Sunday, September 25, 2011

BARA PAPUA MERDEKA Fakta-Fakta Terkait Masalah Papua

Mypapua     6:31 PM   No comments

Isu referendum Papua mencuat kembali. Ribuan orang turun ke jalan-jalan di Jayapura dan Manokwari dan Jakarta dan beberapa kota-kota lainnya awal Agustus lalu. Mereka mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan referendum di tanah Papua.

Massa yang turun ke jalan merupakan gabungan tiga kelompok organisasi yakni Pergerakan Papua Merdeka atau West Papua National Autority (WPNA), Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan Dewan Adat Papua (DAP). Aksi serupa berlangsung di depan Istana Negara, Jakarta.

Aksi ini sekaligus mendukung konferensi Papua merdeka yang digelar di Fast School of the Examination Schools, 75-81 High Street, Oxford, London, Inggris pada Selasa (2/8). Temanya: "West Papua, The Road to Freedom" Konferensi ini diselenggarakan oleh International lawyers for West Papua (ILWP).

Pembicaranya antara lain: John Saltford, akademisi Inggris pengarang buku Autonomy of Betrayal, Benny Wenda pemimpin FWPC yang tinggal di Inggris, Ralph Regenvaru, Menteri Kehakiman Vanuatu, saksi Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 Clement Ronawery dan Anggota Ahli Komite PBB untuk Pengurangan Diskriminasi terhadap Perempuan Frances Raday, mereka menggugat keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Mereka menganggap asal muasal landasan bersatunya Papua dengan Indonesia cacat dan tidak sah berdasarkan hukum internasional. Sayangnya, konferensi ini tak mengundang warga Papua yang pro terhadap Pepera itu sendiri.

Sebelum aksi besar dan konferensi ini digelar, beberapa kejadian kekerasan mendahuluinya. Di Kabupaten Puncak, Sabtu (30/7) terjadi bentrokan antara dua kubu pendukung calon bupati Puncak yang sama-sama dari Partai Gerindra. Bentrokan ini menewaskan 19 orang. Gedung dan kendaraan dibakar.

Dua hari setelah kejadian, ada penembakan dan penyerangan warga sipil di Nafri, Abepura, Papua. Empat orang tewas. Belakangan, kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Danny Kogoya mengaku bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Polisi dan TNI dengan kekuatan 300 personel berhasil menemukan markas Danny, namun komplotan tersebut telah lari. Di tempat itu ditemukan dokumen Papua merdeka dan bendera Bintang Kejora.

Hampir dalam waktu bersa¬maan, kelompok yang menamakan dirinya Tentara Pembebasan Nasional (TPN) OPM, pimpinan Goliat Tabuni mengklaim telah menyerang helikopter TNI di Puncak Jaya. Serangan ini menewaskan seorang anggota TNl dan melukai tujuh orang lainnya.

Pengakuan itu disampaikan Goliat Tabuni di markasnya di Tinggi Nambut, Papua Barat. Di sekeliling markasnya itu dikibarkan bendera beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Belanda, dan Bintang Kejora serta bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan bendera Merah Putih yang sebelumnya berkibar, diturunkan, lalu dibakar. Ia menegaskan, penembakan itu merupakan wujud perlawanan mereka terhadap NKRI. Mereka akan terus melawan hingga Papua merdeka terwujud.

Serangan-serangan sporadis masih terus terjadi. Kamis (11/8) sore, mobil minibus dengan nomor polisi DS 1897 AG, ditembaki orang tak dikenal di kawasan Abe Pantai, Abepura, Kota Jayapura, Papua. Tembakan itu mengenai kap depan bagian kanan. Ada tujuh bekas tembakan. Namun, dua orang yang mengendarainya selamat.

Kesejahteraan
Tuntutan referendum Papua tak bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat Papua yang miskin. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Papua pada 2010, menyebutkan, sekitar 80 persen penduduk asli Papua hidup dalam keterbelakangan, miskin, dan sangat tertinggal dalam pendidikan. Rumah tangga miskin mencapai 83,04 persen atau 482.184 rumah tangga. Mereka belum terurus secara layak.

