Saturday, October 29, 2011

Bapak Presiden, Papua Butuh Perhatian

Mypapua     7:54 AM   No comments

Oleh : Wandi Prawisnu Simanullang.Beberapa bulan terakhir ini, isu mengenai Papua terus 
saja mencuat. Paling tidak berhasil menarik perhatian media, dunia internasional, dan mengancam keutuhan NKRI. Hal itu disebabkan karena sejumlah peristiwa penting yang menyangkut Papua terjadi.
Peristiwa-peristiwa tersebut, antara lain perkelahian massal akibat pilkada di Kabupaten Puncak pada 31 Juli 2011. Penghadangan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Tanjakan Gunung Merah, yang menyebabkan 4 orang tewas. Penembakan terhadap helikopter TNI oleh kelompok OPM di Puncak Jaya.Peristiwa lain ialah konferensi yang diadakan International Lawyers for West Papua di Inggris pada 2 Agustus 2011, sejumlah tokoh berkumpul untuk membahas masalah Papua di sana. Ditambah lagi dengan aksi mogok kerja yang dilakukan oleh ribuan karyawan PT. Freeport Indonesia. Berlanjut lagi dengan pembubaran Kongres Rakyat Papua (KRP) III di Abepura yang memakan korban.

Dari serangkaian peristiwa tersebut, yang paling mencolok adalah pembubaran KRP III. Disinyalir KRP III bukan sekedar pertemuan biasa, melainkan ada rencana untuk mendirikan negara sendiri. Sudah seharusnya KRP III ini mendapat perhatian dari Pemerintah Pusat yaitu Presiden dan jajarannya, mengingat kencangnya aktivitas politik sejumlah orang dan mengancam keutuhan NKRI. Agak menguatirkan, apabila pemerintah pusat tidak memberikan respon serius akan peristiwa ini.

Sangatlah disayangkan, di saat sejumlah peristiwa di Papua bergejolak, Presiden RI justru disibukkan dengan reshuffle. Padahal, permasalahan Papua sudah memasuki fase kronis dan membutuhkan perhatian serius. Masalah reshuffle menteri pun penting, tetapi tidak berarti harus mengabaikan masalah Papua, keduanya harus ditangani secara serius.

Permintaan Merdeka 

Permintaan merdeka bukan kali pertamanya menyeruak, wacana ini muncul karena berbagai permasalahan kompleks yang kerap melilit Papua. Pertama, ada perbedaan sudut pandang antara Pemerintah Indonesia dengan masyarakat di sana yang berdampak pada kesenjangan persepsi terhadap sejarah. Aktivitas politik yang dipelopori oleh tokoh Dewan New Guinea pada 1 Desember 1961 kerap dipersoalkan dan dianggap oleh sebagian orang Papua sebagai kemerdekaan Papua, bukan sekedar manifesto politik dari elite Papua. 

Pada tahun 1962, PBB, Amerika Serikat, Belanda, dan Indonesia menggelar pertemuan yang tidak melibatkan orang Papua dan melahirkan New York Agreement, yang menjadi acuan peralihan Papua dari Belanda ke Indonesia. Sebagian orang Papua sering kali menuding bahwa perjanjian tersebut merupakan penggelapan dan ketidakadilan sejarah, karena menghilangkan peristiwa yang pernah terjadi pada 1961.

Kedua, masyarakat Papua termarginalkan. Kesejahteraan dan pembangunan yang terjadi di sana belum maksimal, karena tidak sebanding dengan kekayaan Papua yang selama ini dikeruk untuk kepentingan pemerintah pusat. Sehingga, memunculkan anggapan bahwa Papua hanya dimanfaatkan dan dijadikan profit center. Ketiga, skema otonomi khusus (Otsus) Papua yang belum maksimal, karena dinilai belum mampu mengentaskan kemiskinan dan tidak berdampak siginifikan terhadap Papua.

Keempat, kasus pelanggaran-pelanggaran HAM yang masih membekas dalam ingatan masyarakat Papua. Pendekatan militer yang pernah dilakukan pemerintah di masa yang lalu telah melahirkan trauma tersendiri. Masyarakat Papua sering kali menyaksikan pelanggaran HAM oleh militer, perburuan terhadap kelompok tertentu dengan stigma OPM kerap dilakukan, yang akhirnya memunculkan anggapan bahwa Pemerintah Indonesia kejam. 

Seluruh permasalahan tersebut sudah selayaknya untuk dikaji dan diselesaikan. Tentu dibutuhkan pengorbanan lebih untuk menyelesaikan masalah Papua, tetapi semua harus dimulai dengan persuasi.

