Sunday, September 25, 2011

Aparat Militer di Puncak Jaya Papua

Mypapua     7:17 PM   No comments


KEBERADAAN aparat militer TNI AD–dari Batalyon Infateri (Yonif) 753/Arga Vira Tama (AVT) Nabire dan Batalyon Infanteri (Yonif) 751/Berdiri Sendiri Sentani–di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua telah meresahkan warga setempat.
Kehadiran pasukan militer dengan jumlah yang cukup banyak membuat masyarakat setempat merasa tak aman, bahkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari sekalipun. (The Jakarta Globe, 12 Juli 2011)
Samuel P. Huntington dalam buku Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil (2003) mengatakan, militer profesional adalah mereka yang mampu menjalankan tugas negara sebaik-baiknya, tanpa mengorbankan warga sipil–termasuk “menjadi sumber” ketakutan.
Aktivis hak asasi manusia melaporkan bahwa militer selalu mengintai setiap aktivitas warga sipil di wilayah tersebut. Bahkan, ada yang secara terang-terangan dituding sebagai anggota separatis.
Wartawan dan aktivis hak asasi manusia juga tidak luput dari pengawasan. Sejumkah aktivis hak asasi manusia lebih memilih keluar dari Puncak Jaya karena merasa sangat terancam.
Kontak senjata antarmiliter dan orang tak dikenal sudah berlangsung lama. Dalam beberapa kali, militer juga menembak warga sipil–padahal mereka tak tahu menahu tentang aktivitas kelompok separatis. Begitu pula sebaliknya, aparat keamanan menjadi korban penembakan.
Rumah-rumah penduduk sipil sering jadi sasaran operasi. Stigma separatis terus melegalkan tindakan semena-mena aparat militer. Sementara stigma itu tidak bisa dibuktikan.
Akibatnya, banyak warga sipil setempat lebih memilih mengungsi ke wilayah diluar Puncak Jaya.
Pada 12 Juli lalu, misalnya, terjadi lagi kontak senjata antarmiliter dan orang tak dikenal. Dilaporkan militer mendatangi warga sipil di setiap rumah, dan ada yang ditembak karena dicurigai sebagai separatis.
Seperti Dekimira (50 tahun), seorang ibu ditembak pada kaki kanannya dan anaknya Jitoban Wenda (4 tahun), yang ditembak pada kaki kirinya. Atau anak tetangga Dekimira, Dekimin Wenda (4 tahun) dan Dimison Wenda (8 tahun). Keduanya terkena peluru pada kaki kiri.
Setelah kejadian, Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Panglima Mayjen TNI Erfi Triasunu, kepada media di Jayapura, membenarkan peristiwa tersebut. Ia menuding Organisasi Papua Merdeka (OPM) berada dibalik aksi-aksi tersebut.
Jika benar pelakunya OPM, mengapa aparat militer tidak mengejar, menangkap dan menuntut pertanggungjawaban dari pelaku agar persoalan menjadi jelas?
Selama ini aparat menuding OPM berada dibalik serangkaian kasus, tapi tak bisa membuktikan kebenaran pernyataan tersebut, yang sering ditangkap dan disiksa adalah warga sipil–kasus dua orang petani, Tunaliwor Kiwo dan Kindeman Gire yang disiksa dan hampir dibunuh oleh militer Indonesia adalah sebuah fakta yang tak bisa ditepis.
Situasi di Puncak Jaya sangat kontras dengan pernyataan pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Menko Polhukam Djoko Suyanto, di Jayapura pada 5 Juli lalu saat membuka Konfrensi Perdamaian Papua (KPP).
Dalam sambutan ia menyatakan pentingnya menciptakan Papua sebagai Tanah “Damai,” dan tekad pemerintah dalam melakukan komunikasi konstruktif dalam menyelesaikan tiap masalah di Papua.
Kalau begitu, pertanyaannya, kenapa kebijakan operasi militer masih terus ditempuh dalam menyelesaikan tiap konflik di Puncak Jaya? Rumitkah pemerintah Indonesia membuka ruang dialog dengan pihak-pihak yang selama ini dianggap berseberangan ideologi (baca: menginginkan kemerdekaan dari Indonesia)?
Tekad dan komitmen pemerintah Indonesia dalam mewujudkan Papua Tanah “Damai” tak bisa hanya sebatas komentar-komentar di media massa, seminar, lokakarya, dan konferensi.
Ia harus dibuktikan dengan tindakan nyata, juga kebijakan yang memang dapat menciptakan Papua sebagai tanah damai.
Hak–untuk hidup aman dan damai– warga sipil di Puncak Jaya harus di dahulukan dari segala kepentingan, termasuk kepentingan keutuhan negara Indonesia sekalipun.
Banyak orang meragukan kinerja (baca: profesionalitas) militer di Puncak Jaya, dan menengarai berlangsungnya berbagai kekerasan terhadap warga setempat. Banyak kasus- penembakan tidak diungkap ke publik.
Militer harus dapat membuktikan bahwa OPM berada dibalik serangkaian kasus yang terjadi selama ini. Atau, ada pihak lain diluar TNI maupun OPM?
Cara penyelesaian terbaik adalah pemerintah Indonesiamembuka ruang dialog yang lebih bermartabat dengan kelompok yang selama ini berseberangan ideologi.
Jalan kekerasan (baca: operasi militer) yang telah lama ditempuh justru tak akan menyelesaikan konflik di Puncak Jaya, dan bukan tidak mungkin justru menambah konflik baru yang tensinya akan semakin meninggi.
Tiap perbedaan pandangan di dalam negara demokrasi adalah hal yang wajar, dan tak pantas dihadapi dengan kekerasan, bahkan senjata.
Komitmen pemerintah Indonesia untuk menciptakan Papua Tanah Damai, dan secara khusus di Puncak Jaya masih akan terus dipertanyakan.

,

Mypapua


Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Ut odio. Nam sed est. Nam a risus et est iaculis adipiscing. Vestibulum ante ipsum faucibus luctus et ultrices.
View all posts by Naveed →

0 SILAKAN BERKOMENTAR :

silakan komentar anda!

Translate

Followers

NEWS