Kondisi ini sangat kontras dengan dana yang dikucurkan pemerintah dalam Otonomi Khusus (Otsus) Papua yang nilainya mencapai lebih dari Rp 30 trilyun. Dana Otsus itu dikucurkan untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan sosial ekonomi masyarakat setempat, yang relatif tertinggal dibanding daerah lain¬nya.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pertengahan bulan April 2011 menemukan adanya dugaan penyelewengan Dana Otsus Papua sebesar Rp 1,85 trilyun. Dana sebesar itu dipertanyakan karena parkir dan tidak diketahui jelas pemanfaatannya dan didepositokan di beberapa bank nasional dan daerah. Namun, Kepala BPKAD Papua Achmad Hatari menyatakan, semua telah sesuai prosedur.

Tak bisa dipungkiri, dana yang melimpah di Papua menjadi rebutan elite-elite politik di daerah tersebut. Mereka saling berebut pengaruh untuk bisa menguasai pundi-pundi uang yang ada di sana. Maka, desakan referendum bukan tidak mungkin juga sekadar usaha elite-elite politik yang belum kebagian kue untuk menaikkan posisi tawar mereka di hadapan pemerintah.

“Orang yang ingin disintegrasi itu hanyalah orang-orang yang sengaja dipelihara untuk itu. Mereka memang cari uangnya dengan cara seperti itu. Kalau tidak dikasih uang mereka begitu lagi. Setiap tahun ya orang-orang dari kelompok-kelompok itu itu saja yang berbuat begitu," kata Fadlan Garamatan, salah satu tokoh Papua.

Keamanan

Selain masalah ekonomi, Papua juga menghadapi masalah keamanan. Pelaksana Ketua Majelis Rakyat Papua, Joram Wambrau, seperti dikutip BBC, situasi di beberapa lokasi kekerasan menunjukkan terjadinya krisis kendali keamanan.

Joram mengkritik aparat yang dinilainya gagal menciptakan rasa aman sehingga mudah dikacaukan oleh kelompok tertentu. "Saya kira perlu ditangani secara lebih seksama bagaimana meningkatkan ketenteraman dan keamanan untuk perlindungan rakyat Papua,"jelasnya.

Hingga kini, aparat keamanan belum berhasil menguasai pemberontak yang menamakan dirinya OPM. Mereka terus melakukan teror. Banyak korban tewas. Tapi kok tidak ada reaksi Densus 88 Antiteror?

Bau Anyir Para Meneer
Tuntutan kemerdekaan Papua didukung oleh pihak-pihak asing termasuk aktivis gereja. Salah satunya uskup.

Menguatnya kembali isu Papua merdeka tak bisa dilepaskan dari peran asing di sana. Sebuah dokumen rahasia yang dibuat Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat bocor ke media Australia dan dimuat di kelompok surat kabar Fairfax, Sabtu 03/8). Dokumen tersebut memaparkan detail ancaman gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka.

Dokumen itu berjudul "Anatomi Separatisme Papua". Doku¬men itu menyebut dengan rinci tokoh-tokoh kunci gerakan separatis tersebut dan berbagai tokoh dari luar negeri yang menjadi simpatisan gerakan Papua merdeka ini.

Seperti dikutip Kompas, mereka antara lain Senator Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Dianne Feinstein; anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh, Andrew Smith; mantan Perdana Menteri Papua Niugini, Michael Somare; bahkan pejuang anti apartheid Afrika Selatan, Uskup Agung Desmond Tutu. Daftar itu juga memasukkan sederet nama politisi, akademisi, wartawan, pekerja lembaga bantuan, dan para pemimpin agama dari berbagai negara.

Dokumen itu menyebutkan, ada sekelompok penghasut ber¬senjata yang mampu menjalankan taktik perang gerilya tersebar hampir di seluruh wilayah Papua. Kopassus menyebut kelompok tersebut terdiri atas 1.129 orang, tetapi hanya memiliki 131 senjata (api) dan empat granat.

Salah satu surat kabar dari kelompok media Fairfax, The Saturday Age, mengaku mendapatkan 19 dokumen rahasia Kopassus, yang dibuat tahun 2006-2009. Surat kabar tersebut tidak menyebutkan bagaimana dokumen tersebut bisa bocor ke tangan mereka.

Dukungan bagi Papua merdeka itu juga datang dari Australia. Di sana ada Bob Brown dari Partai Hijau yang sejak 2000 aktif memotori terbentuknya Parliamentary Group on West Papua (PGWP). Ada juga Senator Kerry Nettle dari Partai Hijau terlibat memperjuangkan suaka politik bagi 42 warga Papua. Bahkan, pada 2 April 2006 Nettle mendapatkan penghargaan "Mahkota Papua" dari kelompok pro-separatis di Sydney. Selain itu ada juga, Senator Andrew Barlet dari Partai Demokrat Australia, ia mendukung kampanye penentuan nasib (self determination) bagi rakyat Irian Jaya. Barlet juga pernah mengirimkan surat kepada Sekjen PBB untuk meninjau kembali keabsahan Pepera 1969.

