Sunday, November 20, 2011

Ironi Papua, Bom Jinak Freeport... !!!

Mypapua     5:16 AM   No comments

Oleh: Umagi Papua (Andy)
Berlarut-larutnya penanganan kasus perusahaan tambang Freeport di Papua menyimpan bom waktu bagi bangsa ini. Konflik yang tak berkesudahan itu tak hanya memakan korban jiwa dan mencederai iklim investasi, tetapi virusnya telah menyebar ke tempat lain. Mogok kerja massal menjadi fenomena dan kini melanda pekerja PT Newmont Nusa Tenggara.


Apa jadinya jika virus Freeport menjangkiti semua Kisruh Freeport merupakan momen untuk menata ulang semua kontrak pertambangan yang hasilnya sangat minim untuk negara, apalagi rakyat di sekitarnya. Itu sebabnya, pemerintah melalui UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)dan PP No 45/2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak terus berupaya untuk merenegosiasi kontrak pertambangan.


Sayangnya, renogosiasi tersebut berjalan alot karena kurang dukungan secara politis. Ibarat bayi, kontrak karya Freeport bisa dikatakan sudah cacat sejak lahir. Eksploitasi tembaga, emas, dan mineral PT FI didasarkan pada sejumlah regulasi, antara lain KK generasi pertama yang diteken 7 April 1967, Keppres No 82/EK/KEP/4/1967, UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, pembaruan KK tahap II tahun 1991, dan PP No 20 Tahun 1994.


Meski ada perubahan peraturan, evolusi ini tidak banyak membawa perbaikan pada nasib bangsa Indonesia, tetapi masih memberi kebebasan kepada penanaman modal asing dengan perumusan yang bertentangan dengan UUD 45. Saat ini, Freeport Mac Moran masih menguasai 90,64% saham PT FI, sedangkan pemerintah Indonesia 9,36%.


Selain itu, kehadiran PT FI yang sudah 43 tahun menggerus gunung di Papua itu pembagian manfaatnya sangat tidak adil bagi Indonesia. Berdasarkan perhitungan ahli, RI hanya mendapat manfaat sekitar 43%, sementara asing 57%. Padahal, di berbagai perusahaan tambang luar negeri, bagian untuk negara harusnya lebih banyak. Bahkan, seharusnya kendali manajemen juga di tangan pemerintah agar tercipta transparansi dalam eksploitasi.


Tak heran kerusuhan di Freeport menjadi kasus multidemensi karena banyak pihak tidak puas dengan kehadiran perusahaan tersebut. Karyawan merasa diperlakukan tidak adil karena menerima upah yang lebih kecil dibanding karyawan Freeport Mac Moran. Padahal, pada semester I-2011, penjualan emas dan hasil tambang dari Grasberg di Mimika mengontribusi 93,78% dari total penjualan perusahaan tersebut.Tak ada kata lain, renegosiasi kontrak pertambangan harus segera dilakukan agar pemberian manfaat menjadi lebih adil bagi bangsa, pekerja, dan rakyat sekitar. Bila kasus ini dibiarkan dan pengelolaan pertambangan RI tetap serampangan, tak mustahil akan terakumulasi dan bisa menjadi ‘bom waktu’ yang siap meledak kapan saja.
pekerja tambang di Indonesia karena merasa diperlakukan tidak adil? Perusahaan tambang dipastikan rugi karena tidak bisa berproduksi secara normal.
Berdasarkan perhitungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Freeport rugi US$ 19 juta atau sekitar Rp 167,4 miliar per hari.


Mogok kerja telah dilakukan sejak 15 September atau dua bulan dari saat ini sehingga kerugian perusahaan ditaksir Rp 10,04 triliun. Sementara itu, negara juga dirugikan karena pembayaran pajak PT Freeport Indonesia (FI) pasti berkurang. Pada semester I-2011, FI membayar pajak ke pemerintah sebesar US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 11,7 triliun, terdiri atas pajak penghasilan (PPh) badan, PPh karyawan, pajak daerah, pajak-pajak lainnya, serta royalti 1% dari penjualan atau sekitar US$ 50 juta.


