dr.Adnan Buyung Nasution, S.H. :  sumber: Detiknews, Rabu, 16 Desember 2011). Pengakuan seorang pakar hukum terkenal dan terkemuka di Indonesia bahkan di dunia ini adalah tepat dan benar.  Dalam perspektif hukum, keberadaan Papua dalam Indonesia sangat diragukan keabsahannya.  

2. Pelanggaran HAM yang merupakan kejahatan Negara atas Rakyat Papua 

Menteri Dalam Negeri Indonesia di Merauke pernah menyatakan: …. pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia.” (United Nations Offical Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Assembly, agenda item 98, 19 November 1969, paragraph 28, p.42). Ortiz Sanz dalam laporan resmi PBB mengutip bahwa Pemerintah Indonesia berkeinginan dan mampu melindungi untuk rakyat Irian Barat” tetapi realitasnya sekarang adalah bukan melindungi rakyat Papua. Tetapi sangat sayang, sebaliknya,rakyat asli Papua  diperlakukan dan dibantai seperti hewan dengan stigma kuno dan yang sudah  usang yaitu: “separatis, makar dan OPM.” Pemerintah Indonesia berkeinginan dan mampu membangun dan melindungi siapa?  Apakah contoh-contoh di bawah ini pemerintah Indonesia melindungi dan membangun  rakyat asli  Papua?
”Tiga  orang yang ditembak mati oleh aparat keamanan TNI dan POLRI di lapangan Zakheus pada 19 Oktober 2011, pelakunya tidak dihukum, hanya diberikan disiplin.  Penyiksa dan pembunuh Pendeta Kindemen Gire dari anggota TNI hanya diberikan hukuman beberapa bulan. Pembunuh Pendeta Elisa Tabuni (2004) oleh kopassus tidak pernah diusut. Pembunuh Yustnius Murip dan delapan rakyat sipil di Yeleka,Wamena (2003), para pelaku dari TNI tidak pernah ditangkap, diadili dan dihukum dan dipenjarakan.  Pembunuh Opinus Tabuni pada hari HAM Internasional di Wamena (2009),pelakunya tidak pernah diungkap dan ditangkap. Pembunuh  mahasiswa Orry Doronggi dan Jonny Karunggu (2000) di rumah tanahan Polisi Jayapura tidak pernah dihukum dan dipenjarakan.  Pembunuh Omanggen Wonda di Tingginambut oleh anggota Batalyon 756, pelakunya tidak pernah ditangkap dan dihukum. Pembunuh Theys Hiyo Eluay dan sopirnya Aristoteles Masoka diberikan gelar kehormatan pahlawan. Pembunuh Kelly Kwalik  (16/12/2009) adalah Densus 88 dan anggota TNI dan POLRI yang terlibat tidak ditahan dan diadili. Pembunuh Yawan Wayeni, Imam Setiawan (mantan Kapolres Serui dan Kapolresta Jayapura) diberikan promosi jabatan ke Mabes POLRI Jakarta.”

3. Otonomi Khusus sebagai solusi politik yang telah gagal

Kegagalan Otonomi Khusus Otononi Khusus  adalah solusi politik atau bargaining politik  antara bangsa Papua dan bangsa Indonesia, supaya orang asli Papua tetap dalam Indonesia dengan jaminan untuk melindungi rakyat Papua, pemberdayaan orang asli Papua,  keberpihakan kepada orang asli Papua.  Tetapi,  “dalam realitasnya, Otonomi Khusus memang benar-benar gagal. Otonomi Khusus benar-benar menjadi mesin pembunuh umat Tuhan di Papua dan penghancur masa depan rakyat dan bangsa Papua. Otonomi Khusus benar-benar menjadi alat ampuh proses pemusnahan etnis Papua lebih aman, cepat, sistematis dan tidak menimbulkan kecurigaan-kecurigaan dari masyarakat internasional yang peduli tentang kemanusiaan. Otonomi Khusus adalah lembaga yang memperpanjang penderitaan, tetesan dan cucuran air mata penduduk asli Papua. Otonomi Khusus adalah solusi dan keputusan politik tentang status politik Papua ke dalam Indonesia yang telah gagal.
Otonomi Khusus adalah mesin penghancur yang benar-benar meminggirkan (memarjinalkan) penduduk asli Papua dari segala aspek. Otonomi Khusus adalah PEPERA 1969 jilid kedua yang telah gagal dan telah menjadi persoalan baru.”(baca: Opini saya: Otonomi Khusus Telah Gagal di Papua:  Bintang Papua, Kamis, 09/02/2012, hal.5 dan Sudah Waktunya: Rakyat Papua Berdiri Sendiri : di Pasific Post, 13 Maret 2012 dan Bintang Papua, 16 Maret 2012

