Thursday, February 2, 2012

Solidaritas Untuk Papua Menggelar Jumpa Pers : terkait Pelanggaran Ham Paniai

Mypapua     2:41 PM  

JOGYA (UMAGI)-- Sebelumnya pada tanggal 26 Januari, Solidaritas Untuk Papua (SUP) telah mnggelar Aksi Unjukrasa. Aksi yang digelar adalah terkait dengan situasi di Papua khususnya di kabupaten Paniai. Yang mana sampai dengan saat ini situasi masyrakat masih trauma dengan penyerangan aparat pada tanggal 19 desember 2011 dan selanjutnya hingga saat ini empat kampung telah diduduki oleh aparat keamanan sedangkan warga masyarakat penghuni kampung tersebut mengungsi ke tempat yang lain.

Terkait dengan situasi ini maka SUP menggelar unjuk rasa dan berlanjut dengan melakukan jumpa pers. Agar apa yang terjadi di Papua terutama di Kabupaten Paniai mendapat respon dari pemerintah pusat.
Adapun jumpa pers digelar sekitar pukul 10.00 WIB di asrama mahasiswa Kamasan 1 Yogyakarta.  
Dalam jumpa pers tersebut ada beberapa poin yang dicatat antara lain :
-         Peristiwa yang terjadi membuat timbulnya berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi dan tidak pernah terselesaikan
-         Perhatian Pemerintah Pusat dan Daerah terkesan membiarkan persoalan ini berlanjut.
-         Tidak ada perhatian serius dari pusat maupun daerah untuk selesaikan persoalan ini.
-         Perampasan tanah rakyat untuk perusahan dan lain sebagainya
-         Tuduhan kepada TPN/OPM sebagai kelompok yang harus di kejar ternyata masyarakat kampunglah yang diserang dan terusir keluar dari tanahnya.
-         Berbagai persoalan di Papua telah lama terjadi bahkan sejak 1961 hingga kini dan ini hadirkan banyak luka, yang bila tidak diobati dengan baik akan melahirkan konflik selanjutnya.


 
Dan Oleh karenanya, kami dari Solidaritas Untuk Papua (SUP) menyatakan sikap :
  1. Hentikan Kekerasan Militer Indonesia di seluruh Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Paniai
  2. Hentikan Kekerasan Militer Indonesia di seluruh Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Paniai
  3. Hentikan perampasan Tanah rakyat di Kabupaten Paniai,
  4. Tarik Militer Organik dan Non-Organik dari Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Paniai,
  5. SBY– Boediono HARUS bertanggung jawab atas tindakan kekerasan Militer Indonesia di Papua, khususnya di Kabupaten Paniai, dan
  6. Berikan jaminan keamanan bagi Rakyat Paniai untuk kembali menempati tempat tinggal mereka.
Dalam jumpa pers ini ada beberapa wartawan lokal maupun nasional yang ikut meliput dan menyimak jalan kegiatan inji. Kami berharap juga untuk media agar dapat mempublikasikan apa yang terjadi agar apa yang terjadi disana segera mendapat perhatian dan respon. *(PH)