Belakangan, Parliamentary Group on West Papua didukung oleh organisasi internasional seperti Asia Pacific Human Rights Network (APHRN), West Papua Action Australia (WPAA), Action in Solidarity With East Timor (ASIET), Australian Council for Overseas Aid (ACFOA), East Timor Action Network (ETAN) dan The Centre for People and Conflict Studies The Unversity of Sydney. Lembaga yang terakhir itu memiliki proyek yang disebut West Papua Project (WPP) dan dipimpin oleh Prof Stuart Rees, seorang peneliti dan penulis tentang Indonesia.

Tak mengherankan, selama beberapa tahun terakhir terlihat upaya sistematis untuk mengangkat isu Papua ke dunia internasional. Isu-isu pelanggaran HAM oleh polisi dan militer selalu menjadi isu yang dikedepankan, selain isu ketidakabsahan Pepera 1969.

Misalnya, tahun 2005, anggota Kongres AS mempermasalahkan proses bergabungnya Irian Barat (Papua) ke Indonesia. Ia seolah menutup mata bahwa pendukung utama penyatuan tersebut adalah Amerika sendiri. Setahun berikutnya, 42 orang Papua mendapat suaka dari Australia. Padahal, dalam konvensi internasional, suaka hanya diberikan bila di negeri asal pe-minta suaka terjadi ancaman, penindasan, intimidasi, dan ketidak¬amanan. Langkah Australia ini bisa dibaca sebagai upaya untuk melepaskan Papua dari Indonesia.

Modus asing mendukung pelepasan Papua ini mirip dengan Timor Timur. Mereka mengangkat isu lama, khususnya Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 agar menjadi perhatian internasional dengan menyatakan Pepera itu tidak sah. Pengakuan internasional, terutama PBB, sangat diharapkan sehingga konsekuensinya rakyat Papua harus diberi hak menentukan nasibnya sendiri alias merdeka. Jalannya melalui referendum.

Gerakan mereka pun tak bisa dilepaskan begitu saja dari jaringan Kristen internasional. Sudah menjadi rahasia umum, kaum misionaris-lah yang menguasai Papua hingga ke pelosok-pelosok. Jika dokumen Kopassus benar, kian nyatalah peran misionaris dan gereja dalam upaya kemerdekaan Papua ini.

Kaya tapi Merana

Papua adalah pulau emas. Di sana ada tambang emas terbesar di dunia. PT Freeport Indonesia, perusahaan Amerika sejak 1960 sudah bercokol di sana. Keberadaannya sejak awal menimbulkan konflik dengan masyarakat setempat, menyangkut tanah adat dan pencemaran lingkungan. Upaya Freeport memberikan 1 persen keuntungannya kepada masyarakat sekitar pun, sejak 1996, menimbulkan masalah baru, konflik horisontal antar suku.

Masalah HAM juga sering terjadi di areal pertambangan. Banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah kerja Freeport ditengarai dilakukan untuk menjamin keberlangsungan operasional perusahaan.

Sementara itu, keuntungan yang didapatkan Freeport bukannya mengalir ke negara apalagi ke rakyat Papua. Laba yang jumlahnya trilyunan itu lari ke Amerika. Indonesia hanya mendapatkan bagian sangat kecil berupa royalti dan pajak yang tak seberapa. Data tahun 2010, yang didapatkan Indonesia hanya sekitar Rp 10 trilyun.

Makanya, Amerika ingin terus mempertahankan daerah kaya emas ini, yang kandungannya diketahui sekitar 2,16 - 2,5 miliar ton. Itu belum termasuk kandungan tembaga sebesar 22 juta ton lebih.

Negara lain pun ingin kebagian. Terus rakyat Papua? Mereka akan tetap merana karena sumber daya alamnya tetap dalam genggaman kolonialis. Mereka bisa jadi kian tertindas karena langsung di bawah bayang-bayang penjajahan. Kemerdekaan Timor Timur bisa menjadi pelajaran!

,

Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

0 SILAKAN BERKOMENTAR :

silakan komentar anda!

Translate

Followers

NEWS