Persuasi di Bumi Cenderawasih

Ada pihak tertentu yang mendorong isu referendum ulang bagi Papua seperti halnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 dengan format yang berbeda. Tentunya kita paham, bahwa Indonesia tidaklah berpengalaman dalam hal referendum, contoh nyata adalah lepasnya Timor Timur dari NKRI. Jadi, apabila menyetujui referendum untuk Papua atas nama HAM dan demokrasi, sudah tentu ada harga mahal yang harus dibayar, sebab sangat berpotensi merongrong NKRI. 

Hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah persuasi. Mengacu pada pemikiran Severin & Tankard (2005), salah satu bentuk komunikasi yang paling mendasar adalah persuasi. Persuasi sangat efektif dalam menyelesaikan permasalahan daripada mengatasinya dengan kekerasan. Apabila Presiden dan jajarannya rajin menjalin persuasi dengan masyarakat Papua, kemungkinan dapat meredam keinginan untuk merdeka. Sebab rakyat yang diperhatikan oleh pemimpinnya, cenderung merasa segan untuk melakukan aksi-aksi makar. Persuasi jangan hanya terbatas pada elite Papua saja, karena suara elite belum tentu mewakili masyarakat Papua. 

Persuasi menjadi penting untuk dilakukan, sasarannya adalah terciptanya suasana damai di tanah Papua. Sulit untuk melaksanakan pembangunan di Papua apabila suasana aman dan damai belum terpenuhi. Bila persuasi dipilih, maka pendekatan keamanan dengan menempatkan militer secara berlebihan perlu dihindarkan. Sebab, pendekatan keamanan hanya akan memperlambat proses perdamaian dan menciptakan ketakutan bagi warga Papua.

Hal lain yang dapat dilakukan adalah berdialog dengan sejumlah elite Papua, baik tokoh adat dan agama, pejuang OPM di dalam atau luar negeri. Bila dialog dilakukan, kemungkinan ada syarat yang diberikan dan relatif berat, tetapi hal tersebut harus diupayakan. Di waktu yang lalu, dialog pernah dilakukan oleh Gus Dur, tidak ada salahnya apabila Presiden SBY dan jajarannya kembali melakukannya lagi. 

Selain itu, diperlukan peranan masyarakat Indonesia di luar Papua, perlu diketahui bahwa keterbelakangan di Papua adalah keterbelakangan kita semua. Masalah yang terjadi di Papua harus menjadi masalah bersama seluruh rakyat Indonesia, sebab masyarakat Papua adalah saudara kita semua. Peranan masyarakat non Papua juga dimaksudkan untuk meminimalisir keterlibatan lembaga-lembaga asing, tidak menutup kemungkinan lembaga asing malah hadir untuk memperkeruh suasana di Papua. 

Evaluasi Otsus

Sejauh ini Otsus terus berjalan, tetapi belum mencapai hasil yang diharapkan. Otsus bertujuan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, sosial, dan ekonomi masyarakat Papua. Namun kenyataannya, 80 persen penduduk asli Papua masih hidup dalam keterbelakangan, dan minim pendidikan. Angka kemiskinan mencapai 83,04 persen atau sekitar 482.184 rumah tangga (BPS Papua, 2010).

Kondisi tersebut sangat kontras dengan tujuan Otsus dan dana yang telah dikucurkan lebih dari Rp 30 trilyun. Oleh karena itu, Otsus tersebut sudah selayaknya untuk dievaluasi. Dana Otsus harus diteliti, apakah dana itu sampai atau tidak ke tangan masyarakat. Jangan-jangan dana hanya dinikmati oleh segelintir elite. Sebab, sulit untuk dipungkiri bahwa ada kemungkinan dana yang banjir di Papua menjadi rebutan elite.

Pada akhirnya, perlu diketahui bahwa Papua masuk dalam kategori paling rendah dari segi apapun, mulai dari human development index, pendidikan, dan kemiskinan, jadi sudah selayaknya mendapat perhatian. Dari perbincangan penulis dengan intelektual muda Papua di Yogyakarta, mengatakan bahwa perhatian untuk Papua adalah hal penting guna mewujudkan keadilan. Keadilan tersebut ialah pemberian hak-hak dasar masyarakat Papua: pangan, papan dan sandang. Oleh karena itu, sudah saatnya Bapak Presiden RI memberikan perhatian untuk Bumi Cenderawasih. ***

Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

0 SILAKAN BERKOMENTAR :

silakan komentar anda!

Translate

Followers

NEWS