Sejak pemerintahan Soekarno, berganti kepada pemerintahan Orde Baru tidak luput dari memori masyarakat, mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia akan kediktatorannya. Gema reformasi 1998 memberikan angin segar bagi seluruh rakyat Indonesia atas militeristik kala itu. Pemerintahan pun berganti hingga pada kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai penggerak Ham dan Demokrasi di Indonesia, lengkap sudah kepemimpinannya selama dua periode menjadi orang nomor satu di Republik ini. Dalam kepemimpinan tidak luput dari memori militerismenya, memang SBY adalah mantan panglima di Republik ini kemudian karirnya beralih ke dunia Politik. 
Seiring dengan berkembangnnya zaman, pemerintahan SBY memaksa rakyatnya untuk mematuhi aturan sesuai hukum yang berlaku, karena memang Indonesia menganut sistem pemerintahan berdasarkan Hukum. Oleh karenanya, siapapun yang melanggar hukum harus berhadapan dengan hukum, atas dasar itu aparat militer (TNI/POLRI serta Gabungan lainnya) melakukan upaya-upaya represif atas sejumlah kecurigaan bahwa masyarakat setempat (Paniai) melakukan kegiatan yang membahayakan negara dalam keutuhan NKRI, sejumlah kebijakan untuk mengamankan wilayah tersebut dilakukan dalam operasi-operasi terbatas dan bahkan skala besar. 
Upaya pengamanan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya sendiri telah terjadi seantero nusantara, misalnya kasus Mesuji, Bima NTB, Perusahaan dengan Masyarakat pemilik tanah adat, hingga pada kasus yang kini terjadi di Kabupaten Paniai telah menggemparkan dunia Internasional. 
Dampak dari operasi militer yang dilakukan oleh aparat atas kecurigaan-kecurigaan terhadap rakyatnya sendiri telah menanam imeg bahwa aparat tidak lagi memberikan perlindungan terhadap rakyatnya malahan membunuh rakyatnya sendiri atas dasar kecurigaan yang tidak masuk akal. Sepak terjang antara militer dan masyarakat adat koteka di suku Mee tersebut mencoreng nama SBY sebagai juara Penegakan Ham dan Demokrasi di negeri ini. 
Operasi militer tersebut membawa dampak kerugian yang cukup besar bagi masyarakat adat setempat, yang menghuni di desa Wagamo Eduda Paniai kini melakukan pengungsian bersar-besaran. Aparat militer (TNI/POLRI) yang melakukan operasi tersebut bukan hanya membuat masyarakat adat setempat merasa ketakutan namun Militer telah mengusir Kampung-Kampung (Desa) tempat masyarakat adat setempat, setelah dilakukan pengusiran serta penangkapan sewenang-wenang atas kecurigaan yang tidak logis.
Militer (TNI/POLRI) telah membangun Camp-Camp dan dijadikan tempat tersebut sebagai tempat operasi gabungan dari setiap kesatuan yang ada di sana. Tanah adat dijadikan sebagai Tanah milik negara sehingga TNI/POLRI berhak melakukan pendudukan bahkan mobilisasi militer dalam kekuatan besar untuk menumpas masyarakat yang berseberangan ideologi NKRI.
Berdasarkan data yang kami dapat dilapangan bahwa tempat dimana terjadinya suatu operasi militer tersebut akan dijadikan sebagai tempat mobilisasi para militer (mendirikan Batalyon), dan di seluruh Papua akan mendirikan sebanya 15 Batalyon, semuanya untuk menuntas bagi warga negara yang berseberangan indeologi keutuhan NKRI harga mati. 
Dampak terjadinya mobilisasi besar para militer di wilayah Masyarakat Adat Suku Mee kabupaten Paniai memberikan dampak negatif bagi masyarakat adat setempat. Akibatnay terjadi pengusiran dan trauma yang berkepanjangan, sekolah-sekolah tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, ekonomi masyarakat adat setempat terganggu, pelayanan publik terusik, merasa ketakutan oleh masyarakat adat setempat semakin tinggi. 
Karena para militer (TNI/POLRI) setiap hari melakukan operasi sweping dari kampung ke kampuung, rumah ke rumah, setiap masyarakat yang mencurigai melakukan penggeledahan terhadap badan mereka bahkan penangkapan sewenang-wenang, yang lebih fatalnya lagi adalah setiap dalam operasi penembakan bunyi selongsong senjata berdering di telinga, memang situasinya benar-benar dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) wilayah setempat.
Sumber dari gereja menyebutkan bahwa hingga kini warga terus mengungsi ke Enarotali untuk mencari perlindungan. Walaupun polisi telah mendirikan pusat perawatan, namun pusat perawatan tersebut diawasi dengan sangat ketat. Warga dilarang meninggalkan bantuan makanan bagi keluarga mereka di pusat perawatan tersebut. Tiga warga dilaporkan telah meninggal di pusat perawatan tersebut. Aktivis Kemanusiaan lokal setempat juga melaporkan bahwa penduduk lokal sedang terancam penahanan dan pemukulan jika mereka mencoba memberikan bantuan kemanusiaan pada orang-orang yang ditahan paska operasi militer tersebut. 
Berikut nama-nama warga yang tewas akibat tertembak dalam operasi di Paniai: Tapupai Gobay (30), Tawe Bunai Awe (30), Uwi Gobay (35), Wate Nawipa (25), Martinus Gobay (29), Owdei Yeimo (35), Ruben Gobay (25), Paul Gobay (42), Bernadus Yogi (23), Demianus Yogi (15), Simon Kogoya (40), Simon Yogi (30), Luke Kudiai (25), Alfius Magai (20). Terluka: Paschal Kudiai (15), Martinus Kudiai (30), David Mote (40), Amandus Kudiai (43), Yohan Yogi (21), Mon Yogi (20), Tiga orang yang meninggal di pusat perawatan: OTOLINCEA DEGEI (2), YULIMINA GOBAI (4), dan ANNA DEGEI Age (47). Sesuai dengan laporan yang kami dapat dari lapangan menyebutkan bahwa militer telah membangun Posko-posko di lima Desa yaitu; Desa Dagouto, Desa Uwamani, Desa Badauwo, Desa Yagiyo, dan Desa Eduda, masyarakat adaat yang diwilayah itu telah diusir atas dasar operasi militer akan berlanjut. 
Dalam operasi penumpasan tersebut sepenuhnya dibiayai oleh salah satu perusahaan tambang emas asal Australia yang baru hendak beroperasi di wilayah adat masyarakat setempat, serta didukung oleh Bupati Kabupaten Paniai. Para pihak beranggapan bahwa Paniai tidak aman untuk mengembangkan pertambangan skala besar karena kondisi keamanan terganggu akibat aksi-aksi pemberontak, serta alasan lainnya masyarakat adat setempat enggan memberikan tanah adatnya untuk dijadikan sebagai operasi pertambangan di wilayah itu. Alasan- Alasan tersebut menjadi dasar bagi militer untuk dilakukannya suatu operasi hingga terjadinya suatu pelanggaran Hak Asasi Masyarakat Adat setempat.
Oleh karenanya, kami dari Solidaritas Untuk Papua (SUP) menyatakan sikap :
“ HENTIKAN PERAMPASAN TANAH DAN KEKERAN MITER DI TANAH PAPUA ”
1. Hentikan Kekerasan Militer Indonesia di seluruh Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Paniai,
2. Hentikan perampasan Tanah rakyat di Kabupaten Paniai,
3. Tarik Militer Organik dan Non-Organik dari Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Paniai,
4. SBY– Boediono HARUS bertanggung jawab atas tindakan kekerasan Militer Indonesia di Papua, khususnya di Kabupaten Paniai, dan
5. Berikan jaminan keamanan bagi Rakyat Paniai untuk kembali menempati tempat tinggal mereka.

Demikian pernyataan ini dibuat, atas perhatian dan kerja samanya kami mengucapkan terima kasih.

Yogyakarta, 30 Januari 2012

Hormat Kami
Koordinator Umum



Roy Wene

 
Foto -kegiatan:


















Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

Translate

Followers

NEWS