Jika dibandingkan dengan pendapatan FI yang konon ditaksir mencapai Rp 70 triliun per tahunnya, apa yang didapat pemerintah tergolong sangat kecil. Dan yang lebih ironis, penduduk di sekitar kawasan pertambangan umumnya miskin. Ketimpangan sosial yang sangat tajam ini menimbulkan kecemburuan yang memicu konflik sosial. Realitasnya, kekayaan Papua hanya dinikmati segelintir orang, bahkan sebagian besar kekayaan itu dinikmati oleh orang asing.


Bukan rahasia lagi, untuk menjaga keamanan kawasan pertambangan, perusahaan lebih suka menggaji aparat dibanding melakukan pendekatan dengan penduduk sekitar. Padahal, jika penduduk merasakan manfaat dari keberadaan industri, kisruh PT FI kemungkinan bisa diminimalisasi.


Jika kita kaji secara mendalam, konflik yang terjadi di FI merupakan potret karut-marutnya kontrak pertambangan selama ini. Ini menunjukkan kepada kita semua bahwa memang terdapat banyak sekali ketidakberesan atau persoalan yang harus segera dibenahi. Perusahaan seringkali seperti menara gading yang merasa sudah beres jika memberi setoran kepada segelintir penguasa. Di sisi lain, masyarakat sekitar tidak merasakan manfaatnya, bahkan hanya mendapat limbah yang membuat hidup mereka makin susah.

Papua barat 8 kali Terkaya di banding Indonesia
KAMI tidur di atas emas, berenang di atas minyak, tapi bukan kami punya. Kami hanya menjual buah-buah pinang. Sepenggal lirik lagu penyanyi Edo Kondolangit, bisa menggambarkan rintihan hati rakyat Papua. Walau mereka hidup di bagian bumi yang kaya tiada tara, tapi terpuruk dalam nestapa kemiskinan dan keterbelakangan.

Berpuluh tahun mereka hanya menonton warisan kekayaan dari Tuhan itu dikeruk, diangkut dan dijual untuk memperkaya jutaan manusia di ujung benua Amerika serta segelintir elit di Indonesia, yang berfungsi sebagai centeng alias anjing penjaga tambang bernama Freeport.

Ekspedisi tiga orang Eropa tahun 1936, pimpinan DR Anton H Colijn bersama Jean-Jacques dan Frits J Wissel ke Gunung Gletser, Jayawijaya dan kemudian menemukan Ertsberg, seolah menjadi pembuka kotak pandora gunung emas di tanah Papua.

Sedangkan ekspedisi Freeport yang dikomandoi Forbes Wilson dan Del Flint, untuk menjelajahi Ertsberg tahun 1960, semakin menguatkan hasrat membangun proyek tambang di tanah yang diyakini orang Papua, sebagai tempat bersemayam moyang mereka.

Ertsberg, begitulah orang Belanda menyebut gunung ore (bijih). Bagi orang Papua, Ertsberg merupakan tanah warisan yang harus dijaga dan dipertahankan, agar terhindar dari malapetaka.

Namun nasib berkata lain. Sejak tahun 1967, perusahaan tambang PT Freeport Indonesia sebagai afiliasi Freeport-McMoRan Copper and Gold yang berpusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, menguasai Ertsberg dalam radius 10 kilometer persegi melalui kontrak karya eksklusif kontraktor tambang selama 30 tahun dan kemudian diperpanjang hingga 2041.

“Inilah awal malapetaka bagi orang Papua, membiarkan warisan kekayaan mereka disedot, sementara mereka hanya menonton dan pakai koteka,” ujar sumber matanews.com, Kamis (03/11).

