JAKARTA (UMAGI)--Istilah
demokrasi yang dikenal oleh publik adalah Pemerintahan dari Rakyat,
Oleh Rakyat, dan Untuk Rakyat, kekuasaaan ada di tangan rakyat dengan
pengertian bahwa Daulat Rakyat.
Perspektif negara adalah rakyat atau rakyat adalah negara, sebab suara rakyat adalah suara Tuhan.
Menurut
Bondan Gunawan S, bahwa Demokrasi adalah bentuk atau sistem
pemerintahan yang segenap rakyat turut serta memerintah dengan
perantaraan wakilnya, atau disebut juga pemerintahan rakyat,
dan gagasan
atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban
serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Siapapun
yang bergumul dengan kata demokrasi senantiasa membawa keyakinan,
harapan, dan sikap tertentu yang seringkali amat keras, yang mempunyai
implikasi yang sangat kuat pada segala macam kepentingan politis, baik
kelompok maupun pribadi. Karena itu pula kata demokrasi dapat dengan
mudah dan sering disalahgunakan oleh penguasa totaliter dan diktator
semata-mata untuk memperoleh dukungan rakyat.
Dalam
konteks pemilukada di tanah papua barat, demokrasi sebagaimana
dikatakan diatas memang sering digunakan oleh oknum-oknum pribadi yang
haus akan kekuasaan dalam rangka mengamankan kepentingan mereka.
Ada
beberapa contoh kasus di Indonesia yang sesungguhnya berdampak buruk
bagi sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
dengan perwakilan masyarakat di lembaga legislatif.
Masyarakat
dengan mudah dihasut oleh para elit yang gemar akan kekuasaan tanpa
mempertimbangkan hak dan perlindungan terhadap rakyat sebagai warga
negara yang perlu dilindungi dan dilayani, sebab tanpa ada rakyat
berarti pemerintahanpun tidak ada.
Melihat
potensi konflik pemilukada di beberapa kabupaten di tanah papua barat;
seperti Peristiwa penyerangan salah satu pendukung knadidat Bupati
Waropen yang tidak lolos verifikasi faktual dikarenakan dualisme
rekomendasi partai Golkar mengakibatkan kantor KPUD Kabupaten Waropen
dirusak oleh masa pendukung 2010; sementara itu proses pesta demokrasi
pemilukada di Kabupaten Puncak Papua yangmana akibat dualisme
rekomendasi Partai GERINDRA kepada kandidat Elvis Tabuni serta lawan
politiknya Simon Alom ; membuat para pendukungb masing-masing pihak
saling saling perang dan sudah hampir 8 bulan ini telah banyak korban
nyawa diantaranya sekitar 57 korban meninggal dan 300an luka-luka;
itupun korban yang terdata. Sementara kerugian material cukup besar;
selanjutnya kisruh pendukung antara kandidat Jhon Tabo yang didukung
oleh Partai Golkar dan Usman Wanimbo yang didukung oleh Partai demokrat
saling berejekan dan berujung pada perang antar pendukung dan menelan
korban jiwa sekitar 11 orang serta 182 luka-luka. Kemudian adanya
ancaman dari KNPB dan Kelompok TPN/OPM yang menyatakan Pesta Demokrasi
Pelihan Gubernur akan digagalkan, ini semua adalah bentuk dari pengaruh
kekuasaan totaliter yang dimanfaatkan oleh masing-masing pihak untuk
merusak sistem demokrasi yang sudah salah penempatan dalam mekanisme
berpemerintahan di Indonesia.
Penangkapan terhadap kedua
kandidat Bupati Puncak Papua yang selama ini menimbulkan konflik,
antara Elvis Tabuni dan Simon Alom; adalah hal yang tepat, lalu kisru di
Kabupaten Tolikara antara Partai Golkar dan Partai Demokrat terhadap
masing-masing kandidat Dr.Jhon Tabo dan Usman Wanimbo seharusnya juga
ditahan oleh pihak Polda Papua seperti Elvis Tabuni dan Simon Alom;
lebih parah lagi bahwa kandidat Bupati Dr.Jhon tabo adalah juga kandidat
wakil gubernur papua yang bergandengan dengan mantan Gubernur Barnabas
Suebu,SH.