4. Arus kuat realitas di tengah-tengah Rakyat Papua yang menuntut Berdiri Sendiri (Merdeka)

Contoh-contoh realitas. Pertama,   Pada Konferensi Perdamaian Papua pada 5-7 Juli 2011 di Auditorium Uncen Jayapura yang diselenggarakan oleh Jaringan Damai Papua (JDP).  Para pembicara adalah orang-orang terpandang dan terhormat, seperti: Menkopolhukam, Gubernur, Kapolda, Pangdam XVII Cenderawasih, Uskup Dr. Leo Laba Ladjar, OFM.,  Dr. Tonny Wanggai, Dr. Pdt. Benny Giay (tidak hadir)  dan Saya (Socratez Sofyan Yoman).  Pada saat giliran dari perwakilan KODAM XVII untuk menyampaikan materi, pembicara diberikan kesempatan dan mengambil tempat di podium oleh moderator. Sebelum pembicara menyampaikan materi, ada komando seperti ini: “Saudara-saudara, kalau saya sebut kata “Papua”, saudara-saudara peserta menyahut dengan kata “Damai”.  Pembicara dari Kodam ini sebut  Papua dan peserta menjawab dengan “Merdeka”.  Pembicara sebut Papua: Peserta menjawab: Merdeka. Dan terakhir ketiga kalinya: Pembicara sebut Papua dan peserta menyambut dengan kata “Merdeka”.
Kedua, Pada tanggal  17-19  Oktober 2011, Rakyat Papua berkumpul di lapangan sepak bola Zakeus Padang Bulan Abepura dan menyatakan merdeka dan berdiri sendiri sebagai bangsa berdaulat di atas tanah leluhurnya.
 
Ketiga, Pada tanggal 10 Januari 2012, saya dengan Pendeta Marthen Luther Wanma mengadakan pertemuan  dengan rakyat Manokwari di Gereja GKI Effata Manokwari untuk memberikan penjelasan hasil pertemuan kami dengan bapak Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono, di Cikeas, 16 Desember 2011.   Sebelum kami memberikan penjelasan, saya mengajukan satu pertanyaan sebagai seorang gembala umat kepada umat atau domba-domba yang hadir. Pertanyaan saya  sebagai berikut: “ Saudara-saudara, siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini?”  Seluruh rakyat yang hadir serentak berdiri dan angkat tangan dan mengatakan merdeka…. merdeka….. merdeka….”. Yang tidak berdiri hanya 3 orang PNS, salah satunya adalah Bapak Sekda Kabupaten Manokwari.
Keempat, Pada tanggal 20 Januari 2012 pertemuan dengan rakyat di Sorong dengan tujuan yang sama. Pada pertemuan itu yang mewakili Danrem Sorong dan Kapolreta Sorong hadir untuk mengikuiti penjelasan itu. Saya mengajukan pertanyaan yang sama. Saudara-saudara, siapa-siapa yang mau merdeka di atas tanah leluhur orang Melanesia ini?  “ Seluruh hadirin yang memenuhi ruangan itu berdiri dan angkat tangan dan mengatakan: merdeka……. merdeka……… merdeka…….. merdeka…..”. Yang tidak berdiri hanya bapak yang mewakili Danrem dan Kapolresta Sorong.
Kelima, beberapa hari dan hari ini, rakyat Papua melakukan demonstrasi besar-besaran dengan menuntut kemerdekaan atau berdiri sendiri di atas tanah dan negeri leluhur mereka. Ini di depan mata dan hidung kita. Ini bukan kita bermimpi.Ini bukan menghayal. Ini realitas hari ini. Minggu ini. Bulan ini.Tahun ini.
Pemerintah dan aparat keamanan dan para hakim yang bertugas di Tanahnya orang Papua, mari berkaca pada pengalaman sejarah seperti ini. “Kerajaan Romawi yang kuat dan perkasa yang pernah ada dan berkuasa, telah runtuh dan tinggal kenangan. Tembok Berlin yang kuat tapi tidak mampu bertahan memisahkan Jerman Timur dan Jerman Barat, tapi tembok itu telah runtuh. Uni Soviet yang kuat dan gagah telah berkeping-keping dan menjadi 15 Negara. Yugoslavia telah porak-poranda dan menjadi 6 Negara. Sedangkan Djuyoto Suntani, Presiden The World Peace Committee dalam bukunya: Tahun 2015 Indonesia “Pecah”  memprediksi pada tahun 2015, Indonesia akan pecah menjadi 17 Negara.”
Akhirnya, saya mau mengutip kembali keyakinan iman saya. ”SAYA TAHU, saya mengerti dan juga saya sadar apa yang saya baktikan ini. Karena itu, Anda yakin atau tidak yakin, Anda percaya atau tidak percaya, Anda suka atau tidak suka,  Anda senang atau tidak senang, cepat atau lambat, penduduk asli Papua Barat ini akan memperoleh kemerdekaan dan berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa dan Negara berdaulat di atas Tanah leluhur mereka.
Dalam keyakinan dan spirit itu, apapun resikonya pendapat serta komentar orang, saya dengan keyakinan yang kokoh dan keteguhan hati nurani, saya mengabdikan ilmu saya untuk menulis buku-buku sejarah peradaban dan setiap kejadian di atas tanah ini. Supaya anak-cucu dari bangsa ini, ke depan, akan belajar bahwa bangsa ini mempunyai pengalaman sejarah perjalanan dan penderitaan panjang yang pahit dan amat buruk yang memilukan hati yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia” (Ita Wakhu Purom, Numbay (Jayapura), Papua Barat, Kamis,09 Juni 2011, 21:17 WP).  Pernyataan iman ini telah diabadikan dalam buku saya yang ke-13 berjudul: “ West Papua: Persoalan Internasional” ( Yoman: 2011, hal.4).  Shalom.Tuhan memberkati kita semua.

*Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

, ,

Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

Translate

Followers

NEWS