Tahun 1970, operasi tambang berskala penuh pun dimulai dan kemudian pengapalan ekspor pertama kosentrat tembaga berlangsung 1972. Diperkirakan, sejak beroperasi hingga 2010 Freeport sudah menyedot 7,3 juta ton tembaga dan sekitar 725 juta ton emas, tanpa kontrol yang jelas dari rejim Orde Baru pimpinan Soeharto, rejim Habibie, Gus Dur, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono.

Sebaliknya, pihak Freeport dinilai tidak terbuka dan tidak jujur dalam pelaporan besaran dan jenis tambang yang dieksploitasi dari Ertsberg. Bahkan audit lingkungan dan sosial yang dilakukan terhadap tambang Freeport, dianggap hanya sebagai bentuk legitimasi atau pembenaran terhadap eksploitasi kekayaan tambang tanpa batas.

Tidak mengherankan, kalau ada pihak yang memperkirakan kandungan emas, tembaga serta uranium yang dikeruk dari Ertsberg dan Grasberg yang ditemukan pada tahun 1988, bisa mencapai nominal 8000 triliun rupiah setiap tahunnya dalam konversi rupiah.

“Bandingkan saja misalnya dengan jumlah APBN Indonesia setiap tahun, hanya sekitar 1200 triliun rupiah. Sementara royalti Freeport, secara resmi hanya sekitar 1 persen per tahun,” tutur sumber matanews.com, Kamis (03/11).

Lalu setega itukah Freeport untuk membagi hasil kekayaan yang dikeruk hingga ke perut bumi Cendrawasih dan membiarkan rakyat Papua mengais sampah sisa makanan yang dibuang dari camp Hidden Valley, lokasi tambang di ketinggian 4000 meter dari permukaan laut itu?.

Sejak jaman Soeharto, secara kasat mata Freeport memang jadi bancakan bagi kaum penguasa republik dan aparat keamanan. Diduga banyak uang ilegal yang dibagi-bagi alias mengalir ke kantong-kantong pribadi dan kelompok.

Pihak Freeport pun sangat menyadari praktek distribusi uang centeng, dengan tujuan kelangsungan dan kelanggengan pengerukan emas, tembaga hingga uranium dari tanah Papua. Pengakuan pihak Freeport telah memberikan uang pengamanan sebesar 14 juta USD setiap tahun kepada pihak kepolisian, hanyalah salah satu alokasi dana yang tidak masuk resmi ke kas negara. Diyakini, uang centeng dari Freeport, juga mengalir ke pihak tentara, Pemda hingga elit penguasa lokal dan pusat.

Kisruh Freeport yang kini masih berlangsung, memang telah mengganggu kenyamanan kelompok centeng yang menari di atas penderitaan bahkan nyawa rakyat Papua, maupun buruh tambang yang gigih memperjuangkan haknya.

Kiprah cemerlang mereka ialah bukti nyata betapa hebatnya potensi sumber daya manusia Papua. Kehebatan yang tak lantas tergerus kendati lahir dan besar di provinsi yang selama ini menjadi anak tiri.
Namun, pengelola negara ini masih memandang sebelah mata sumbangsih anak-anak Papua. Ironisnya lagi, sukacita yang kerap mereka hadirkan buat Indonesia justru dibalas dengan derita di tanah Papua.
Hingga sekarang, rakyat Papua hidup melarat di atas kekayaan alam yang melimpah ruah. Kekerasan demi kekerasan dan pembunuhan demi pembunuhan masih berlangsung. Terakhir, Komnas HAM mengungkapkan ada delapan warga tewas tertembak di areal pendulangan emas tradisional di Paniai.
Komnas HAM menduga pelakunya ialah aparat keamanan.
Itu menunjukkan perubahan pendekatan keamanan menjadi pendekatan kesejahteraan untuk mengatasi gejolak di Papua hanya sebatas kata. Pemberian otonomi khusus pun tak lebih dari kebijakan di atas kertas.
*Umagi








Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

0 SILAKAN BERKOMENTAR :

silakan komentar anda!

Translate

Followers

NEWS