Dari
tiga peristiwa kemanusiaan diatas; kemudian adanya ancaman menggagalkan
pemilukada Gubernur papua oleh kelompok KNPB dan TPN/OPM; semua ini
menunjukan bahwa ada benarnya juga ketika seseorang menggunakan
Demokrasi secara totaliter dengan kekerasan untuk mencapai kekuasaan
yang diidamkan. Para kandidat ini sudah tidak berpikir lagi bahwa mereka
mencalonkan diri sebagai pemimpin tetapi sekaligus pelayan rakyat,
bukan untuk diagung-agungkan melebihi Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka wajar
jika kita berikan judul ” Demokrasi Berdarah di Tanah Papua ”.
Pertanyaannya
apakah sebagai sesama orang asli papua terus saling membunuh, sementara
jumlah penduduk asli papua minus 1,5 juta penduduk dan non papua 1,7
juta penduduk; apakah orang asli papua akan terus-terusan diperbudak
oleh para elit yang haus akan kekuasaan…?, lebih parah lagi bahwa Ketua
kaukus Parlemanen Papua Pegunungan Kenius Kogoya mengatakan bahwa orang
asli papua belum siap menerima dan melaksanakan demokrasi di tanah papua
sehingga proses pemilihan gubernur dikembalikan saja kepada proses atau
mekanisme di DPRP.
Faktanya
bahwa dari beberapa peristiwa kemanusiaan dan rencana penggagalan
pemilihan gubernur papua serta ketidakmampuan orang asli papua dalam
menjalankan demokrasi; sesungguhnya yang menjadi biang kerok adalah
teman-teman politisi atau partai politik serta kawan-kawan di wilayah
pegunungan yang sengaja membiarkan peristiwa-peristiwa kemanusiaan ini
terjadi dengan demikian pembenaran atas keinginan bahwa proses pemilihan
gubernur dikembalikan kepada mekanisme DPRP, ini dikawatirkan bahwa
adanya calon-calon gubernur dari wilayah pegunugan yang begitu serius
akan kekuasaan, sehingga keinginan untuk berkuasa di periode ini sangat
dimungkinkan, melalui pemilihan DPRP, sebab jika melalui pemilihan
langsung kemungkinan hasilnya akan lain.
Melihat
dinamika ini, maka penulis sarankan kepada semua orang asli papua baik
yang berada dipesisir pantai, dilembah-lembah, dibawah kaki gunung,
dihutan belantara dan di kota-kota, supaya kita semua harus menyadari
bahwa kita sementara digiring untuk masuk kedalam sebuah pergolakan
antara sesama orang asli papua; sebab belakangan ini jika TNI atau
Polisi membunuh warga papua disebut melanggar HAM, maka lebih didesain
supaya warga dan warga saling bunuh membunuh, tidak ada pelanggaran HAM;
termasuk dikatakan Orang Asli Papua Bodoh dan inilah faktanya kita
dengan mudah diadu domba oleh para elit papua yang dimanfaatkan oleh
Partai Politik, pemerintah, dan Pihak ketiga yang tidak ingin papua itu
damai.
Apakah
salah orang asli papua duduk saling berbicara dipara-para adat,
bukannya saling berperang dan membunuh; sementara elit-elit
pemerintahannya hanya memanfaatkan kondisi itu untuk meyakinkan kepada
Pemerintah Pusat bahwa memang orang asli papua belum siap terima
Demokrasi.
Pertanyaannya
apakah orangb asli papua harus hidup dalam kekerasan dan saling bunuh
membunuh terus menerus…!?, pengalihan isu dan opini serta aktor-aktor
pelaku kekerasan di tanah papua sudah berubah ke masyarakat dan
masyarakat dengan demikian citra orang asli papua di mata teman-teman
lain di Indonesia memang buruk termasuk citra di dunia internasional,
bahwa memang orang papua itu diatur untuk hidup dama sudah susah.
Untuk
hal dimaksud, maka penulis menyarankan kepada semua orang asli papua
untuk berhenti melakukan kekerasan terhadap sesama orang asli papua,
sebab desain besar kontra intelijen tuk memporak porandakan semangat
perjuangan rakyat papua untuk bebas dari penderitaan selama ini,
diseriusi dengan menimbulkan gejolak diantara sesama orang asli papua,
jangan lagi mengurangi jiwa orang asli papua yang ada 1,5 juta jiwa dan
membengkakkan non papua sekitar 1,7 juta jiwa; sudah sedikit jiwa saling
membunuh, apalah arti kekuasaan itu bagi kehidupan perdamaian dan
saling berdampingan.
Semoga
tulisan ini dibaca oleh para elit papua yang hanya menggunakan kata
demokrasi untuk kekuasaan mereka, sebab wujud haus kekuasaan adalah
mengorbankan rakyat tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan atau
HAM warga negara yang dilanggar.
SUMBER: KOMPSIANA